Miskinku Malang Miskinku Sayang

Mana ada orang yang dengan sengaja memilih untuk hidup sebagai orang miskin. Hidup dengan keadaan serba kurang, makan tak pernah kenyang, bersapih baju usang seakan keinginan hidup jatuh melesat ke dalam jurang yang tak pernah tersentuh cahaya terang. Mimpi setiap orang tentunya ya menjadi orang kaya, serba berkecukupan, gaji yang mapan, jadi orang terpandang dengan harta bergelimang tanpa rasa khawatir akan hutang yang selalu terbayang dalam hidup yang tenang.

Tetapi, lain lubuk lain belalang. Berbeda halnya dengan sekerumun orang (anggap saja kaya) yang justru menginginkan dirinya diakui sebagai orang miskin. Apakah hal seperti itu benar-benar ada? Ada dong! Baru-baru ini fenomena miskin mendadak merebak di berbagai daerah. Penyebabnya dipicu karena adanya kebijakan dari Menteri Pendidikan yang sebenarnya bukan hal baru lagi. Media massa baik online maupun cetak diramaikan dengan tulisan-tulisan perihal sistem penerimaan peserta didik baru, yang menuai begitu banyak kritik, caci maki, hujatan hingga sumpah serapah yang tak elok didengar dan dipandang mata.

Dari mulai pihak sekolah, pemerintah daerah sampai menteri pendidikan-pun tidak luput dari berbagai aduan protes yang dilontarkan berbagai macam pihak terutama orang tua/wali murid yang merasa dirinya kaget, tidak cocok, terkejut bahkan tidak suka dengan berlakunya sistem zonasi. Wajar saja, jika sebuah kebijakan menuai begitu banyak kontra dan penolakan. Agaknya hal semacam ini hangat-hangat tai ayam. Lama kelamaan juga dingin sendiri.

Namun, bukan tentang setuju atau tidaknya, cocok atau tidak cocok berlakunya sistem zonasi ini. Tapi ada hal lain yang justru membuat penulis menjadi sangat kesal, gemas, marah dan jengkel karena beberapa perilaku masyarakat yang tidak patut ditiru. Apa itu ? Tentu saja cara kotor yang dipakai agar diterima di sekolah. Dengan acara apa? Memalsukan kemiskinan.

Mengapa hal ini terjadi? Karena salah satu ketentuan baru dalam peraturan penerimaan peserta didik bahwa sekolah setidaknya memenuhi kuota 20% peserta didik tidak mampu dari kuota penerimaan peserta didik komulatif. Dan inilah moment paling tepat yang dimanfaatkan segelintir orang tua (anggap mampu) agar anaknya dapat sekolah dengan keringangan biaya kalau perlu malah gratis. Mana ada si orang tua yang menolak anaknya bisa sekolah dengan biaya 0%. Lumayan, kan? Bisa menghemat pengeluaran, mending buat uang jajan anak, atau untuk beli seragam, buku tulis dan keperluan sekolah yang lain.

Dilansir dari laman tirto.co.id, Senin (7/8/2018), bahwa di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat justru muncul jalur SKTM. Banyak orang tua yang berbondong-bondong datang ke kelurahan untuk mebuat SKTM. Hal ini sangat sangat menggelitik sekali. Di saat pemerintah menggaungkan pendidikan karakter untuk meningkatkan moralitas bangsa melalui sekolah, justru orang tua secara tidak langsung mengajarkan anak untuk berbohong dan tidak jujur.

Penulis pikir, meminta pengakuan miskin itu memang wajar-wajar saja. Akan tetapi kalau memaksakan kehendak apa iya tidak takut dimiskinkan beneran. Agaknya cara pandang orang tua masih harus diluruskan dan dibuka selebar-lebarnya agar tidak salah memberikan didikan untuk anak mereka. Dari yang awalnya bernama Surat Keterangan Tidak Mampu berubah menjadi Surat Keterangan Tidak Miskin.

Kalau dirasa mampu untuk membayar pendidikan anak sendiri kenapa harus takut kalau-kalu tidak bisa membayar. Pemerintah sudah menyediakan keringanan, dengan adanya bantuan operasional bahkan beasiswa. Tidak ada orang yang mau dimiskinkan hanya karena sepucuk surat kan? Alih-alih masa depan anak menjadi cerah malah pupus sebelum berkembang.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Pejalan kaki yang sukses!