Menyelami Makna Cinta dan Nafsu

Mencintai dan dicintai sudah merupakan fitrah manusia sejak ia dilahirkan, dan merupakan suatu hukum alam yang telah Allah gariskan demi berlanjut dan seimbangnya suatu tatanan kehidupan.

Tidak bisa dibayangkan, bila manusia yang terhampar dimuka bumi dengan segala penciptaan-nya yang bermacam ragam. Dari mulai suku, bangsa, agama serta karakter yang tak serupa ini, terasingkan oleh perasaan cinta. Tentu Perang akan semakin meruncing kala cinta sudah tiada dan mulai mengering didalam diri manusia.

Akan tumbuh subur kebencian, rasa dendam, acuh tak acuh serta lenyapnya rasa tenggang rasa terhadap sesama yang akan berimplikasi pada kerusakan tatanan kehidupan.

Terlepas dari pentingnya rasa cinta yang harus dimiliki oleh manusia, namun saat ini makna kesuciannya telah menjadi tabu untuk dibicarakan, mengingat banyak perilaku maksiat sebagian mereka sandarkan atas dalih nama cinta. Hingga makna kesejatiannya sulit dibedakan antara yang mana cinta dan yang mana nafsu.

Kadang kita mencari makna cinta yang hakiki lewat petuah-petuah para pujangga, sedang sejatinya cinta tidak dapat didefinisikan dengan hanya ungkapan kata-kata yang berakhir pada kesimpulan yang tidak memuaskan, kebuntuan, dan kadang menyisakan tanda tanya besar dalam benak.

Cinta tidak bisa diserupakan dengan nafsu, karena orang yang mencintai belum tentu memiliki hasrat dan bernafsu terhadap apa yang ia cintai. Pun nafsu tidak bisa diselarkan dengan cinta, karena hal yang membuat ia bernafsu, belum tentu dirinya mencintai apa yang saat ini membuatnya bernafsu. Namun tak sedikit pula orang mencinta dengan diiringi nafsunya, ini bisa dibenarkan, namun tergantung objek apa yang dicintainya.

Contohnya, jika kita mencintai sosok wanita, tentu cinta akan melebur menyatu dengan sebuah nafsu, dan itu sudah fitrah normalnya. Namun bila kita mencintai seorang ibu, nafsu akan berpisah layaknya air yang tidak bisa menerima kehadiran pekatnya minyak, namun bisa berdampingan.

Jadi jelas, cinta dan nafsu berbeda dan bisa dibedakan. Dan merupakan perkara tersurat bukan tersirat, yang mana akan mempengaruhi pemahaman kita hingga sampai pada titik sebuah kesimpulan yang salah.

Islam mengajarkan untuk menikah saat gejolak cinta sudah mulai menguasai diri, itu karena cinta pada pasangan memiliki intisari gairah nafsu yang cukup besar. Bagi yang tidak mampu untuk menikah dalam waktu dekat, rosul menganjurkna kepada umatnya untuk berpuasa.

Jika sepasang kekasih tengah berdua-duaan, mereka akan dihinggapi perasaan sesak karena benih cintanya akan melahirkan sebuah hasrat birahi, dan jika sepasang kekasih tidak mampu menguasai diri, maka rasa itu akan naik dan memuncak ke ubun-ubun yang berakhir pada perbuatan yang sangat tercela.

Tidak memandang sekokoh apapun iman seseorang, tidak melihat sebaik apapun didikan agama seseorang, jika dirinya masih tetap mendekati hal yang akan melahirkan suatu tindakan maksiat, tidak menutup kemungkinan ia juga akan tetap terperosok kedalam perbuatan nista.

Karena dorongan nafsu lebih hebat ketimbang iman yang kadang pasang surut, terlebih setan memiliki macam tipu daya untuk menjerumuskan anak cucu Adam kedalam lembah dosa.

Dalam hal ini, Nafsu-lah yang menjadi pokok muara permasalahannya, dan ini telah dijelaskan oleh rosul jauh-jauh hari. Ia mengatakan, perang yang paling berat, bukan perang yang saat ini ia alami beserta para sahabatnya dalam memerangi kaum kafir. Tetapi perang yang paling berat, adalah perang melawan hawa nafsunya sendiri yang berjejal dan bergejolak dalam hati.

Sudah banyak orang-orang saleh yang celaka karena terjebak dengan nafsunya yang berakhir pada sebuah penyesalan, serta sudah tidak terhitung pula jumlahnya para tokoh masyrakat dan pejebat yang terseret oleh hawa nafsunya sendiri hingga berakhir didalam terali besi.

Sejatinya bahwa cinta itu fitrah dan merupakan salah satu anugrah yang Allah berikan kepada manusia, dan sepatutnya pula kita sykuri.

Seyogyanya kita harus menjaga kesucinnya, jangan sampai cinta yang fitrah ini menjadi suatu fitnah yang akan merusak iffah dan izzahnya manusia. Kita tidak bisa meniadakan nafsu yang sudah Allah patrikan dalam diri manusia, karena itu bentuk kesempurnaan penciptaannya.

Kita hanya diharuskan meredam, dan mengendalikan sebisa mungkin agar hawa nafsu kita tetap pada jalur yang benar, tentunya jalan yang diridhai oleh Allah. Karena hal ini akan menjadi bumerang kala seseorang tidak mampu menguasai dan mentadaburi hakikat cinta yang sesenguhnya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Mahasiswi asal Tasikmalaya ini sedang berkuliah di Institut Agama Islam Cipasung, semester 7, aktif di beberapa organisasi seperti PMII, KOPI(Komunitas Penulis IAIC) dan beberapa organisasi sosial lainnya. Selain aktif di organisasi ke-mahasiswaan, penulis juga aktif di dunia kesenian musik yang bergenre band. Selain banyak menciptakan lagu-lagu solo, penulis juga banyak menciptakan karya-karya berupa fiksi seperti cerpen dan puisi. Motto hidup dari penulis ini ialah" Hidup untuk menghidupkan”.