Pantaskah Aku Mengutuk Hujan? Atau Harus Ku Kutuk Saja Diri Sendiri yang Terlalu Banyak Mau?

Udara dingin menghunus badan hingga ke tulang rusuk. Darah ini serasa seperti akan berhenti mengalir, paru-paru sudah terasa sesak tak mampu mendengus dengan selayaknya lagi. Tanah tak pernah kering, ricak dan genangan air mewarnai kampung halaman rumah.

Advertisement

Nyamuk seolah-olah semakin merajalela di mana-mana, selamat karena ini mungkin adalah musim nyamuk! Ia sudah mulai bebas menancapkan racunnya di setiap landasan yang dirasanya nikmat untuk disantap. Mereka saat ini sudah semakin kurang ajar, jika manusia edan zaman; hanya sedikit mengenal tata krama, ia malah sama sekali tak mengenalnya. Ia tak pernah pandang bulu mencari musuh sebagai santapan pagi, siang, dan malamnya.

Hujan terus-menerus menyerbu halaman rumahku. Ia seolah-oleh kesurupan menerjang setiap sudut halaman rumahku, tak ada satupun yang terlewatkan untuk dijamahinya. Ia benar-benar sudah menelanjangi duniaku! Hujan deras disertai angin kencang sudah lengkap menyebabkan kakiku seperti lumpuh, karena tak mampu ke mana-mana untuk menjalankan aktivitas yang seharusnya aku laksanakan.

Pintu rezekiku seolah-olah tertutup, karena mencari nafkah untuk kebutuhan makan sehari-hari harus tertunda. Hujan sialan!!! Tega sekali ia menahanku hingga aku harus seperti ini. Lunglai tak berdaya, seperti manusia terkena serangan stroke. Diam mematung di sudut kamar yang terkadang ditemani nyamuk usil yang mengintai kulit mulusku. Awas.. akan ku jitak saja moncongnya apabila ia berani mendarat dipermukaan kulitku. Huh!

Advertisement

Semua ini tak akan terjadi apabila hujan tidak datang. Semua karena hujan. Semua ini tak akan pernah terjadi apabila hujan tak terus-menerus menyerbu. Pertanyaan besar yang muncul di kepalaku adalah, 'Siapa yang telah berdoa agar hujan turun?' Yang jelas bukan aku! Tidak mungkin aku, karena aku tak menyukai kedatangannya. Jadi, jangan kalian menatapku seperti itu. Aku bukan dalang dari turunnya hujan ini. Tak mungkin aku yang melakukannya.

Apakah mungkin pohon dan bunga yang ada di halaman rumahku? Mungkin saja mereka.

Advertisement

Karena seingatku, mereka tidak pernah aku sirami. Tak pernah aku berikan makan dan minum secara rutin sehingga tubuh mereka terlihat layu dan kurus. Mungkinkah mereka telah mengadu kepada Tuhan sehingga hujan terus-menerus datang menyerbu seperti sedang kesurupan? Seperti hujan yang diturunkan pada zaman nabi sebagai bentuk kemurkaan kepada hamba yang telah banyak membangkang? Ah, tak ada lain kalau bukan mereka! Mereka yang telah berdoa kepada Tuhan agar hujan terus-menerus turun menerjang bumi. Atau bukan hanya pohon dan bunga di halamanku saja, tapi di rumah kalian juga?

Hei, apakah kalian juga tak pernah memberikan mereka makan? Haha. Rupanya kita sama-sama jahat dan egois ya, kawan?!

Konklusi yang bisa ku tarik adalah bahwa seluruh tumbuhan yang ada di halaman rumah kita masing-masing sama-sama tersakiti dan akhirnya secara bersama-sama mengadu kepada Tuhan. Ibaratnya seperti umat manusia yang mendemo Ahok hingga berjilid-jilid. Hahaha. Di mana letak harga diri kita sebagai manusia? Tumbuhan berdoa untuk turun hujan, sedangkan manusia berdoa agar diberikan sinar mentari. Tuhan ternyata lebih mengabulkan doa tumbuhan. Harga diri manusia sudah benar-benar di bawah derajat tumbuhan.

Jangan salahkan mereka, lebih baik mungkin kita sama-sama berintrospeksi.

Katanya, manusia itu adalah mahluk yang sempurna dan terhormat. Apa iya, sih? Nyatanya doa tumbuhan lebih didengarkan oleh Sang Pencipta, 'kan? Apa-apaan ini? Pelecehan luar biasa pikirmu? Ini benar-benar ejekan yang menggelikan. Manusia kalah dengan tumbuhan yang tak mampu bersiul dan bernyanyi seperti manusia. Keterlaluan…

Tapi jika ditelusuri, manusia itu memang egois. Teringat beberapa hari lalu ia begitu merindukan turunnya hujan, karena tenggorokannya kehausan, serta badannya terasa sangat panas. Dan sekarang ketika hujan turun dan angin sepoi sudah mulai mendinginkan tulang, ia malah kembali menuduh hujan sebagai dalang dari permasalahnnya.

Oh, sungguh egoislah manusia. Mungkin itulah salah satu alasan mengapa Tuhan lebih mendengarkan aduan sang bunga dan pohon daripada mendengarkan doa manusia yang penuh dengan gombalan dan kebohongan. Ah, aku hampir lupa, jika Tuhan itu Maha Pintar dan Mengetahui. Astaga…

Lantas, pantaskah aku mengutuk hujan? Aku malu. Daripada semakin tertunduk malu, lebih baik diam dan berhenti mengutuk hujan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Financial Analyst and Novelist

CLOSE