Mengembalikan Perempuan di Hari Perempuan

Akhir-akhir ini banyak suara-suara emansipasi wanita dikoarkan kembali dalam menyambut Women's March 2018. Kaum hawa ingin agar hak-hak mereka disetarakan dengan lelaki.

"Kaum hawa ingin agar hak-hak mereka disetarakan dengan lelaki." Itulah yang cukup membuatku bingung.


Perempuan memiliki fitrah yang berbeda dengan lelaki, sehingga tidak bisa jika berusaha disetarakan. Usaha penyetaraan hanya akan membuat kita menjauhkan perempuan dari nilai-nilai perempuan pada dirinya.


Pada demo di ibukota yang foto-fotonya sudah viral di internet, para aktivis perempuan banyak membawa tulisan-tulisan yang mengecam atas segala tindak pelecehan dan asusila yang selama ini terjadi. Mereka menyerukan jika kejahatan seksual yang selama ini terjadi ialah berkat otak mesum para pelakunya dan cara berpakaian tidak seharusnya disalahkan.

Laki-laki aman-aman saja bila berpakaian seadanya, lalu kenapa perempuan banyak dihujat jika berpakaian seadanya? Tapi menurut saya poinnya bukan hanya disitu.

Poin lainnya berada pada penempatan bahwa perempuan berada di tempat yang berbeda dengan lelaki. Dalam artian, ketika perempuan berpakaian minim di tempat umum maka kasusnya akan sangat jauh berbeda dengan lelaki yang berpakaian minim. Cara lelaki tertarik kepada perempuan sangat berbeda dengan cara perempuan tertarik pada lelaki.

Saya coba mengibaratkan dengan sebuah kasus.

Suatu hari ada seorang anak yang hidungnya mengeluarkan darah. Lalu ia berenang di lautan lepas dimana banyak bermacam-macam hewan laut salah satunya hiu. Selang berapa waktu pun anak itu dimangsa oleh hiu.

Oke, mari kita ulas. Anggaplah anak tersebut ialah perempuan, sedangkan darah yang mengucur dari hidungnya ialah pakaian minim. Semua orang juga sudah tahu bila kita mengeluarkan darah maka jangan berenang di tempat yang ada hiunya. Anggaplah hiu itu adalah predator seksual dan hewan lain di lautan adalah orang-orang pada umumnya.

Perempuan yang berpakaian minim akan mudah memancing para laki-laki mesum di luar sana. Sebenarnya tidak banyak laki-laki yang memiliki peran sebagai "hiu", tapi jika yang sedikit itu mereka dipancing dengan "darah" ya tinggal menunggu waktu saja untuk disantap. Ada juga lelaki yang cuek saja ketika melihat perempuan berpakaian minim, ya karena lelaki itu bukan "hiu". Tapi ada juga lelaki yang lebih ganas dari hiu sehingga tidak perlu dipancing dengan darah, ikan pari mungkin? Yang beberapa waktu lalu menyengat Menteri Agama ketika sedang liburan. Masalahnya, kita tidak pernah tahu kapan akan berhadapan dengan hiu, ikan pari, atau hewan lainnya.

Atau mungkin lebih gampangnya, rumah yang terkunci pintunya saja bisa kemalingan apalagi rumah yang pintunya dibiarkan terbuka begitu saja atau bahkan tanpa pintu. Apa kita mau mengatakan, "Otak lo aja yang kalo lihat barang pengen ngambil, kok rumah gue yang disalahin" begitu?


Perempuan ibarat suatu perhiasan yang sangat berharga. Pada suatu jaman, perempuan menuntut agar dapat bekerja dan bebas melangkah jauh dari pintu rumah. Dan pada jaman now, perempuan mulai mengetahui kerasnya dunia dan seharusnya paham jika perhiasan dibiarkan berada di lingkungan luar tanpa ada perlakuan/penjagaan khusus maka perhiasan tersebut akan mudah rusak atau dicuri. Salah satu perlakuan khususnya ialah berpakaian dengan sopan.


Lalu bagaimana dengan fakta yang menyatakan jika mayoritas korban tindak asusila telah berpakaian sopan?

Kalau tentang hal itu, sudah pasti yang bersalah adalah lelaki yang menjadi pelakunya. Saya pun mendukung bila para pelaku dihukum seberat-beratnya. Hanya saja berpakaian dengan sopan dapat menjadi langkah awal untuk perempuan dalam usaha menghindari tindak asusila. Saya pun jika punya anak perempuan akan mengajarinya berpakaian dengan sopan, bila ibu saya berpakaian kurang sopan pun pasti saya akan mengomentari karena setidaknya saya telah berusaha mencegah hal buruk terjadi di luar sana.

Harapan dari apa yang saya tuliskan disini sebenarnya adalah agar perempuan menyadari betapa berharganya mereka dan mengembalikan emansipasi perempuan untuk menjadikannya perempuan seutuhnya, bukan emansipasi perempuan untuk menjadikannya setara dengan lelaki. Bahkan sudah banyak UU untuk melindungi perempuan yang sebenarnya hal itu menjadi bukti jika perempuan tidak bisa disamakan dengan lelaki, tidak pula lebih rendah ataupun lebih tinggi. Masing-masing gender memiliki teritori khususnya.

Dan saya menyayangkan ketika banyak insta story bertebaran yang hanya memajang foto-foto demonstrasi Women's March tentang deskriminasi berpakaian pada perempuan. Padahal sebenarnya ada 8 tuntutan yang dibawakan pada perayaan Women's March 2018 dan banyak yang memuat nilai-nilai positif serta memperlihatkan peran perempuan untuk sekitar yang tentunya lebih membawa banyak manfaat ketika dibagikan di media sosial.

Masih banyak kasus selain cara berpakaian yang memang perempuan tidak bisa disetarakan dengan lelaki, contohnya hak-hak untuk pekerja perempuan. Hanya saja saya lebih membahas tentang cara berpakaian karena isu tersebut memiliki kecenderungan untuk diekspos namun kurang tepat dalam pemahamannya.


It’s not discrimination to treat different situations in different ways.


Sudah saatnya kampanye kesetaraan gender diganti dengan kampanye keadilan gender, karena adil itu berarti memberikan perlakuan sesuai kebutuhan.

Selamat Hari Perempuan dan tetaplah menjadi perempuan seutuhnya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini