Kebiasaan Musyawarah-Mufakat yang Perlu Kita Lestarikan di Media Sosial

Menghorma

Kebiasaan Musyawarah-Mufakat yang Perlu Dilestarikan di Media Sosial

Oleh: Arief Rifkiawan Hamzah

Musyawarah mufakat merupakan pondasi kehidupan bersama antara umat Islam dengan umat lainnya di Indonesia. Musyawarah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan: “Pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah; berunding; perembukan.” Sedangkan mufakat adalah sepakat, setuju, atau sependapat. Dari pengertian tersebut, penulis dapat merinci unsur-unsur musyawarah mufakat, yaitu ada peserta musyawarah, ada masalah atau tema yang dimusyawarahkan, dan keputusan akhir.

Pelaksanaan musyawarah dapat dilaksanakan dengan cara tatap muka di suatu tempat yang sudah ditentukan. Peserta yang diundang ialah para tokoh atau perwakilan setiap organisasi, mulai dari organisasi terkecil hingga organisasi yang besar. Para perwakilan ini diundang karena mereka dianggap terlibat dalam persoalan yang dimusyawarahkan, dengan harapan mereka dapat memunculkan tawaran-tawaran solusi untuk menyelesaikan permasalahan yang menjeratnya.

Namun seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menghasilkan media sosial, pelaksanaan musyawarah tidak hanya dilaksanakan secara tatap muka di suatu tempat. Tetapi saat ini musyawarah sudah marak dilaksanakan secara virtual tanpa harus berkumpul di suatu tempat.

Pelaksanaan musyawarah di media sosial ini dilaksanakan dalam sebuah grup tertutup, seperti grup BBM, grup WhatsApp, grup Telegram, grup Facebook, dan lain sebagainya. Ada juga yang dilaksanakan secara terbuka, misalkan di kolom-kolom komentar sebuah akun seseorang. Di kolom tersebut orang-orang bisa melaksanakan musyawarah mufakat untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang menjangkit mereka.

Dalam melaksanakan musyawarah ini, ada dua hal yang mesti kita perhatikan, yaitu pertama persoalan eksistensi. Musyawarah tertutup maupun terbuka ini terkadang justru menimbulkan permasalahan baru. Para peserta terkadang masih ingin menunjukkan dominasi, kecerdasan, ketangkasan, dan kebenaran diri dalam sebuah musyawarah, sehingga perdebatan tidak terelakan lagi. Satu di antara peserta yang berdebat masih menganggap solusi yang ditawarkan itu benar. Mereka masih ingin menunjukkan eksistensi dirinya dengan cara mendominasi musyawarah.

Kedua, terkadang sebuah musyawarah mufakat juga terinfiltrasi dengan kepentingan-kepentingan individu atau kelompok yang menjadi peserta musyawarah. Peserta-peserta yang memiliki kepentingan lain ini menggiring opini untuk menyepakati tawaran solusinya, agar kepentingannya juga berjalan lancar. Mereka melakukan banyak hal, misalkan dengan menyebarkan data palsu dan opini menjerumuskan.

Musyawarah di media sosial memang sangat memudahkan masyarakat Indonesia, karena mereka tidak perlu lagi hadir dan berkumpul di suatu tempat. Selain itu, peserta juga tidak wajib dari perwakilan sebuah organisasi, sehingga dari kalangan manapun bisa nimbrung. Namun ketika etika musyawarah belum mereka kedepankan, mereka justru bisa menimbulkan masalah baru.

Oleh karena itu, sebelum melaksanakan musyawarah, peserta perlu mengerti tentang etika musyawarah untuk mufakat. Etika ini perlu disebarluaskan dan dilestarikan di Indonesia, agar tidak menambah-nambah masalah lagi. Di antara etika musyawarah mufakat yang perlu dilestarikan ialah pertama egaliter, yaitu menganggap semua peserta musyawarah sama, sehingga tidak ada diskriminasi sekalipun peserta musyawarah itu berbeda suku, ras, agama, dan golongan.

Kedua, menghargai sesama peserta musyawarah. Dari etika egaliter tersebut, maka peserta musyawarah bisa menghargai peserta lainnya, baik dalam hal ide maupun cara penyampaiannya.

Ketiga, gunakan kata-kata yang tepat. Kata-kata merupakan perwakilan kita untuk menyampaikan sebuah ide. Penggunaan kata-kata yang tidak tepat terkadang membuat peserta musyawarah di media sosial memberikan makna yang ambigu, sehingga memunculkan kesimpulan yang berbeda antara peserta dengan pembuat teks. Oleh karena itu, penggunaan kata-kata yang jelas dan tepat perlu diperhatikan, agar pembaca tidak salah sangka terhadap maksud yang terkandung di dalamnya.

Keempat, mengerti posisi kita. Dalam sebuah musyawarah, kita perlu mengerti bahwa kita adalah peserta musyawarah. Sebagai peserta musyawarah, sudah selayaknya kita tidak menganggap diri sendiri sebagai orang yang paling pintar. Dengan menyadari posisi diri sendiri, maka kita bisa menerima ketika ada kritik dan saran terhadap ide yang kita utarakan.

Kelima, mendahulukan kepentingan bersama dan tidak memancing perselisihan. Dalam forum musyawarah, peserta perlu mebuat kalimat yang santun untuk tidak memunculkan privasi pribadi dan kekurangan peserta lainnya. Peserta musyawarah perlu untuk mendahulukan kepentingan bersama, agar sebuah persoalan bisa terselesaikan.

Keenam, menerima hasil musyawarah. Inilah mufakat, peserta perlu menerima hasil musyawarah yang telah disepakati secara bersama. Dengan menerima hasil musyawarah, tidak ada lagi perdebatan antar peserta musyawarah. Hasil musyawarah adalah untuk kepentingan bersama, termasuk individu-individu peserta musyawarah.

Media sosial membuat segalanya mudah, namun dalam melaksanakan musyawarah, seseorang harus memperhatikan etika musyawarah. Etika musyawarah di media sosial akan sangat membantu untuk membahas persoalan dengan cepat dan meminimalisir perdebatan yang ketat antar peserta. Harapannya ialah musyawarah yang dilaksanakan bisa mencapai kata mufakat agar hasilnya bisa bermanfaat secara kolektif.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Pelanggan aktif cerpen seru