Panah Tumpul

Tembakan panah yang mengarah, berbulan-bulan melebam. Sakit tetapi tidak berdarah. Berharap sembuh hanya tak lekas. Hari demi hari dilalui, mengerjakan setumpuk helai perhelai, bahkan mengerjakan lagi dan lagi pekerjaan yang sudah dikerjakan. Ini sulit, aku ingin berteriak. Mungkinkah ini penyiksaan, bukan lagi tugas yang layak untuk dibanggakan. Hari ini (Jkt, 1 Des 2018) aku ingin menyembuhkan lebam. Bagaimana?

Memantapkan keputusan tanpa membiarkan menimbulkan lebam yang lain. Aku harus pergi, jika tidak ia akan tetap sama. Tidak semestinya bertahan dengan menghabiskan waktuku yang berharga. Kalian peras tenagaku seperti jeruk nipis yang hanya tertinggal ampas. Hidup harus realistik,"pikirku". Waktu mesti dibayar, loyalitas mungkin kadang tapi tidak setiap saat.

Semua harus dihargai selayaknya peraturan yang berlaku. Aku bukanlah robot tanpa letih melakukan segala hal yang diperintah. Sudalah…sudah. Kini akhir kisah panah tumpul. Akan ku asa hingga tajam, berharap meleset, menembus, dan bergairah. Hanya sekarang aku ingin nikmati hidup, seperti mereka, yah meraka. Berakhir menjadi bahagia.

The Choice Aku mengalami gejolak batin setelah sebulan aku di perusahaan X. Posisiku disana sebagai stylish dress. Aku tanya yang apa yang kamu pikirkan tentang posisi itu, i mean kerjaannya seperti apa? Kamu tau pikiranku saat itu menggambar dress, menjahit layaknya designer, dan elegant seperti namanya.

Tapi yang sebenarnya daily working ku mencuci dress, steam dress, setrika dress, merapikan dress yang berantakan, fitting dress, merapikan dress ketika lagi ada pemotretan, dan menjadi helper dress saat kondangan, overtime tanpa uang lemburan, dan lainnya. Ini bukan pekerjaan yang aku inginkan. Aku sedih ketika aku mengerjakan pekerjaan ini, aku takut jika orang tuaku tau mereka sedih, kenapa karena yang aku kerjakan seperti pekerjaan bibi di rumah. Ini bukan soal harga diri tapi soal ekspetasi pekerjaan.

Selama di perusahaan X aku sering murung, jarang bersosialisasi, dan menjadi orang yang menyebalkan. Aku tidak punya teman dekat disana. Beberapa orang sering menertawaiku jika aku sedang berbicara bahkan menyuruhku bagaikan babu. Kami sepantaran tapi tidakkah adil jika sering bertindak semaunya. Disini, saat ini aku sepih dan batinku tersiksa.

Sekarang saat aku meluapkan isi hatiku dan mengingat semuanya. Entah kenapa terasa bercabik-cabik seperti raga menetap tapi jiwa melayang. Aku ingin pergi, sudah tak tahan dengan suasana yang membunuhku perlahan. Ini pelajaran buat aku (kamu) yang terpenting dalam lingkup perkantoran adalah pekerjaan yang kamu cintai dan orang bisa menerima kamu.

Iya, kamu sudah tau itu. Hanya saja aku mengingatkanmu lagi. Mungkin saja berguna. Jika kamu mengalami hal serupa seperti kisahku, pergilah dari sana dan temui dunia baru yang lebih bersahabat bukan mencekikmu secara perlahan. Lakukan! Jangan bimbang! Kamu bisa!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

fake name