Stop untuk Selalu Pamer di Dunia Maya, deh. Alasan Ini Akan Membuatmu Yakin

Kebutuhan pamer “Harus”

Advertisement

Kalau dulu materi ekonomi boleh jadi kebutuhan manusia yang paling utama adalah kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Pertanyaan itu akan menyeramkan jika dijawab generasi zaman ini. Kebutuhan paling utama adalah kebutuhan pamer. Ga pamer, ga eksis, hidup lho ga mutu. Ini nyata terjadi sebab batas antara dunia maya dan dunia nyata saat ini seolah absurd. Seseorang bisa jadi lebih nyaman dalam dunia “imajinasinya”, hingga mereka lebih khawatir kehabisan kuota daripada tidak makan seharian.

Hingar bingar media sosial selalu nampak anggun dan menggoda untuk dilihat. Rasanya, jika tidak menuntaskan rasa ingin tahu seseorang sedang dimana, kegiatannya apa, apa saja yang telah dicapainya, atau sedang ada masalah apa ya di media sosial ada sesuatu yang kurang. Ukuran pengetahuan pun menjadi bergeser. Seberapa banyak viral media sosial yang kamu ketahui, maka semakin cerdaslah orang itu. Apa-apa diukur dari sebarapa meleknya kamu terhadap media sosial. Mereka yang tidak eksis di path, instagram, facebook, twitter, bahkan paling ngehits di vlog dianggap tidak ada, ketinggalan zaman, bahkan termasuk manusia langka yang mungkin hanya bisa ditemukan di sudut-sudut terasing kota ini.

Belum lagi remaja, bahkan lansia alay yang sedikit-sedikit update status. Bahkan sedang di rumah sakit, hendak melakukan operasi gawat darurat, masih sempat berstatus ria demi sebuah prestise yang entah dalam bentuk apa. Tidak jarang seorang istri mengeluhkan masalah rumah tangganya, sikap suaminya, atau bahkan masyarakat yang mengecamnya di media sosial. Padahal, orang-orang yang membuatnya kesal tidak memiliki media sosial serupa facebook, instagram, dan kawan-kawannya. Lantas, bukankah status itu menjadi basi, tidak bermutu, dan semakin memberikan citra negatif atas kedewasaan anda.

Advertisement

Yang membuat saya heran seheran herannya, masalah like di facebook. Saat seseorang menulis status sedih, terlukan, bahkan sedang marah, ribuan tombol like ramai-ramai muncul mengikuti status tersebut. Apa fungsi icon like tersebut, ya? Menunjukkan bahwa para likers ini senang melihat kesedihan orang lain, sedang menunjukkan bahwa ia simpati, atau hal-hal absurd yang mungkin hanya bisa dinikmati para penikmat dunia maya.

Seorang teman, angkatan 90-an yang sedang kecanduan gadget bahkan rela memesan chicken steak demi mendapat gambar bagus, di tempat bagus, kemudian likers bejubel, mendapat prestise, akhirnya makanan itu menjadi sia-sia, sebab ia sama sekali tak tahu apa yang dipesannya. Senyatanya, ia lebih lahap menyantap ayam kremes dengan sambal lalapan super pedas, dengan krupuk udang, dan makan pakai tangan. Sebegitu hebatnya dunia maya yang memperolok diri kita sendiri.

Advertisement

Kekhawatiran saya cukup beralasan. Jangan-jangan tradisi tatap muka akan punah. Tinggal menunggu waktu saja, mungkin. Dengan adanya fitur media sosial yang beraneka rupa, seseorang merasa enggan untuk bertemu. Lewat chat saja sudah cukup. Bisa dibayangkan jika pernikahan bias dilakukan lewat online. Tinggal nyahut, sah. Belum lagi, jika pemilihan umum bias dilakukan lewat online. Wah…tradisi baru yang sepertinya kurang elok.

Budaya pamer mungkin wajar bagi meraka yang sudah berlebih. Tapi amat menyiksa bagi mereka yang kekurangan, bahkan sangat kurang dan memaksa untuk dianggap eksis dan memenuhi tuntutan zaman. Ayolah anak muda. Tidak ada yang menuntut kamu harus pergi ke luar negeri, harus makan makanan western, makanan aneh yang asing di lidah kamu, atau kamu harus pergi ke tempat nan hits demi jepretan menarik. Tidak ada yang menuntut demikian. Berdamailah dengan keinginanmu. Banyak hal yang bias dipamerkan, salah satunya prestasi. Jika pergi ke tempat mewah, makanan mewah, ataui bawaan mewah, banyak orang bisa melakukannya dan menirunya. Namun, prestasi mewah, tidak banyak yang bisa meraihnya.

Eksistensi diri memang penting dan setiap orang bisa mendefinisikannya secara merdeka. Dirumuskan berbagai teori, seperti eksistensialisme yang diusung oleh Jean Paul Sartre, teori Self dan Self Concept, dan banyak lagi. Itu semua menunjukkan bahwa eksistensi diri itu ‘hal yang sangat penting’. Namun perlu diindahkan untuk mereka yang mendefinisikan ‘eksistensi diri adalah masalah penampilan’. Masalah isi kepala itu belakangan. Kebutuhan untuk dihargai orang lain adalah kebutuhan dasar manusia menurut teori Hirarki Kebutuhan Abraham Maslow. Ibarat makan adalah kebutuhan primer fisik manusia, maka dihargai adalah kebutuhan primer jiwa manusia. Dengan demikian, menunjukkan diri agar dihargai orang lain adalah manusiawi. Tetapi perspektifnya harus berubah. Menunjukkan diri untuk dihargai karena karya, bukan harta atau tipuan dunia maya lainnya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

3 Comments

  1. Tami RaffaRasya berkata:

    Betul bngt media sosial telah membutakan kita, justru prestasi yg nyata itu tinggi nilainya. Terima kasih infonya hipwee �

CLOSE