Renungan Tentang Pengekspresian Diri Adalah Hak Asasi. Selagi Muda, Kita Jangan Mau Dibatasi!

Pada suatu pagi, ketika terbangun dari tidur, saya merasa benar-benar hampa. Saya tahu ada sesuatu yang salah dari perasaan saya; saya sedang down. Tapi yang bahaya adalah, saya tidak tahu apa yang membuat saya down. Kenapa ini berbahaya? Karena buat saya mengendalikan emosi diri adalah sesuatu yang paling penting. Prinsip saya, kepala harus dingin, hati harus ringan. Apabila dua hal tersebut tidak sedang terjadi pada diri saya, maka saya harus tahu apa yang membuat saya merasa berat sehingga saya bisa memperbaikinya. Ya kan? Untuk apa kita bergalau ria dan menikmatinya?

Advertisement

Nah, berhubung saya tidak tahu apa yang membuat saya down, maka saya mulai berbaring santai sambil mendengarkan musik ringan, mencoba untuk memahami hal apa saja yang muncul dalam kepala saya. Ada beberapa hal, pertama soal karir, ambisi, dan tujuan hidup sebagai seorang manusia. D'masiv bukan favoritku tapi saya setuju sekali dengan lirik salah satu lagu mereka; "syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah". Tentunya kita harus menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain, bukan? Hal itulah yang dirasa kurang dari diri saya sendiri sebagai seorang manusia yang hidup.

Yang akan saya bahas saat ini bukanlah mengenai tujuan hidup, tapi pengekspresian diri. Terus terang, saya adalah orang yang sangat sulit untuk mengekspresikan diri. Orang bilang muka saya adalah sejenis poker face, dan muka poker biasanya sulit untuk mendapatkan simpati dari orang lain. Terbayang, kan, betapa berbahayanya memiliki muka poker bagi seseorang? Tentu saja, bila kita sulit untuk mendapatkan simpati dari orang lain maka orang akan mengatakan seperti ini saat kita sedang kesulitan : "masih banyak yang lebih menderita daripada kamu". Padahal penderitaan itu kan emosi, bukan volume atau sesuatu yang bisa diukur lantas diperbandingkan antara orang satu dengan yang lainnya.

Menderita ya menderita, nggak ada yang lebih menderita, enggak ada yang lebih bahagia. Kelanjutannya dari sulit disimpatiin orang lain ini adalah perasaan sendirian alias kesepian. Kita akan merasa sendirian menghadapi dunia ini pada saat kita kekurangan simpati dari orang lain (itu sebabnya banyak orang kesepian akhirnya menjadi caper).

Advertisement

Lalu apa yang salah dari merasa sendirian? Buat kamu yang mungkin sangat beruntung sehingga tidak paham bagaimana kehidupan orang yang sendirian dan kesepian, menurut Bunda Theresa dari India, kemiskinan paling buruk yang mungkin dapat dialami seseorang adalah perasaan kesepian. Jadi sepi simpati lebih buruk, jauh lebih buruk daripada sepi duit, apalagi sepi notif sosmed.

Menurut saya, salah satu alasan seseorang jadi kurang mampu untuk mengenali perasaan diri sendiri adalah karena orang tersebut jarang mengekspresikan dirinya sendiri dengan baik dan tepat sasaran.

Advertisement

Saya bermaksud untuk mengatakan bahwa kita semua berhak untuk menangis tanpa dikatai cengeng. Kita berhak untuk galau tanpa dikatai baper. Kita berhak untuk berbahagia tanpa dikatai gila. Kita berhak untuk marah tanpa dimarahi balik. Syarat dan ketentuan : kita mengekspresikan semua perasaan tersebut dengan penuh tanggung jawab dan tidak merugikan orang lain.

Tentunya pada saat kita mengekspresikan diri, orang disekitar kita pasti akan turut "tertular" emosi yang kita pancarkan tersebut. Bisa jadi karena semua orang pada dasarnya sama sehingga dapat menjadi cermin bagi orang lainnya. Tapi tetap saja, kita berhak untuk mengungkapkan perasaan kita tanpa dikatai sesuatu yang berkonotasi negatif. Kita berhak untuk menangisi anjing kita yang mati karena diracun orang, kita berhak untuk merasa kesal sendiri pada saat kalah main game. Kita punya hak untuk merasa, karena hidup ini adalah tentang mengalami. Melarang seseorang untuk mengekspresikan diri hanya karena mereka (yang melarang itu) merasa terganggu adalah tindakan yang sangat amat pengecut! Pengecut karena melarang seseorang untuk meluapkan perasaannya.

Pengecut karena mereka tidak bisa mengendalikan emosi diri sendiri sehingga melarang orang lain untuk memiliki emosi. Kalau terganggu dengan orang yang sedang kasmaran, kenapa tidak menyingkir saja? Kalau hati jadi tidak tenang dengan orang yang marah-marah sendiri, kenapa tidak mengungsi saja untuk sementara waktu?

Saya dengan keras menentang orang-orang pengecut itu! Tapi apabila orang yang sedang mengekspresikan diri itu menyakiti orang lain dalam prosesnya, saya justru mendukung orang-orang "pengecut" tersebut.

Ya, memang semua hal punya pro kontranya sendiri. Mengekspresikan diri bisa menjadi hal yang jahat apabila yang bersangkutan merugikan orang lain. Misalnya, karena tim bolanya kalah telak, lantas dia mengekspresikan diri dengan cara bakar-bakar barang milik orang lain. Mobil pendukung lawan dibakar, mini mart yang enggak tahu apa-apa dan enggak ada sangkut pautnya dijarah … kalau mau kesal, lebih baik kesal sendiri saja, tapi jangan menyalahkan orang lain; jangan menyakiti orang lain karena kita sedang merasa sakit. Kita punya hak, kok, untuk berekspresi, tapi menyakiti orang lain sudah merupakan kejahatan. Kebebasan itu batasnya adalah kebebasan orang lain, demikian juga dengan perasaan kita yang berbatasan dengan perasaan orang lain.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Bagi seorang penulis, pikirannya adalah aset.

12 Comments

  1. Shi Shi Ardhana berkata:

    setuju saya mah :v

CLOSE