Percayalah, Menikah Bukan Cuma Soal Nafsu yang Dilegalkan Oleh Kata ‘Sah’

Dewasa ini memasuki usia yang hampir kepala 2, untuk memikirkan menikah bukanlah hal yg tabu dan aneh. I'm not a teenager again, apalagi dengan status ibu yg single parent dan saya anak perempuan tunggal. Dan itu artinya kami harus memenuhi kebutuhan hidup tanpa seorang laki-laki ditengah kami. Muncul keinginan untuk menikah muda. Ekspetasi saya adalah ketika menikah suami saya banyak sekali membantu, as simple as that.

Tapi ternyata menikah gak segampang bilang " SAH" banyak fase yg harus dilewati, dan yang paling saya takut sekaligus khawatirkan adalah ketika beradaptasi dengan keluarga calon suami, apakah mereka nantinya bisa menerima saya dengan latar belakang yg sedemikian rupa? Beruntung kalau nantinya keluarga calon suami mufakat dengan keluarga saya tapi jika tidak? Apa yg akan terjadi? Saya dibesarkan oleh kedua orangtua yg modern, di tengah hingar bingar kota metropolis ini. Saya hidup di Tanah Jawa yg kental dgn budaya Patriarkhi. Nilai-nilai di Kultur jawa belum banyak saya dapatkan, Mungkin ilmu Macak, Manak, dan Masak mungkin hanya sekedar tau atau segala macem tetek bengek lainnya, bangun pagi-pagi sekali, menyapu, mengepel, memasak, menyiram tanaman,membereskan kamar, membersihkan rumah dll.

Seorang perempuan Jawa yang dididik dengan nilai-nilai budaya patriarki tentu tidak asing dengan nasehat, jadi perempuan itu harus tahu unggah-ungguh (sopan santun),kalau tertawa jangan keras-keras apalagi tertawa lebar mulutnya,jadi perempuan itu harus menurut apa kata orang tua, jangan seenaknya sendiri,perempuan itu harus bisa masak, merawat diri, bisa melahirkan anak dan lain sebagainya. Berbanding terbalik dgn kebiasaan saya dirumah. orang tua saya sangat demokratis, apa yg bisa kamu kerjakan ya kerjakan tidak peduli siapa kamu laki atau perempuan, jam berapa, atau hari apa dan dimana. Tolak ukur hanyalah yg kamu lakukan itu yang selama ini diyakini benar. Setiap keluarga pasti mempunyai hak untuk mendidik keluarganya sendiri bukan? Berarti bukan sepenuhnya salah saya kan, jika budaya patriarkhi jawa belum fasih saya dapatkan, padahal Orangtua saya menyekolahkan tinggi- tinggi agar di kemudian hari saya mendapatkan kedudukan yang sempurna. Dan ternyata ilmu saya belum juga sempurna.

Lalu apa ketakutan dan kekhawatiran terbesar saya ketika menikah nanti? Yang tentunya menikah bukan hanya saya dan dia, tapi keluarga saya dan keluarga dia. Apa ibu bapaknya bisa menerima saya dengan lebih dan kurangnya saya, bukankah saya juga belajar beradaptasi dengan hal baru dan suasana baru?

Apa ibu dan bapaknya bisa memahami kalau mencuci baju anaknya saya serahkan laundry? Atau nanti masakan saya sebelumnya harus mencari resep-resep dan tanya-tanya dulu, kadang pula keasinan atau bahkan gak ada rasanya? Atau mengepang rambut cucunya saya nggak bisa? .

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Single fighter, Suka Makan, Slow walker, Mari berkelana

196 Comments

  1. Dtbs Steel berkata:

    harus bisa lah. masa kalau bisa sih

  2. Ngarepnya satu thok thil

  3. Dede Kuntoro berkata:

    Itu Kalau bisa!!!
    Kalo nggak , nah loh!!! Berkali2 kawin cerai jadinya, manusia hanya bisa berusaha, dan Allah yang menentukan, mau sekali atau berkali2 itu takdir dan Rahasai Allah

  4. Agnez Lim berkata:

    sayangnya banyak yg menjadikan nikah sebagai alat untuk tidak zinah doang, ya sama aja buat nge sah in nafsu

  5. Ade Surya berkata:

    semoga masih ada buat saya

  6. Rumini Sablah berkata:

    Hidup 1x,mati 1x,cinta 1x,nikah 1x.betul2….kata q….
    .