Partisipasi Women Leader masih Kecil, Begini Cara Sukses Jika Ingin Menjadi Salah Satunya!

woman leader

Walau kini sudah banyak bermunculan perempuan yang memilih berkarier dan sukses sebagai seorang womenpreneur atau women leader, ternyata partisipasi yang tercatat masih tergolong kecil. Hal ini tak bisa dipisahkan dari narasi-narasi yang selama ini dibangun oleh lingkungan sosial.

Narasi bisnis dan kepemimpinan selama beratus bahkan beribu tahun adalah narasi maskulin. Zaman dulu, pemegang keputusan itu laki-laki. Pembuat hukum dan kebijakan di pemerintahan maupun perbankan dan pengaturan ekonomi dilihat dari narasi laki-laki, sehingga gayanya sangat maskulin.

Ketika bisnis dijalankan oleh seorang perempuan, lalu ada approval, misalnya apakah orang ini cukup mampu untuk mengembalikan pinjaman dan cukup mampu untuk membesarkan perusahaan, seobjektif apa pun biasanya masih juga ada bias-bias. Apalagi, kalau memang tidak dijaga secara sangat objektif untuk menghindari adanya bias-bias tersebut.

Ini yang menyebabkan secara persentase kalau kita melihat statistik seluruh dunia, founder atau pemilik bisnis perempuan lebih susah untuk mendapatkan capital, financial support, ataupun partnership support lainnya. 

Meskipun begitu, bukan berarti karena terlahir sebagai seorang perempuan kita tak bisa bersaing di pasar. Dengan kualifikasi yang dimiliki, kita juga bisa mendobrak stigma-stigma ini. Namun, ada cara pandang tertentu yang harus kita ubah.

Perempuan sering dianggap menjadi orang yang akan lebih banyak mengurus urusan rumah tangga, akhirnya mereka dapat stigma bahwa pekerjaannya tak lagi maksimal ketika sudah memutuskan berkeluarga

Secara social construct dan statistik, bisa dibilang tanggung jawab untuk pekerjaan domestik jatuh di pihak perempuan. Bahkan, di negara-negara yang sudah sangat setara dalam hal hak dan kewajiban perempuan, seperti negara-negara di Skandinavia saja saat disurvei sebagian besar pekerjaan domestik masih dibebankan ke perempuan.

Mungkin ini ada relasinya dengan kodrat perempuan, yaitu mengandung dan melahirkan anak. Akhirnya, pengurusan anak dan segala hal domestik harus dilakukan oleh perempuan. Ketika muncul stigma bahwa ketika kita mempunyai tim atau staff perempuan yang pekerjaannya tak lagi maksimal, kita harus bertanya dulu, apakah ini subjektif atau objektif. Pengukuran itu melalui apa. Apakah pengukurannya adalah jam kerja, kesediaan lembur, kesediaan untuk diberikan selama berminggu-minggu, atau pengukurannya itu lebih ke arah bagaimana dia bisa mencapai hasil atau objektif yang ditetapkan oleh perusahaan.

Jadi, terkait hal ini juga membutuhkan perubahan dalam proses organisasi, apa yang menjadi punishment dan reward. Kalau memang hanya mengikuti sesuatu yang bersifat kuantitas, maka akan sangat sulit. Jadi, asumsi itu harus dites lagi dengan data. Belum tentu sebenarnya pekerja laki-laki atau pekerja yang bisa menyumbangkan waktu jam kerja lebih lama lebih produktif daripada yang tidak. Pun, belum tentu pekerja perempuan menyumbang jam kerja lebih sedikit dari pekerja laki-laki. Kita harus bergerak dari data dan memang harus diukur dulu apakah teks tersebut bisa divalidasi atau tidak secara objektif.

Dengan banyaknya anggapan yang ‘menempel’ pada womenpreneur, partisipasi perempuan dalam bisnis juga masih perlu didorong

Partisipasi kecil/ Illustration by Hipwee

Kalau kita melihat partisipasi bisnis perempuan pengusaha di level mikro dan kecil sebenarnya banyak. Di UKM level mikro dan kecil, partisipasi perempuan menurut data dari IFC World Bank, lebih dari 50%. Namun, ketika bergerak maju ke bisnis menengah, data ini drop ke 30%. Lalu, overall GDP atau pendapatan Indonesia yang disumbang oleh pengusaha perempuan hanya 9,1%. Tandanya 90% perputaran ekonomi yang besar ini masih dipegang oleh kaum laki-laki. Sehingga, kalau kita mau bilang menyikapi womanpreneur tergantung pada level apa dulu.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Creating impact through @kumpul_id @coworkingid @prasama.id