Peralihan dari Fast Fashion Menuju Slow Fashion

Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini masyarakat Indonesia maupun dunia, baik muda maupun tua, selalu ingin berpenampilan trendi dengan mengikuti perkembangan mode. Berbagai merek terkenal dunia seperti ZARA, H&M, PULL&BEAR, hingga Bershka menjadi merek favorit khususnya bagi kaum hawa.

Advertisement

Hal ini terbukti dari banyaknya store dari merek-merek tersebut yang dibuka di mall-mall kota besar di Indonesia. Bagaimana tidak, mereka menyuguhkan jenis pakaian yang trendi namun juga dengan harga yang cukup terjangkau. Tentu saja hal ini membuat merek-merek yang mayoritas berasal dari Eropa ini digemari masyarakat. Mereka bisa berpenampilan up to date tanpa membuat ‘dompet tipis’. Melihat fakta bahwa merek-merek tersebut cukup digandrungi oleh masyarakat, tentunya dalam proses produksi mereka juga membutuhkan kecepatan yang konsisten. Namun sayangnya, dalam proses pencapaian target produksi ini, seingkali mengabaikan faktor lingkungan. Mereka tidak memikirkan dampak dari proses produksi tersebut, seperti polusi air, bahan kimia beracun, dan limbah tekstil. Fenomena seperti ini dapat kita sebut sebagai fast fashion. Fast fashion merupakan sebuah istilah dalam industri fashion yang fokus pada kecepatan produksi, menciptakan tren pakaian dengan harga yang terjangkau, tanpa memikirkan dampaknya terhadap lingkungan.

Siapakah orang di balik proses produksi?

Berbicara tentang proses produksi, tentunya tak lepas dari peran besar para pekerjanya. Siapakah sebenarnya orang-orang yang membuat pakaian tersebut? Tak sulit untuk menemukan jawabannya. Tentu saja perusahaan garmen mengincar tenaga kerja dari negara berkembang karena murahnya upah pekerja di negara tersebut. Salah satu negara berkembang yang menjadi incaran perusahaan garmen adalah Bangladesh. Negara ini merupakan eksportir garmen terbesar kedua di dunia setelah Cina. Bangladesh mengandalkan sektor industri garmen sebagai sumber devisa utamanya.Industri garmen menyumbangkan sekitar 194 triliun rupiah setiap tahunnya, yang berarti 79% pendapatan negara tersebut dihasilkan dari industri garmen. [1]

Advertisement

Lalu bagaimana dengan upah kerja mereka? Apakah sebanding dengan pekerjaan yang mereka lakukan?

Dari segi pekerjaan, karena industri ini tergolong dalam fast fashion, tentu saja pekerja dituntut untuk dapat menyelesaikan proses pembuatan pakaian secepat mungkin. Bahkan, tak jarang mereka diberi target. Seperti misalnya salah satu merek fast fashion yang membuat target bahwa pekerja harus dapat menjahit sejumlah 67 rompi (vests) per jam, untuk mendapatkan upah minimum sebesar 8 dollar AS atau sekitar 114.300 rupiah.[2] Hal ini jelas mengacu kepada sebuah fenomena yang dapat kita sebut sebagai perbudakkan modern (modern day slavery). Mereka dipaksa untuk bekerja cepat namun dengan upah yang pas-pasan. Bahkan terkadang kurang untuk memenuhi kebutuhan pangan, pendidikan, bahkan sandang. Padahal mereka bekerja di bidang garmen, namun masih sulit untuk memenuhi kebutuhan sandangnya. Terlebih lagi, tidak adanya jaminan keselamatan kerja. Seperti kasus rubuhnya pabrik industri garmen di Bangladesh pada April 2013 silam, dimana bangunan yang bernama Rana Plaza ini rubuh dan menyebabkan tewasnya 1.134 pekerja di pabrik tersebut.[3] Mereka yang telah bekerja selama 90-100 jam dalam seminggu sudah sepatutnya mendapatkan jaminan keselamatan kerja yang jelas bukan?

Advertisement

Ayo beralih ke produk slow fashion!

Melihat ‘ngeri’nya dampak yang ditimbulkan dari fast fashion baik terhadap pekerja maupun lingkungan, tentu saat ini akan muncul pertanyaan, lalu apa yang harus kita lakukan untuk mengurangi dampak-dampak tersebut? Solusinya adalah slow fashion. Slow fashion merupakan model bisnis baru yang dipopulerkan oleh Kate Flatcher, profesor sustainabilitas, desain, fashion pada Centre for Sustainable Fashion, University of the Arts London. Fashion jenis ini menawarkan ketahanan produk dimana dalam proses produksinya sesuai namanya, dilakukan dengan lambat dan penuh kehati-hatian. Slow fashion juga berprinsip untuk memperlakuan pekerja mereka dengan layak. Selain itu, bahan-bahan yang dipilih pun merupakan bahan yang ramah lingkungan dengan material yang terbukti tahan lama/awet.

Dimana kita dapat meperoleh produk slow fashion khususnya di dalam negeri saat ini? Jangan khawatir, saat ini telah banyak pengusaha lokal terutama di bidang garmen yang sangat memperhatikan isu lingkungan. Sehingga mereka sangat berhati-hati dalam proses produksinya. Dari segi pemilihan warna misalnya, yang mana mengadopsi teknik natural dye. Beragam variasi pun dilakukan dengan menjadikan teknik jumputan sebagai ciri khas dari produk-produknya. Bahkan, terdapat pula beberapa pengusaha lokal ini yang mengadakan workshop mengenai natural dye. Selain memberikan pengalaman yang menarik bagi peserta workshop, dimana mereka bisa membuat kain dengan pola-pola sendiri, kegiatan ini juga dapat memberikan edukasi akan pentingnya menjaga lingkungan, khususnya dalam proses produksi garmen.

Prooduk-produk slow fashion memang tak semurah yang ditawarkan oleh fast fashion. Namun melihat prosesnya yang benar-benar meminimalisir terjadinya pencemaran lingkungan dengan penggunaan natural dye, dan pemilihan bahan yang tahan lama, tentunya untuk kualitas produk tidak dapat diragukan lagi. Dan yang paling penting, perlakuan yang layak terhadap pekerjanya lah yang perlu diapresiasi.


[1] Fitri Handayani,Produksi Fast Fashion: Hubungan Asimetris antara Bisnis Fashion terhadap Kesejahteraan Pekerja Bangladesh, academia.edu, https://www.academia.edu/31838921/Produksi_Fast_Fashion_Hubungan_Asimetris_antara_Bisnis_Fashion_terhadap_Kesejahteraan_Pekerja_Bangladesh

[2] Kristin Schulz, Why We Can’t Stay Forever 21, endslaverynow.org, https://www.endslaverynow.org/blog/articles/why-we-cant-stay-forever-21

[3] Ibid.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Saya merupakan mahasiswa lulusan Hubungan Internasional UNPAR pada 2014 lalu. Saat ini, saya bekerja di bidang pendidikan. Saya memiliki ketertarikan dalam isu-isu sosial, anak-anak, pendidikan, dan peranan LSM untuk pembangunan di Indonesia.

CLOSE