Jurnal Seorang Perempuan yang Takut Pernikahan

Di mana titik balik kehidupan seseorang? Sebagai perempuan yang lahir dan dibesarkan di lingkungan yang kental kebudayaan, dan dari kecil dimanjakan oleh dongeng-dongeng putri bergaun indah melewati mata kaki, pernikahan adalah jawaban dari pertanyaan tadi.

Advertisement

Perempuan, selalu dimuarakan pada pernikahan. Seolah ia dilepas dari rahim orang tua, mengalir bersama sungai kehidupan, untuk berakhir di muara pernikahan.

Coba kita urai pelan-pelan.

Di lingkungan yang kental kebudayaan, perempuan dipersiapkan sebagai calon ibu rumah tangga yang ideal. Perempuan diwajibkan menjaga keperawananannya agar harganya tidak cacat, kemudian dilatih untuk memasak dan membersihkan rumah agar nilai jualnya lebih tinggi, bahkan, perempuan juga disekolahkan agar ia bisa memiliki harga di atas rata-rata.

Advertisement

Dan yang lebih aneh lagi, perempuan dituntut memiliki pekerjaan yang mapan, agar ia dilirik keluarga berstatus sosial tinggi. Seperti barang jualan, seperti itu ia diperlakukan. Seolah ia dilahirkan, dididik, dibesarkan, hanya untuk diserahkan ke lingkaran pernikahan dengan harga jual yang membanggakan. Itulah, yang setidaknya, saya pribadi rasakan.

Ibu saya sering berkata. “Jadilah perempuan yang sukses, agar jodohmu juga lelaki sukses.” Seolah saya selama ini belajar dengan giat hanya untuk memikat laki-laki hebat.

Advertisement

Di lingkungan sekolah pun, teman-teman saya, sejak kecil, sudah memiliki impian untuk menikah dengan lelaki yang mereka sebut ‘pangeran’. Tentu saja karena kami, kebanyakan membaca dongeng yang happy ending disimbolkan dengan pernikahan.

Segala penderitaan perempuan seolah akan berakhir hanya jika ia menikah dengan ‘pangeran’, maka itulah yang melekat dalam pikiran teman-teman saya semasa kecil. Seolah tak akan ada lagi air mata dan bentakan orang dewasa yang kami terima jika sudah menikah nanti. Persis Cinderella yang terlepas dari cengkraman ibu dan saudara tirinya setelah ia menikah.

Waktu kecil, saya tak menentang dua kalangan tersebut. Kalangan kaum tua yang mempersiapkan putri mereka untuk menjadi seorang ‘istri’ lelaki sukses, kemudian yakin bahwa putri mereka bahagia selamanya di rumah menantu mereka hingga maut menjemput.

Dan kalangan teman-teman masa kecil saya yang yakin bahwa jika kita menikah dengan pangeran, kita bisa mendapatkan semua yang tidak kita dapatkan dari orang tua, tidak akan kena marah, dan tinggal di istana megah. Saya tak sepenuhnya menyetujui mereka juga. Saya hanya belum memiliki alasan untuk menentangnya.

Barulah, ketika saja dalam masa remaja, segala pertanyaan saya tentang, ‘apakah ending novel saya atau titik balik hidup saya adalah pernikahan’ terjawab. Jawaban saya, ketika itu, adalah tidak.

Dan semakin saya beranjak dewasa, saya semakin yakin, bahwa pernikahan, belum tentu menjadi happy ending bagi saya. Saya bukanlah Cinderella. Mungkin orang lain bisa memiliki keberuntungan setingkat Cinderella. Tapi ini hidup saya, jadi biarkan saya berpendapat demikian.

Ketika saya remaja, barulah semesta menunjukkan sosok yang sesungguhnya pada saya. Bahwa betapa mengerikannya masa depan, betapa seramnya kehidupan ‘orang tua’, dan betapa angkernya sebuah rumah tangga.

Ketakutan saya itu dimulai oleh orang tua saya sendiri. Figur yang selama ini meninabobokan saya dengan pernikahan yang indah, pernikahan yang akan saya tempuh di masa depan, justru menjungkirbalikkan sendiri kerangka masa depan dalam bayangan saya.

Bagaimana saya melihat dua orang yang saling mencintai, berubah jadi saling membenci, terus berdebat, bahkan mengkambinghitamkan anak sebagai penyebab kisruhnya hubungan mereka. Bagaimana mereka menciptakan neraka, menggantikan surga yang saya pikir ‘takkan runtuh’.

Broken Home membuat anak memandang pernikahan sebagai hal yang menakutkan.

Lalu saya mulai melihat ‘rumah-rumah’ yang lain. Melalui cerita fiksi, tontonan, dan yang paling utama, adalah pengalaman teman-teman labil saya, yang juga menjadi korban dari ketidakmampuan orang tua menjaga keutuhan rumah tangga mereka. Saya semakin bergidik, mengetahui ada cerita pernikahan yang lebih seram ketimbang pernikahan orangtua saya.

Mungkin, waktu itu saya masih muda, masih remaja, belum dewasa, dan mudah saja men-judge pernikahan sebagai hal yang menakutkan.

Tapi ketika saya dewasa, ketika dihadapkan pada kenyataan yang lebih mengerikan, saya pun tahu, bahwa ketakutan saya tak berubah. Ketika saya mulai jatuh cinta, dan membayangkan hal-hal seindah pernikahan, segalanya berbalik jadi hal yang menyakitkan ketika saya merasakan pengkhianatan. Mungkin, itulah yang dirasakan ibu saya.

Bahwa cinta wanita tak menjamin cinta lelaki memberi porsi yang sama. Atau, bagi pihak lelaki, mungkin bisa jadi sebaliknya. Yang jelas, pernikahan menjadi hal yang menakutkan, ketika kita sadar, bahwa dua orang yang awalnya mengumbar cinta dalam porsi yang sama, di kemudian waktu bisa berubah, menjadi satu pihak saja yang setia mencinta.

Ketika saya beranjak dewasa, Ibu saya berkata. “Pernikahan bukan sesuatu yang salah, begitu pun cinta. Hanya saja, kadang, kita tak mampu melewati ujiannya. Bisa jadi karena salah memilih pasangan, atau masanya yang sudah habis.”

Saya yakin, untuk perempuan yang baru dewasa seperti saya, masalahnya adalah karena salah memilih pasangan. Tapi untuk ukuran ibu saya, tentu alasannya adalah yang kedua. Masa mencintai bagi orang tua saya sudah habis.

Kelak saya kembali bertanya pada beliau, “Lalu apa yang disebut jodoh atau cinta sejati jika cinta bisa terkikis?” Ibu saya pun tak tahu. Beliau pun tak mengerti, pria seperti apa yang harus saya cari, agar saya tidak takut menjalani masa depan dengannya.

Semakin saya berpikir, saya semakin menemukan jawaban, setidaknya untuk saya sendiri. Saya harus mencari lelaki, yang saya yakin, bahwa saya akan mencintainya, apapun yang terjadi. Ketika saya menemukannya, di situlah titik balik kehidupan saya—mungkin.

Meski di banyak titik, saya masih takut pada pernikahan, dan berharap, orang-orang yang mengatakan bahwa ‘perempuan harus menikah di usia segini’ paham, bahwa pernikahan bukan masa depan yang mudah dibayangkan oleh seorang anak korban broken home.

Dan lelaki juga harus memahami, betapa besar trauma seorang perempuan yang pernah menyaksikan, betapa terlukanya hati seorang ibu, dan menyiksa dirinya, dengan bertahan hidup bersama lelaki, yang tak mencintainya lagi, dan ia pun tak bisa lagi mencintainya.

Takut pada pernikahan bukan berarti saya tidak akan melakukannya. Hanya saja, bagi saya, pernikahan bukan dongeng Cinderella yang indah, ataupun khayalan gadis sosialita yang bermimpi jadi Nyonya. Pernikahan adalah masalah cinta.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Author Amatir Ig: @puisimei

4 Comments

  1. Liez LuPe berkata:

    Persis dengan ku

  2. Warda Karimah berkata:

    Artikel yg bagus 😀

  3. Angga Arief berkata:

    Menarik! Keresahan yang sama yang dibicarakan banyak perempuan di luar sana secara-diam-diam.

  4. Anggraeni Kartika Ayuningtias berkata:

    Saya rasa pernikah memang hal yang menakutkan bagi wanita single jaman sekarang, banyak kasus rumah tangga yang terekspos media, cerita dan pengalaman dari org terdekat atau mempunyai riwayat patah hati karena orang ketiga.. membuat saya berfikir, fase menikah tidak semenarik masa2 menjadi single.

CLOSE