Mengapa Indonesia Masih #MenolakLupa

Masih ingat dengan kasus hilangnya Marsinah? Tragedi 1998? Bagaimana dengan Munir? Tragedi-tragedi ini menjadi bagian sejarah yang sampai sekarang masih mengalami sebuah tanda tanya. Setiap tahun, masyarakat terutama mahasiswa selalu mengenang tragedi-tragedi ini dengan tagar menolak lupa. Tagar ini merupakan sebuah bentuk desakan agar peristiwa-peristiwa yang belum terpecahkan di masa lalu tidak terlupakan dan menghilang tanpa mendapat peradilan.

Bukan sebuah rahasia bahwa pada masa orde baru banyak terjadi kasus orang hilang terutama para aktivis HAM yang banyak menentang sistem pemerintahan orde baru. Seperti diketahui, pada masa pemerintahan orde baru, negara yang seharusnya berjalan demokratis malah jauh dari sifat demokrasi yang mengutamakan kesejahteraan rakyat dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Pada masa ini banyak terjadi pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan bahkan genosida. Padahal dalam Pancasila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab” telah menunjukkan pedoman bangsa untuk mensejahterakan rakyat dengan memberikan HAM tanpa dibatasi oleh negara. Tetapi, justru hak paling mendasar yaitu hak hidup malah menjadi yang paling banyak dilanggar.

Selain itu, masyarakat dibungkam paksa, bahkan kebebasan pers tidak berlangsung pada masa orde baru, sehingga pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi seakan ditutup-tutupi. Meskipun masa orde baru merupakan masa yang dikenang dengan slogan, “isih penak jamanku toh (masih enak jamanku kan)” karena sembako yang murah, tetapi adanya fakta bahwa banyak aktivis menghilang secara tiba-tiba dan pembatasan hak, tetap meresahkan masyarakat. Sehingga pada akhirnya masa orde baru runtuh.

Namun kemudian, apa yang terjadi dengan kasus-kasus hilangnya para aktivis? Siapa yang membunuh Marsinah? Siapa yang membunuh Munir dalam perjalanannya menempuh S2 di Belanda? Dan di manakah 13 aktivis yang diculik secara paksa pada tahun 1998? Dan masih banyak pertanyaan lainnya mengenai kebijakan di masa lalu yang menghasilkan banyak tragedi berdarah dalam sejarah Indonesia.

Disaat kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu belum terungkap, tahun lalu penyidik KPK, Novel Baswedan, mendapat terror yang berujung dengan penyiraman air keras yang melukai matanya. Novel sendiri bukan seorang penyidik KPK biasa, karena ia telah mengungkap banyak kasus korupsi ataupun kasus suap, salah satunya adalah kasus suap yang melibatkan para petinggi Polri.

Terlebih tahun lalu, Novel tengah menyidik perkara megaproyek e-KTP. Maka, tidak heran bahwa banyak pejabat-pejabat kotor yang merasa bahwa keberadaan Novel sebagai penyidik KPK merupakan sebuah ancaman bagi praktik-praktik kotor mereka.

Sekarang coba bandingkan alasan pembunuhan dan penculikan para aktivis masa lalu dengan kasus Novel. Pada kasus Munir yang merupakan aktivis yang sering mengkritik pelanggaran HAM, ia sering mendapat teror yang akhirnya berujung pada dibunuhnya Munir di pesawat menuju Belanda. Sehingga dapat diasumsikan bahwa motif pembunuhan ini merupakan sebuah peringatan untuk para aktivis supaya bungkam.

Kemudian sama dengan kasus Munir, hilangnya 13 aktivis mahasiswa yang diculik secara paksa pada masa di mana dua agenda besar, yaitu pemilihan umun 1997 dan Sidang Umum MPR pada bulan Maret 1998 sedang berlangsung ini memiliki motif untuk membungkam aktivis lainnya jika tidak ingin hilang dan diculik juga.

Maka, bisa dikatakan bahwa motif terror dan penyerangan yang dialami Novel adalah sama dengan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu, yaitu untuk membungkam dan memberi pelajaran bagi para aktivis ataupun pemberantas korupsi untuk tidak mengganggu praktik kotor mereka dalam mencuri uang rakyat.

Kesamaannya lagi adalah kasus Novel sampai saat ini belum mendapat titik terang, mengenai siapa pelaku dan alasan sesungguhnya mengapa terjadi penyerangan ini. Meskipun Novel sudah pernah memberikan gambaran mengenai pelaku dan telah disebar melalui media, namun sampai sekarang pelaku belum juga tertangkap.

Masyarakatpun merasa resah karena hal ini, terlebih karena usulan pembentukan tim gabungan pencari fakta (TGPF) belum juga dikabulkan oleh pemerintah, sedangkan kasus ini seakan mulai tenggelam diantara permasalahan-permasalahan lainnya yang kini melanda Negara Indonesia.

Lalu, bagaimana jika nanti setelah Novel kembali ke KPK pelaku belum juga tertangkap? Bisa saja teror masih terus berlangsung apabila Novel masih setia menjalankan tugasnya dalam memberantas korupsi. Tetapi, jika seperti ini siapa yang seharusnya disalahkan, apakah memberantas para pemakan uang rakyat merupakan sebuah kesalahan? Tentu tidak. Jadi, sangat jelas bahwa para pelaku teror inilah yang seharusnya disalahkan dan segera diberantas.

Dengan adanya teror dan penyerangan terhadap Novel yang sampai sekarang belum terpecahkan, maka tidak menutup kemungkinan apabila teror menyerang para pejuang kesejahteraan rakyat yang lain. Dan apabila para peneror ini yang menang pada akhirnya, maka kesejahteraan rakyat tidak akan pernah tercapai.

Itulah mengapa, kita sebagai rakyat Indonesia, tidak bolek melupakan kasus-kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi, baik yang sudah terselesaikan maupun yang belum terselesaikan, karena meskipun Indonesia sudah menjamin hak warga negaranya, tetapi bukan berarti kita telah merdeka sepenuhnya. Karena perjuangan tidak akan pernah berhenti.

Sumber: https://indonesiana.tempo.co/read/112891/2017/06/22/firdaus_c/misteri-kasus-novel-udin-marsinah-dan-cak-munir

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini