Mampukah Pancasila Bertahan di Tengah Banyaknya Ideologi yang Mulai Menjamah Indonesia?

Di tengah kemajuan zaman dan teknologi, globalisasi merupakan hal yang tak dapat dielakkan oleh suatu bangsa. Globalisasi sendiri menurut Selo Soemardjan adalah suatu proses terbentuknya sistem komunikasi dan organisasi antar masyarakat yang ada di seluruh dunia. Di era globalisasi, sekat antar negara semakin imajiner. Segala hal dapat keluar-masuk dengan mudah, baik itu informasi, budaya, pendidikan, ekonomi, maupun ideologi. Apalagi, sekarang hampir semua orang, terutama anak muda, memiliki suatu benda yang dinamakan smartphone. Dengan smartphone, dunia sekarang berada digenggaman setiap orang.

Advertisement

Lalu, apakah globalisasi tersebut berdampak baik atau buruk bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia? Layaknya pisau yang bermata dua, globalisasi memiliki sisi positif dan negatif. Keduanya tergantung dari bagiamana kesiapan dan kedewasaan bangsa Indonesia untuk menyaring hal apa yang bermanfaat dan hal apa yang merugikan. Contoh yang paling dekat dengan kehidupan kita adalah smartphone.

Seperti yang kita ketahui, penemuan teknologi dan produksi smartphone pada awalnya bukanlah di Indonesia. Namun, berkat globalisasi, smartphone akhirnya sampai di Indonesia. Smartphone sendiri memiliki banyak kelebihan, seperti memudahkan dalam berkomunikasi, mengakses informasi, dapat digunakan sebagai kamera, bisa untuk bermain game, dan masih banyak lagi. Di balik banyaknya kelebihan yang ditawarkan, smartphone juga memiliki dampak negatif di antaranya dapat membuat seseorang menjadi malas dan informasi yang dapat diakses tidak memiliki batas sehingga informasi buruk seperti pornografi dan kekerasan pun dapat dengan mudah diakses, tidak terkecuali paham-paham ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.

Dalam konteks bernegara, ideologi dapat diartikan sebagai satu-satunya arah, pedoman tunggal, pembimbing gerak kehidupan bangsa atau negara dalam melaksanakan fungsi kenegaraan (Glosarium Sekitar Pancasila, 1981). Indonesia memiliki ideologi sendiri yaitu Pancasila. Pancasila adalah fondasi dasar NKRI yang di dalamnya terkandung cita-cita, tujuan, dan pedoman bagaimana bangsa Indonesia harus bertindak. Perumusannya tidak mudah, di mana para pendiri bangsa mencurahkan perasaan dan gagasannya dalam menyusun sila demi sila dalam Pancasila agar sesuai dengan kepribadian dan cita-cita bangsa Indonesia.

Advertisement

Namun, seiring berjalannya waktu, Pancasila seolah-olah hanya menjadi mimpi para pendiri bangsa Indonesia. Nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehai-hari mulai luntur. Bahkan tidak sedikit rakyat Indonesia yang menginginkan jika ideologi NKRI diganti. Jelas hal ini merupakan ancaman bagi keberlangsungan hidup bangsa Indonesia. Sebut saja ideologi Khilafah dan paham radikalisme yang akhir-akhir ini sering dibahas mengikuti beberapa kejadian ledakan bom di Indonesia.

Mengenai radikalisme, di Indonesia pada bulan Mei kemarin terjadi beberapa kasus ledakan bom dan penyerangan terhadap polisi secara beruntut. Salah satu pelaku penyerangan Mako Brimob yang terjadi pada 8 Mei 2018, dengan inisial DSM menuturkan bahwa ia awalnya mengenal radikalisme melalui media sosial. Ia direkrut oleh WNI yang berada di Turki kemudian dimasukkan ke grup chat Telegram. Di grup chat tersebut ia di”cuci otak” dengan muatan radikalisme dan ditanamkan prinsip-prinsip yang bertentangan dengan pancasila seperti menghalalkan untuk membunuh orang dengan ideologi yang berbeda . Selain itu di grup tersebut, para anggotanya juga diajarkan bagaimana cara memenggal kepala serta cara merakit bom.

Advertisement

Sedangkan ideologi kekhalifahan yang muncul di Indonesia merupakan ideologi yang berasal dari Turki melalui kekaisaran Ottoman pada tahun 1924. Kekhilafahan sendiri merupakan sistem pemerintahan yang wilayah kekuasaannya tidak terbatas pada satu negara, melainkan banyak negara di dunia, yang berada di bawah satu kepemimpinan dengan dasar hukumnya adalah syariat Islam. Gagasan kekhilafahan yang berkembang di Indonesia menjadi suatu ancaman sebab para penganutnya bersikukuh untuk merubah ideologi Pancasila dengan Kekhilafahan dan ingin mendirikan negara sendiri yang terlepas dari NKRI.

Jika kita tinjau dari kacamata Pancasila, keduanya sama-sama bertentangan dengan butir-butir pancasila yang tertuang dalam Tap. MPR No. I/MPR/2003. Mari kita urai satu persatu penyimpangannya berdasarkan sila dalam Pancasila.

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

Pada sila pertama ini terkandung makna bangsa Indonesia merupakan bangsa yang percaya dan bertakwa depada Tuhan Yang Maha Esa, saling menghormai dan membina kerukukan antar umat beragama, serta tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.

Dalam ideologi khilafah, agama yang diakui hanya satu, yaitu agama Islam. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terdiri dari warga dengan bermacam agama dan kepercayaan. Maka, jelaslah bahwa kekhilafahan tidak cocok bagi bangsa Indonesia. Begitu pula dengan radikalisme. Dalam radikalisme, segala sesuatu yang bertentangan atau tidak sama dengan karaktetistik dari kelompok tersebut maka akan dimusnahkan. Padahal, dalam Pancasila kita diamanahkan untuk menjunjung tinggi dan menghargai adanya perbedaan.

2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

Sila kedua mengandung makna bahwa sebagai bangsa Indonesia menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, saling mencintai sesama, saling tenggang rasa dan tepa selira, berani membela kebenaran dan keadilan, serta mengakui persamaan derajat.

Oleh sebab itu, prinsip ideologi radikalisme dan kekhilafahan yang membolehkan penyingkiran sekelompok orang yang tidak sama dengan paham mereka merupakan hal yang bertentangan dengan Pancasila. Apalagi paham radikalisme yang memperbolehkan pembunuhan terhadap orang-orang yang mereka anggap salah. Hal ini sangat tidak sesuai dengan nilai kemanusiaan dan keadilan.

3. Persatuan Indonesia

Suatu negara hendaknya hanya memiliki satu ideologi, satu tujuan, satu cita-cita bersama. Seperti halnya kapal yang dapat berjalan jika didayung ke arah yang sama, negara juga akan bergerak maju jika rakyat dan pemerintahnya menuju satu arah. Jika disuatu negara terdapat lebih dari satu ideologi, maka persatuan tidak akan tercapai.

4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan

Dalam ideologi kekhilafahan dan radikalisme yang berkembang saat ini, pengambilan keputusan dominan dilakukan oleh satu orang pemimpin. Hal ini bertentangan dengan sikap bangsa Indonesia yang mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan.

5. Keadilah Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Menyangkut sila kelima, radikalisme bertentangan dengan Pancasila sebab ia tidak adil dalam banyak hal seperti menentang hak-hak tiap individu untuk memilih kepercayaan, menelantarkan kewajiban, merasa kelompoknya yang terbaik, dan lain-lain.

Dari uraian diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa 2 contoh ideologi yang dibahas yaitu radikalisme dan kekhilafahan tidak sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia. Walaupun di Indonesia warga negarannya mayoritas beragama Islam, namun fakta bahwa sebagian besar yang lainnya memiliki agama dan kepercayaannya masing-masing tidak boleh kita kesampingkan.

Pancasila sudah menjadi hal yang paling tepat sebagai dasar, pemersatu, dan nahkoda bagi Indonesia, sebab dalam Pancasila terkandung jati diri bangsa Indonesia sejak sebelum kita merdeka. Lalu, mampukah pancasila bertahan di tengah derasnya arus globalisasi yang menjadikan ideologi-ideologi lain dengan mudahnya masuk ke Indonesia? Jawabannya kembali kepada rakyat Indonesia, tergantung seberapa cinta kita terhadap Indonesia dan seberapa dewasa kita dalam menghadapi ancaman nasional.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE