Menulis: Kemauan dan Menyempatkan!

Narasi tentang Bagaimana Menulis

Saya sering terjebak dengan istilah “tak ada waktu” untuk menulis. Saya sibuk kerja, mengurusi ini dan itu. Sungguh, benar-benar tidak ada waktu. Kata-kata itu juga sering saya dengar dari mulut rekan-rekan. Pun ayah saya. Kesibukan ayah saya cukup padat: sekolah, membaca buku, berdakwah. Saban hari hal itu dilakukan. Tiada hari tanpa membaca dan mengurusi masyarakat.

Betapa sayang, buku-buku yang ayah saya lahap itu hanya sebatas konsumsi lisan. Itu memang pahala, siapa bilang tidak berpahala. Hanya, ada sesuatu yang mengganjal. Ayah saya belum menemukan esensi dakwah yang seharusnya dilakukan seperti oleh ulama-ulama terdahulu, yaitu menulis.

Setiap kali saya bilang “Pak, coba dong menulis di media biar dakwahnya lebih luas.” Ayah saya hanya menjawab “Duh, tidak ada waktu. Sibuk.” dan terus-menerus itu dan itu jawabannya. Saya tak pantang menyerah, saya terus memberikan rangsangan bahwa ayah saya bisa kok menulis. Wong saya sering melihat sendiri, ayah saya rajin menulis catatan-catatan dakwah di kertas sebelum khotbah Jumat atau kegiatan pengajian di mulai. Dan, saya sering mendengar ayah saya membacakan teks yang ditulisnya itu.

Suatu hari, entah ada angin apa. Ayah saya datang menghampiri saya di kamar. Ia menyerahkan selembar tulisan—ditulis tangan—berjudul “Fenomena Batu Akik”.

“Tolong diketik ulang. Kirim ke koran ya. Kalau ada yang kurang tolong kamu tambahi!”

Sungguh, betapa riang hati saya. Saya bengong sendiri. Saya perhatikan lagi tulisan itu. Saya baca dengan saksama. Ternyata tulisannya lumayan jelek, tapi sebisa mungkin saya edit bahasanya supaya layak muat. Tuhan memang Maha Baik, beberapa hari kemudian tulisan itu nongol di koran lokal Banten. Saya diam-diam menaruh koran itu di meja ayah saya sebagai sebuah kejutan. Ayah saya pun membacanya sambil gaya songong “Dapet honor nggak? Berapa?” Saya jawab, “Lima puluh ribu”. Ayah saya jawab lagi, “Kecil amat?”

Honor itu pun saya lahap sendiri. Lalu, setelah itu ayah saya menghilang. Dan, ketika saya tanya lagi kapan menulis di media lagi. Jawaban klise itu muncul lagi, “Sibuk. Tak ada waktu!”.

Ya, saya tidak sepenuhnya menyalahkan ayah saya. Itu hak ayah saya mau memilih menulis atau tidak. Kalau tidak mau, memang tidak bisa dipaksa. Karena kunci awal segala suatu pekerjaan adalah niat dan kemauan. Kalau diawali dengan kemauan, kerja selanjutnya adalah menyempatkan. Kemauan tanpa menyempatkan adalah omong kosong. Ibarat pengin belajar naik sepeda, tapi tak pernah menyempatkan diri menaiki sepeda itu.

Tapi, ada juga istilah yang bagi saya sedikit menyesatkan misalnya begini “Apa sih yang tidak bisa dikerjakan, semua pasti bisa.” Masalahnya apa yang dikerjakan itu atas dasar kemauan atau bukan? Kalau bukan atas dasar kemauan lebih baik hindari. Atau lebih tepatnya itu hasrat yang tak dikehendaki. Maka, sengaja saya berikan judul tulisan ini “Menulis: Kemauan dan Menyempatkan!”

Segala macam alasan sibuk ini dan itu hanyalah alasan tidak menyempatkan. Pasti ada sisi celah waktu yang mungkin bisa kita gunakan untuk ruang “menyempatkan” itu. Kadang kala saya sibuk kerja, saya sering mengutuk diri sendiri, “Duh, nggak ada waktu menulis. Sibuk kerjaan!” Padahal kala waktu saya senggang, buktinya tetap saja saya tidak menuulis. Mengapa kesibukan dan waktu yang disalahkan? Salah sendiri tidak menyempatkan. Sudahlah, jangan terlalu banyak alasan tidak menulis. Kalau kau ada kemauan, ayo jalan. Ayo bergerak. Ayo menyempatkan.

Saya ingat kata-kata kolumis majalah Hidayatullah, M. Fauzan Azhim dalam bukunya (saya lupa judulnya). Intinya, sejatinya manusia itu bukan malas menulis, melainkan malas berpikir. Menulis itu memang menyedot energi tubuh dan pikiran. Menulis catatan ini pun energi saya cukup terkuras. Apalagi setelah saya bercinta dengan istri. Tapi, apa yang membuat tulisan ini selesai, yaitu MENYEMPATKAN!

Saya akan selalu mengutuk diri, “bukan karena saya sibuk dan tidak bisa menulis, tapi karena saya tidak menyempatkan!”

Tengoklah HAMKA dan Pramodya Ananta Toer. Mereka menulis di tengah cekaman jeruji besi. Tapi, apa yang bisa membuat mereka menjadi penulis sejati hingga kini, tiada lain adalah “MENYEMPATKAN MENULIS!”

Kiara, 8 Mei 2018

Encep Abdullah, sastrawan yang hijrah menjadi motivator

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Encep Abdullah, penyuka cabe-cabean.