Soal traveling, tiap orang tentunya punya gayanya masing-masing. Ada yang ngegembel dengan modal seminimal mungkin, ada juga yang royal soal dana demi mendapatkan perjalanan yang nyaman. Inilah bedanya traveling ala backpacker dan liburan ala turis yang menjadi dua kutub ekstrem soal cara melakukan suatu perjalanan. Tapi tahukah kamu kalau ada juga “jalan tengah” di antara dua kutub ekstrem ini? Ya, istilah dari jalan tengah tersebut adalah flashpacker.
Okelah, Hipwee akan menganulir gaya liburan ala turis yang biasanya lebih cocok dilakukan oleh orang-orang tuasenior citizen, yang lebih suka memasrahkan segalanya ke agen wisata. Kali ini, kita akan ngebahas kedua gaya yang lebih “anak muda”: backpacking dan flashpacking. Kira-kira gimana sih perilaku masing-masing saat traveling?
ADVERTISEMENTS
1. Backpacker biasanya didominasi golongan mahasiswa yang seringnya cuma makan mie instan tiap akhir bulan tapi tetap pengen liburan.
Ya, flashpacker didominasi oleh anak-anak muda yang mendapat dukungan finansial yang lumayan dari orang tua, atau sudah punya penghasilan sendiri. Makanya, golongan ini bisa menabung untuk jalan-jalan dengan jumlah yang lumayan tanpa perlu prihatin di akhir bulan.
ADVERTISEMENTS
2. Karena dana yang mepet, backpacker cenderung berorientasi pada budget.
Para backpacker ini adalah pemegang teguh prinsip ekonomi: mereka berusaha membeli pengalaman dengan biaya seminimal mungkin.
ADVERTISEMENTS
Sebaliknya, demi membeli pengalaman yang lebih, para flashpacker rela mengeluarkan uang sedikit lebih banyak.
“Wah, liburan ke sini kayaknya menarik nih. Mesti ngunjungin apa aja ya kalau di sini?”
Pepatah Jawa ‘ono rego ono rupo’ (ada harga ada kualitas) inilah yang dipegang oleh flashpacker. Mereka gak ragu membayar lebih demi pengalaman yang mereka inginkan. Misalnya, nyewa jip yang harganya ratusan ribu demi merasakan serunya Lava Tour Merapi.
ADVERTISEMENTS
3. Demi sampai di tujuan, backpacker rela naik kereta ekonomi, berjejalan dalam bus antarkota, sampai nebeng truk sayur.
“Pak, harus pakai apa ya buat pergi ke Mataram dari Lembar?”
“Ada bus umum Dik, tapi bisa juga sewa mobil.”
“Yang lebih murah yang mana?”
“Bus dong, Dik…”
“Ya udah pakai itu aja!”
Ada alternatif transportasi yang lebih murah, itulah yang diambil. Gak masalah meski harus menempuh perjalanan selama berhari-hari, atau berbagi kursi dengan ibu-ibu tua, bapak-bapak perokok, sampai hewan hidup.
Flashpacker seringkali gak punya banyak waktu, makanya mereka memilih transportasi yang cepat sampainya.
Bila harus hunting tiket pesawat, backpacker rela mantengin info-info tiket promo tanpa kenal lelah—bahkan meski tiket promo itu datangnya gak tahu kapan, kayak jodoh. Kalau pun emang belum ada, ya udahlah mending ke tempat lain dulu yang bisa dijangkau jalan darat.
Jangan salah, flashpacker juga cari tiket promo kok, cuma ujung-ujungnya mesti disesuaiin juga sama jadwal pribadinya.
“Yah, tiket promonya bentrok sama kerjaan.” via giphy.com
Tiket promo sih nemu, tapi apa daya kalau jadwalnya ternyata bentrok sama kuliah atau kerjaan. Akhirnya, beli tiket yang sedikit lebih mahal. Gak papa deh, yang penting berangkat.
5. Untuk tempat menginap, flashpacker tentu milih hotel, dong!
Demi beban bawaan yang ringan, mereka rela bawa pakaian secukupnya, yang penting fungsional. Ganti pun kalau perlu aja. Pakaian kotor? Cuci sendiri di wastafel.
Sementara, kaum flashpacker lebih suka terlihat fashionable.
Sense mereka soal fashion selama traveling cukup tajam. Gimanapun, mereka wajib terlihat modis di depan kamera. Kata ‘flash’ dalam flashpacker ‘kan artinya ‘gaya’.
7. Mengenai gadget yang mereka bawa…
Backpacker: Smartphone plus kamera saku aja udah cukup. SLR dengan satu lensa itu mewah.
Karena lebih mentingin pengalaman dibanding harga, sebisa mungkin para flashpacker mencicipi kuliner lokal yang recommended di destinasi liburan mereka, setiap kali makan.
Gak cuma murah meriah, kalau bisa sih malah gratis, deh. Incaran mereka biasanya, tempat-tempat wisata alam, candi-candi yang gak mainstream, landmark bersejarah, serta kampung-kampung tradisional.
Sementara, flashpacker biasanya mengincar pengalaman yang lebih spesifik, meskipun itu berarti harus mengeluarkan sejumlah uang.
Misalnya, terbang tandem dengan paralayang, caving di Goa Jomblang, atau menyelam di perairan Manado. Meski harus mengeluarkan sejumlah uang, gak papa, yang penting tujuan traveling mereka tercapai.
10. Untuk berpindah tempat dari satu spot ke spot lain…
Backpacker hampir selalu mengandalkan moda transportasi umum seperti bus kota. Kalau itu gak memungkinkan, ya sewa sepeda motor aja.
Kedua gaya traveling ini memang sulit dipisahkan satu sama lain. Mereka berbagi akar yang sama, yaitu mengincar pengalaman tanpa harus terikat dengan itinerary saklek dari agen wisata. Mereka sama-sama mencintai kebebasan, sama-sama tertarik dan bercengkerama dengan budaya lokal, dan menjadi diri sendiri.
Simpelnya, flashpacker adalah backpacker yang bertambah “dewasa”. Sebagian flashpacker mungkin dulunya adalah backpacker yang udah pernah ngirit mati-matian dan ngegembel demi sebuah perjalanan—dan kini mereka ingin menikmati perjalanan dengan cara yang sedikit berbeda.
Yah, bukan berarti gaya traveling yang satu lebih dari baik dari yang lain. Masing-masing cara punya menawarkan pengalaman unik yang mungkin gak didapatkan oleh yang satunya. Jadi, gaya travelingmu yang mana nih? Atau, mungkin keduanya pada kesempatan yang berbeda?