Sudahkah Kamu Merdeka dari Ego?

Kita sebagai manusia di dunia ini diciptakan dengan dikaruniai kelebihan dan kekurangan masing-masing oleh Tuhan. Ada manusia yang diberikan kelebihan dalam hal kemampuan berfikir, ada pula yang diberi kelebihan dalam hal keindahan fisik, dan juga kelebihan-kelebihan lainnya. Karena manusia memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, maka, manusia memiliki kebutuhan dan tujuan yang berbeda. Tetapi, manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuannya tanpa bantuan orang lain. Karena, manusia adalah makhluk sosial.

Selama kita hidup, terutama saat remaja seharusnya kita dapat membangun koneksi dengan orang lain yang seluas-luasnya sehingga akan membantu kita dalam berproses untuk merangkai masa depan yang cerah. Namun, pada era sekarang ini banyak sekali masalah yang mengganjal dalam dinamika kehidupan sosial. Salah satunya adalah kesalahpahaman dalam berinteraksi.

Merupakan sesuatu yang wajar jika seseorang membatasi interaksi dengan orang lain yang belum saling mengenal akrab atau berlawanan jenis. Tujuannya baik, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Namun, yang menjadi permasalahan adalah ketika seseorang membatasi interaksi tanpa memikirkan perasaan orang lain. Dalam kehidupan sosial belakangan ini khususnya di kalangan remaja, sikap mengabaikan perasaan orang lain tersebut menjadi hal biasa yang sering muncul ke permukaan.

Lalu, apakah memerhatikan perasaan orang lain itu penting? Mari kita pertimbangkan beberapa hal yang menjadi dasar dari sebuah interaksi berikut ini :

1. Apa yang kita lakukan, itulah yang akan kita dapatkan kembali

Setiap orang butuh untuk dihargai. Terlebih lagi jika orang tersebut tidak memiliki salah kepada kita. Jika seseorang melakukan kesalahan kepada kita, sudah sepantasnya kita menghargainya dengan memberikan toleransi. Karena melakukan kesalahan adalah sesuatu yang wajar. Oleh karenanya, kita wajib untuk menghargai oarng dengan memberikan toleransi. Apa yang kita lakukan akan kembali kepada kita. Seperti semasa hidup burung memakan cacing. Setelah burung mati, cacing-cacing akan memakan burung. Jadi, jika kita tidak mengahargai orang lain dengan mengabaikan sopan santun, jangan berharap orang juga akan menghargai kita dalam hal lain.

2. Kita belum faham alasan seseorang ingin membangun interaksi dengan kita

Agar tidak bawa perasaan atau ‘baper’ bisa menjadi salah satu alasan seseorang membatasi interaksinya dengan orang lain. Ya, karena mungkin seseorang merasa tidak nyaman jika terlalu banyak orang yang ‘baper’ kepadanya. Dengan alasan dia tidak ingin kesulitan dalam menjaga agar tidak melukai perasaan orang tersebut. Tetapi, jika ada orang yang tidak kita kenal mengirimkan sebuah pesan melalui media sosial yang bertuliskan “hai!”, kemudian kita hanya membacanya saja, apakah kita dianggap mampu menjaga perasaan orang lain sesuai dengan tujuan kita membatasi interaksi tadi? Bukankah justru orang tersebut akan merasa kecewa dan sakit hati. Sedangkan kita belum mengetahui alasan orang tersebut ingin membangun interaksi dengan kita. Bisa saja dia ingin mengirimkan bunga secara cuma-cuma kepada kita. Jadi, mari kita fahami dulu maksud seseorang ingin membangun interaksi dengan kita. Jangan ‘sotoy’ deh!

3. Satu musuh terlalu banyak, seribu teman masih kurang

Kesuksesan seseorang tidak terlepas dari peran orang-orang yang ada di sekeliling kita, dalam artian, orang-orang yang kita kenal. Jika kita mengambil kesimpulan negatif tentang seseorang terlalu cepat, berarti kita tidak menghargai orang lain, karena, kita tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk mengenalkan diri. Sehingga, bukan tidak mungkin jika orang tersebut akan membenci dan menjauhi kita.

4. Berteman pandang bulu?

Keindahan fisik adalah anugerah dari Tuhan. Tapi belum tentu anugerah tersebut bertahan selamanya. Fakta miris di era sekarang adalah bukan hanya dalam memilih kekasih saja yang mempertimbangkan bentuk fisik. Tetapi juga dalam hal pertemanan. Mari kita fikirkan baik-baik, dalam pertemanan lebih berguna yang manakah antara keindahan fisik dengan perilaku dan sikap? Jika orang berparas indah namun berkelakuan merugikan teman atau istilah gaulnya adalah ‘hobi sliding tackle’, apakah ia masih pantas dianggap sebagai teman? Tetapi, kita jangan secara mentah-mentah menolak keberadaan orang yang demikian. Karena seseorang yang suci tetap memiliki masa lalu, sedangkan seorang pendosa masih memiliki masa depan. Jadi, bentuk fisik bukan hal yang patutu untuk dipertimbangkan dalam memilih teman. Karena, keindahan fisik teman tidak menjamin kenyamanan dan ketentraman batin.

Lalu, bagaimana agar kita dapat membatasi interaksi namun tetap menjaga perasaan orang lain?

Bukanlah sesuatu yang sulit untuk melakukan hal tersebut. Yang perlu dilakukan adalah tetap memberikan response namun tetap memerhatikan pola interaksi yang sedang berlangsung. Jika seseorang menggiring kita menuju hal-hal yang tidak kita inginkan, kita bisa menolaknya dengan cara yang tetap mengindahkan sopan santun. Dan hindari untuk berbohong. Karena orang akan lebih merasa sakit hati terhadap kebohongan yang manis daripada kejujuran yang pahit. Mari kita tanamkan bahwa kejujuran adalah prinsip utama dalam menjalankan sesuatu. Seribu kebaikan akan lebih mudah terlupakan daripada sebuah kesalahan kecil. Saat kita melakukan sesuatu yang baik, jangan memandang orang lain yang melakukan hal buruk. Tidak perlu iri jika orang yang melakukan hal buruk ternyata mendapatkan kebahagiaan yang lebih pada saat itu. Karena sesungguhnya setiap kebaikan adalah sebuah investasi di masa depan. Itulah mengapa dalam agama kita diajarkan untuk ikhlas dalam melakukan sesuatu.

Sudah 71 tahun Indonesia mengenyam kata merdeka. Tetapi, apakah kita sudah merdeka dari belenggu penjajahan ego masing-masing? Mari kita rubah mindset kita dan mari bersama ciptakan Indonesia yang berperikemanusiaan! Merdeka! Hidup Pemuda Indonesia! Hidup rakyat Indonesia!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Manusia Setengah Pena