Surat Terbuka Untuk Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Kepada yang terhormat: Ibu Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Surat ini saya tujukan kepada Ibu Menteri, tidak ada hubungannya dengan kritikan atau pun sejenisnya. Saya hanya ingin menyampaikan isi hati saya sebagai kaum kecil karena saya sangat mengagumi sosok Ibu Menteri.

Advertisement

Saya adalah anak seorang petani miskin yang terlahir di daerah pedalaman Kalimantan Barat. Saya tumbuh besar di perkampungan yang hingga detik ini tidak ada listrik, apalagi internet. Untuk menikmati fasilitas umum seperti jalan raya saja kami tidak punya. Ah, mungkin ini tidak ada kaitannya dengan peran Ibu Menteri sebagai penggerak suatu perubahan untuk perempuan di negeri ini.

Mungkin, masyarakat di negeri ini tidak terlalu mengenal Ibu Menteri? Kalangan tua mau pun anak-anak muda masa kini, saya yakin sedikit yang mengenal Ibu Menteri. Mereka terlalu asyik dengan dunia mereka, maklum lah. Ibu Menteri, Ibu Yohana Susana Yembise, seorang perempuan pertama dari Papua yang menjadi Menteri. Ini lah salah satu mengapa saya sangat mengagumi Ibu Menteri.

Mungkin jika ada pertanyaan ‘siapa yang tidak kenal Ibu Menteri?’ itu dapat saya jawab, yaitu masyarakat di kampung saya. Iya, saya yakin sekali bahwa mereka tidak mengenal Ibu Menteri karena mereka tidak pernah membaca koran, atau jarang menonton televisi. Lagi pula gebrakan besar pemberdayaan perempuan hingga kini masih sedikit menyentuh masyarakat yang berada di pelosok kampung. Boleh Ibu Menteri check langsung di kampung saya, bahwa belum ada pemberdayaan yang banyak melibatkan kaum perempuan.

Advertisement

Sepaham Saya Tentang Pemberdayaan: Tidak Pernah Mengenal Lini Kalangan Menengah Ke-Atas

Saya adalah seorang pemuda kampung yang ‘baru’ mengadu nasib di daerah perkotaan. Bayangan saya sebelum melangkahkan kaki ke kota adalah ‘orang kota itu adalah orang berada’. Ternyata bayangan saya salah, bahkan ada yang lebih miskin dari masyarakat yang ada di kampung saya. Bahkan ada diantara mereka yang tidak memiliki tempat tinggal, sehingga harus berteduh di kolong jembatan sekedar untuk melepas penat.

Ternyata banyak hal yang tidak pernah saya lihat sebelumnya di kampung, ada di kota. Saya sering melihat ada ibu-ibu yang jualan di pinggir jalan, ibu-ibu ngamen, ibu-ibu menggendong anaknya sambil ngemis, bahkan ada yang menjadi perempuan nakal. Saya sangat prihatin dengan keadaan yang ada, mereka adalah kaum perempuan.

Advertisement

Mereka yang berada di pusat perkotaan saja belum dapat menikmati pemberdayaan yang khusus bagi kaum ibu, apalagi kampung saya yang tidak dapat terlihat di peta Indonesia. Hmmm, Tidak, saya tidak menyalahkan siapa pun dalam hal ini. Saya dan penghuni negeri ini juga tahu bahwa tugas seorang Menteri pasti sangat lah berat.

Tetapi dalam hal ini, hati kecil saya selalu bertanya-tanya, tidak adakah peduli pemerintah? Tidak adakah program pemberdayaan yang dicanangkan khusus untuk mereka? Jika ada mengapa sangat jarang menyentuh lini kehidupan orang kecil? Dan banyak lagi pertanyaan yang muncul dalam benak saya, yang tidak dapat saya tulis dalam surat terbuka ini.

Saya bukanlah orang yang expert dalam hal pemberdayaan, saya pun masih terus dan terus belajar banyak tentang hal ini, yang saya tahu pemberdayaan adalah tidak mungkin menyentuh lini kehidupan orang-orang kaya. Tidak akan mungkin ada pemberdayaan perempuan anggota DPR, atau pemberdayaan perempuan istri pejabat, atau sejenisnya. Mereka yang butuh pemberdayaan adalah mereka yang hidup berada dalam garis kemiskinan, khususnya kaum perempuan.

Saya Adalah Pihak Yang Tidak Boleh Menghakimi Masa Lalu Ibu Saya: Namun Saya Lakukan Itu

Saya hanya lah anak dari seorang ibu yang tidak tamat sekolah. Ibu saya menikmati bangku sekolah dasar hingga kelas tiga saja. Apakah ia menuntut? Tidak Ibu Menteri, ibu saya adalah perempuan yang pasrah pada nasib. Bukan karena ia tidak mau sekolah pada zamannya, melainkan karena ia tidak memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan.

Kemiskinan yang memaksanya untuk putus sekolah dan kemudian mencari nafkah sebagai pembantu rumah tangga di kota. Saya yakin sekali masih sangat banyak ‘ibu saya’ yang lain di wilayah nusantara ini. Apalagi di wilayah Indonesia bagian timur, tempat asal Ibu Menteri.

Tidak hanya ibu saya, puluhan bahkan ratusan perempuan di desa saya juga memiliki masa lalu yang sama seperti ibu saya. Salah siapa? Sekali lagi saya tidak menyalahkan pihak mana pun dalam hal ini. Berteriak sebagaimana pun saya, tidak akan bisa mengubah masa lalu mereka—tetap pada masa kini mereka.

Tetapi saya hanya ingin berharap anak-anak dan cucu-cucu mereka tidak memiliki masa lalu yang sama. Faktanya bahwa banyak anak-anak mereka yang menikah di usia muda, setelah tamat di bangku sekolah menengah pertama. Banyak anak-anak mereka yang setelah tamat di bangku sekolah dasar kemudian menjadi TKI di Malaysia. Mereka tidak punya pilihan—karena kemiskinan.

Saya yakin kondisi ini tidak hanya terjadi di kampung saya, banyak anak-anak perempuan di Indonesia yang menikah di usia muda (apa lagi di dukung oleh fakta hukum kini yang membolehkan/ ‘me-legal-kan pernikahan perempuan di usia muda/ dini) dan banyak anak perempuan dibawah umur yang dipekerjakan. Hak mereka sebagai anak perempuan seolah direnggut oleh hukum yang baru saja di sah-kan tahun ini.

Namun tidak ada kata terlambat untuk saya memulai di kampung saya, meski melalui hal-hal kecil. Seperti saya mengenalkan kepada mereka bahwa pendidikan itu sangat penting. Jika bukan saya, siapa lagi yang mau melakukan itu?

Saya adalah satu-satunya anak manusia dari kampung saya yang mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Sepanjang sejarah, hanya saya orang pertama yang mendapatkan gelar sarjana di kampung saya. Bila tidak di biayai pemerintah (beasiswa penuh), mungkin bangku perguruan tinggi itu hanya angan yang terlampau jauh bagi pemuda miskin seperti saya.

Namun dalam hati saya bertanya-tanya, kapankah ada seorang pemudi yang mendapatkan kesempatan sama seperti saya? Agar saya berpikir, bahwa perempuan kampung juga memiliki hak sama seperti perempuan lainnya.

Harapan Mereka Boleh Padam, Namun Pengharapan Saya Belum Padam Untuk Mereka

Saya adalah pihak paling berbohong besar jika saya tidak sedih dengan keadaan mereka (perempuan pedesaan). Bukan dengan kesedihan saya berbuat, namun mencoba untuk mencari cara agar mereka dapat mengenal huruf, walau sekedar untuk menulis nama saja. Untuk Ibu Menteri ketahui bahwa banyak diantara mereka yang sama sekali tidak mengenal huruf dan angka (buta aksara).

Ibu Menteri adalah seorang inspirator besar bagi saya. Jika suatu saat nanti saya menjadi seorang menteri pemberdayaan perempuan, sama seperti amanah yang Ibu Menteri saat ini pegang. Garis pertama yang saya langkahi adalah garis kemiskinan perempuan yang berada di pedesaan.

Selama kemiskinan itu membelenggu, pendidikan hanya menjadi mimpi tak sampai bagi sebagian mereka. Saya akan melakukan apa saja untuk menjadikan mereka sadar akan pentingnya pendidikan dan juga menjadikan mereka benar-benar ‘berdaya’. Saya yakin Ibu Menteri pasti juga memiliki rencana yang sangat hebat untuk hal ini.

Pada waktu saya masih duduk dibangku kuliah S1, dosen saya, ibu Dr. Ema Rahmaniah adalah salah seorang inspirator saya dalam belajar banyak hal pemberdayaan perempuan. Beliau sudah pasti mengenal Ibu Menteri, dan juga kebijakan-kebijakan dari Ibu Menteri. Meski saya bukan seorang perempuan saya terinspirasi dari perempuan-perempuan hebat di negeri ini, terutama ibu saya.

Saya sangat ingin bertemu dengan Ibu Menteri, saya selalu menanti untuk membaca banyak berita tentang pemikiran dan kebijakan Ibu Menteri dalam hal pemberdayaan perempuan dan mempertahankan hak-hak anak Indonesia (dimana pun itu: pedesaan atau pun perkotaan).

Salam Hormat,

Dari Saya—pemuda kampung yang mengagumi sosok Ibu Menteri

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Masih mahasiswa lutju!

CLOSE