Merusak Tempat Indah Sudah Biasa di Indonesia. Tapi, Cuma Anak Muda yang Bisa Menghentikannya

Beberapa hari terakhir media sosial diramaikan dengan pemberitaan tentang lokasi wisata baru di Patuk, Yogyakarta, yaitu Taman Bunga Amarilis. Di Path atau Facebook-mu taman bunga ini ramai dibandingkan dengan Taman Keukenhof milik Belanda – walaupun sebenarnya nggak mirip-mirip banget sih, yah maksa dikit boleh lah ya. Saking bagusnya, lokasi taman bunga ini pun langsung viral. Dalam waktu dua hari, pengunjungnya membludak dari hanya segelintir sampai sekitar 1500 orang.

Advertisement

Dan seperti sudah bisa ditebak, akibat pengunjung yang terlalu banyak taman ini malah menjadi rusak. Lili yang menjadi satu-satunya daya tarik taman ini peyot diinjak-injak. Kejadian seperti ini memang bukan pertama kalinya untuk Indonesia. Merusak tempat wisata alam yang indah, seperti Pulau Sempu atau Puncak Sembalun di Rinjani, sudah jadi budaya.

Dan siapa yang paling sering dituding sebagai pelaku perusakan? Ya anak muda. Entah dipanggil “Dedek gemez”, “Alay”, “Cabe-cabean”, atau panggilan gak enak lainnya.

ABG Alay

Memang sih, anak muda seperti kitalah yang paling sering melakukan perjalanan ke destinasi yang sedang hits. Kita juga yang paling eksis selfie dan welfie di media sosial. Tapi perusakan ini bisa dilakukan siapa saja, dan budaya perusakan keindahan alam di Indonesia ini terjadi lintas generasi — gak adil kalau kita bilang yang melakukannya cuma anak muda.

Advertisement

Tapi sebagai pihak yang selalu dianggap paling bertanggung jawab jika ada alam yang rusak, sudah beban kita sebagai anak muda untuk bergerak.

Ambil selfie itu gampang. Mungkin karena itu kita jadi lupa bahwa nggak semua hal di dunia ini segampang ambil selfie

Taman bunga seharusnya dinikmati keindahannya, bukan menjadi kasurmu

Merawat taman bunga itu susah, gak kayak ambil selfie via nasional.tempo.co

Kita dibesarkan dalam lingkungan yang serba instan. Mau ambil gambar? Gak perlu diam di kursi beberapa jam seperti orang di zaman Victoria, cukup klik tombol kamera HP saja gambar wajah kita sudah bisa tercipta. Gampang!

Mungkin karena itu kita lupa bahwa ada beberapa hal yang nggak segampang ambil selfie. Contohnya saja merawat taman bunga amarilis ini. Pak Sukadi, pemiliknya, sudah cukup lama menanam benih-benih bunga lili di lokasi tersebut dan juga merawatnya agar bisa tumbuh bermekaran. Kita lupa, merawat taman bunga tidaklah segampang mengeklik tombol kamera.

Advertisement

Berkunjung ke lokasi indah seharusnya jadi aktivitas yang mencerdaskan. Bukan malah bikin kita melakukan tindakan yang memalukan

amarilis

Belajar bisa dilakukan dimana saja, tak melulu harus di balik bangku sekolah. Alam terbuka pun bisa menjadi “sekolah”. Berkunjung ke taman amarilis seharusnya bisa mendidikmu bahwa bunga ini hanya tumbuh setahun sekali, di awal musim penghujan. Memeriksa pucuknya, kamu pun bisa tahu bahwa perkembangbiakan bunga amarilis ini sangat tergantung pada hewan seperti lebah. Inilah yang dimaksudkan dengan menjadikan alam sebagai “sekolah”.

Tapi, alam hanya bisa mendidik kita seperti ini jika ia terpelihara dengan baik. Apalagi, banyak lokasi wisata alam yang jadi satu-satunya habitat bagi tanaman atau hewan yang tumbuh di dalamnya. Kalau mereka rusak, punah, dan tak lagi ada, apa yang akan mereka ajarkan pada kita?

Anak muda adalah generasi yang paling riskan terkena public shaming di media sosial. Seharusnya ini membuat kita ekstra hati-hati untuk tidak update sembarangan

Anak muda yang paling riskan jadi korban public shaming

Anak muda yang paling riskan jadi korban public shaming

Ingat Mbak Florence Sihombing yang sekitar setahun lalu sampai dipolisikan karena “mencemarkan nama baik” Yogyakarta? Sekarang, lihat deh reaksi orang-orang di media sosial terhadap anak muda yang menge-post foto mereka di Taman Bunga Amarilis ini. Bullying dan public shaming di mana-mana. Bahkan ada alamat kost dan universitas salah satu anak muda yang sampai disebarkan di media sosial!

Public shaming di media sosial jauh lebih banyak menimpa anak muda daripada orang-orang yang usianya lebih tua. Mungkin karena kita memang lebih aktif di media sosial dibandingkan generasi orangtua atau nenek kita. Karena anak-anak muda seperti kita sangat riskan untuk menjadi korban public shaming dan cyber bullying ini, kita mesti lebih berhati-hati.

Jangan merusak keindahan alam kalau tidak mau ada ribuan orang asing mengecap kita tak bertanggung jawab.

Selfie di lokasi wisata alam itu sah-sah saja, asal jangan sampai menghalalkan segala cara

Sebenarnya, kuncinya adalah kita

Sebenarnya, kuncinya adalah kita via news.viva.co.id

Upaya untuk mendapatkan foto selfie yang bagus itu lumrah. Tentunya kita ingin mengabadikan setiap momen berharga yang kita dapat selama perjalanan yang kita lakukan.

Namun, apakah perlu sampai menghalalkan segala cara?

Jika sudah ada peringatan untuk tidak mengambil foto di lokasi tertentu, maka patuhilah peringatan itu. Jika tidak ada peraturan yang mengekang, maka kita yang harus batasi diri kita sendiri. Jangan sampai usaha kita mendapatkan foto selfie yang bagus malah merusak lingkungan sekitar kita. Seperti misalnya selfie diatas rumput yang sebenarnya tidak boleh dipijak. Atau seperti yang terjadi di Taman Bunga Amarilis, mengambil foto selfie dengan tiduran di atas hamparan bunga. Bukannya pujian, justru cemooh yang akan kita dapat. Bukan hanya dari teman-teman, melainkan juga dari orang-orang yang nggak kita kenal sama sekali!

Anak muda adalah generasi yang paling sering jalan ke destinasi-destinasi viral. Maka itu, sebenarnya kitalah yang paling mampu mencegah terulangnya kejadian Amarilis ini

Taman-Amarilis-Jogja-4

Kitalah yang selama ini paling eksis di media sosial. Kita mempengaruhi trending topic Indonesia, kita pula yang menentukan destinasi wisata apa saja yang akan terkenal dan viral. Kebanyakan pengunjung Pulau Sempu adalah traveler muda. Banyak pula mereka yang menghasilkan sampah di Rinjani yang berasal dari generasi kita. Suka tidak suka, generasi kitalah yang menjadi kunci dalam usaha mencegah terulangnya kembali kejadian Sempu/Rinjani/Amarilis ini.

Jadi, siapkah kamu bersama-sama menghentikan perusakan yang sudah dilakukan sejak dulu di Indonesia ini?

Toh kita harus mulai memikirkan bahwa masih ada generasi selanjutnya yang harus mengetahui keindahan yang dimiliki Indonesia secara nyata. Sedih jika mereka hanya bisa tahu via cerita dongeng saja. Kalau tidak dijaga mulai sekarang, maka kapan lagi?

Mengagumi keindahan alam dengan mengunjungi tempat tersebut bukanlah sebuah kesalahan. Tetapi sebagaimana semua hal dalam hidup, ia punya etikanya. Jangan mau lagi jadi anak muda yang dicap cuma bisa merusak alam saja. Ingatlah, justru kita yang punya kekuatan paling besar untuk menjaga Indonesia.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

seorang istri yang menanti kelahiran buah hati ❤

CLOSE