Manusia Memang Tempatnya Berencana, Namun Tuhan Lah yang Tetap Akan Menentukan

"Oh iya bu insyaallah kebetulan penumpang saya lagi sedikit belakangan ini, saya akan usahakan, Bu", jawab ayahku.

Advertisement

"Aah udah saya gak mau tau, yang penting bapak bayar, tetap tinggal, kalau nggak ya wasalam"

Hening aku mendengar percakapan itu, sambil mengerjakan PR hati ini campur aduk oleh amarah mendengar wanita congkak itu meneriaki kata-kata kasar terhadap ayahku. Inilah kondisi keluargaku semua ini semakin memburuk saat ibuku meninggal dua tahun yang lalu, ayahku bersikeras banting tulang serabutan bekerja sebagai tukang becak setiap harinya.

"Ais gimana ada yang susah nggak, sini biar ayah bantu", lamunanku terpecah oleh pertanyaannya.

Advertisement

Sambil tersenyum ku menjawab, "Hahha, gampang kok yah, ayah udah istirahat aja, ayah capek kan?"

Sambil mengelus kepalaku ia menghela nafas kemudian berkata "belajar yang baik ya nak, kelak Ais pasti akan sukses, semua yang ada di dunia menjadi murah selama Ais mau bersungguh-sungguh".

Advertisement

Malam itu terasa sangat hangat, aku berbaring menatap atap gubuk kamarku merenung memikirkan perkataan ayahku. "semua akan murah dengan ilmu".

Keesokkan harinya dengan penuh semangat aku berangkat sekolah, dengan sepatu yang ujungnya terlihat jempolku, ku susuri pasar dengan riang sambil berlari-lari kecil sesampainya di sekolah, aneh teman-temanku melihatku dengan sinis bahkan sebagian dari mereka ada yang menertawakanku.

"Hahaha, Is lu mau sekolah atau narik becak kaya ayah lu, dekil banget lu?", Tanya Alvin sambil mendorongku.

"Maksud lu apa, masalah emang buat lu?"

"Oh iyalah jelas gua ketularan bau kalo deket-deket lu"

seketika teras kelas riuh pagi hari itu ,"tonjok..tonjok…sikat aja, Vin", begitu kata teman-temanya memanas-manasi.

Buakk pipiku dipukul kencang olehnya dengan begitu keras, namun aku hanya diam karena ku tau selanjutnya masalah ini pasti akan berujung dengan pemanggilan di ruang BK dan aku mempunyai bukti dengan lebamnya pipiku bahwa dialah yang sebenarnya bersalah. Dan betul semua sesuai dugaanku tidak lama berselang salah seorang guru datang melerai kami, sejurus kemudian ia membawa kami ke ruang BK.

"Sebenarnya apa yang terjadi?", tanya salah seorang guru.

"Gini pak saya kan baru datang dari rumah, eh tiba-tiba pas nyampe sekolah saya dikatain pak sama Alvin", jelasku.

"Bohong pak dia duluan yang ngeledek saya terus dia mukul muka saya pak", kata Alvin membela diri

"Lah mana bekasnya, Vin? Kalau Faris ya jelas keliatan orang lebam kayak gitu",tanya guru itu.

Maka terungkaplah kebohongan, begitulah hari-hariku yang terkadang tak lepas oleh tindakan-tindakan diskriminatif yang dilakukukan oleh teman-temanku yang memang dapat dikatakan berada. Namun, itu semua ku bungkam dengan berbagai macam prestasi yang ku raih terlepas dari kekurangan yang ku miliki yang tentunya adalah buah dari kerja kerasku dalam belajar.

Sepulang sekolah seperti biasa ku ganti seragamku kemudian terjun di bawah terik panas matahari yang menyengat, ku habiskan hari dengan berdiri di simpang lampu merah menawarkan koran pada para pengguna kendaraan yang berlalu lalang. Itu ku lakukan semata-mata untuk membantu ayahku dalam mengumpulkan uang walaupun itu di luar sepengetahuanya, aku yakin kalau pun ia tahu pasti ia akan melarangku.

Hari silih berganti semua masih pahit ku rasa namun ku tak pernah lupa pesan Ayah ku untuk terus bersungguh-sungguh dalam belajar, jenjang pendidikan dasar sampai menengah telah ku jalani kini di depan mataku ujian masuk universitas telah datang menghampiriku, namun apa daya ku tak mampu untuk membayar biaya registrasinya yang begitu mahal. Ku lihat tabungan hasil dari menjual koran nampaknya memang benar-benar kurang. Mau tidak mau aku harus memberi tahu masalah ini pada ayah walaupun ada gemuruh malu sebenarnya singgah dalam diri ini.

"Ayah… Ais mau ngomong…jadi gini yah ". Ku jelaskan semua dengan begitu mendetail masalah yang sedang ku hadapi walau ada rasa malu yang amat sangat.

Sambil menepuk pundakku senyum merekah dari wajah keriputnya " Insyaallah besok Ais bisa ambil uangnya, dan besok langsung daftar ya ". Sungguh tenang hati ini, tak henti ku ucap terima kasih padanya sambil memeluknya hangat.

Keesokan harinya dengan riang gembira ku menunggu waktu dimana ia memanggilku untuk memenuhi janjinya, tiba-tiba dari kejauhan ku lihat ayahku berjalan menuju rumah tanpa becaknya. Sejurus kemudian ku tersadar bahwa yang terjadi sungguh sangat menyayat hati ini.

"Assalamualaikum Ais kok nunggu di luar rumah? Ayo masuk dingin loh nih ayah beli ayam goreng yuk kita makan"

Langsung ku hampirinya dengan mata basah berlinang air mata ku peluk erat tubuh lemahnya dengan sangat erat tak henti lisan ini mengucap terima kasih padanya atas seluruh jasa dan pengorbananya yang tiada tara.

Tanpa menunggu lama segera ku daftarkan namaku untuk mengikuti tes bersama masuk perguruan tinggi, Institut Teknologi Bandung dengan jurusan pertambangan menjadi tujuanku melanjutkan pendidikan. Tak bisa ku bayangkan akan seberapa bangga ayahku apabila aku berhasil nanti dan pastinya itu akan merubah kondisi keluargaku saat ini.

Tibalah waktu di mana tes dilaksanakan dengan persiapan maksimal ku kerjakan soal dengan baik, lembaran soal satu persatu ku balik dan ku kerjakan setiap soal di dalamnya tanpa menemukan kesulitan sedikit pun, bel berbunyi tanda waktu tes telah selesai dengan sangat yakin akan lulus ku serahkan lembar jawabanku ke panitia ujian. Setelah selesai ujian, dari kejauhan ku melihat sosok yang tidak asing lagi dalam penglihatanku sambil mengelus pipi yang pernah lebam oleh pukulanya ku tersenyum mengingat kekonyolan itu.

"Hei ini Alvin kan? " sambil sedikit ragu ku bertanya.

Ia pun menoleh kemudian dengan sinis berkata "Lah siapa lu?", ia balik bertanya

"Haha, lu emang gak pernah berubah ya, Vin " sambil berkata dan memukul lembut pundaknya

"Oh iya lah, lu juga masih bau kayak dulu", candanya.

Kami hangat berpelukkan ceria mengingat peristiwa-peristiwa konyol di masa lalu. Ternyata ia mengambil jurusan dan kampus yang sama sepertiku, hari itu ku habiskan bersamanya berbincang-bincang mengenai banyak hal berbagi pengalaman dan saling bertukar pikiran tentang impian masing-masing dan rencana di masa depan.

Hari-hari berlalu meninggalkan kegundahan, rasa penasaran menghantuiku, namun ku yakin pasti akan lolos dalam peruntungan ini. Tibalah waktu pengumuman kelulusan tes, dengan harap-harap cemas ku melihat daftar yang ditempel di papan board, satu demi satu tempelan kertas ku teliti dari atas kebawah namun belum juga ku temukan namaku. Kemudian karena begitu penasaran ku tanyakan langsung statusku kepada panitia penyelenggara dan setelah ia memeriksa dengan teliti di komputernya akhirnya ia temukan namaku.

"Ketemu…..namamu Muhammad Faris Ibrahim ya? Maaf kamu bisa mengulang tes kembali tahun depan nilaimu tidak mencukupi"

Bak disambar petir ku mendengar apa yang dikatakanya, dengan menahan tangis ku pulang dengan kepala tertunduk lesu, ku ketuk pintu tak kuat rasanya aku memandang wajah ayahku, pasti ia akan kecewa, pikirku.

"Sabar nak ya, yang penting Ais kan udah usaha maksimal, Allah pasti punya cara terbaik menolongmu nak", ia menasehati sambil memeluk dan mengusap pundakku berusaha menenangkan, namun tetap saja hati ini terasa remuk hancur lebur oleh kekecewaan, aku merasa telah bersalah…bersalah karena telah mengecewakanya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

8 Comments

  1. Mia Hardiyanti berkata:

    Semangat terus.. Allah selalu memiliki rencana yang indah untuk hambanya yang selalu bersabar dan ikhtiar �

  2. Septi Riyanto berkata:

    Masih bersambung ya?

CLOSE