Kisah Kalatimur #3 – Telur Mata Sapi

NAMAKU Kalatimur Merona, nama pemberian ibuku tercinta. Aku lahir di waktu sangat pagi, orang menyebutnya “waktu fajar”. Selamat kepadaku, aku lahir di keluarga yang penuh kasih. Namaku Kalatimur Merona, aku tak tahu … sepertinya nama ini begitu berharga bagiku. Nama ini selalu kudengar di setiap lantunan doa bapak dan ibuku, di waktu pagi, siang, sore, dan malam. Atau mungkin di setiap embusan napas mereka.

***

SAAT lelah memakai topeng kebahagiaan di depan teman-teman kampus, aku selalu menyendiri di kedai kopi yang berada di ujung jalan itu. Meski bukan penikmat kopi atau yang tahan dengan distraksi kafein dalam diri, suasana di dalam kedai kopi itu selalu membuatku nyaman menjadi diri sendiri.

Kedai kopi ini tak sengaja kutemukan saat aku benar-benar muak dengan mereka kala itu. Ditemani rintik hujan, aku mendadak memisahkan diri dari teman-teman kampus yang tengah berdiskusi tentang sesuatu. Sebenarnya aku sudah mencoba untuk bertahan, seperti yang sehari-hari aku lakukan. Namun hati dan pikiranku sudah tak mau lagi berkompromi.

“Timur, kamu mau ke mana? Masih hujan di luar!” ucap salah seorang dari mereka. Aku sama sekali tak menggubris dan menerjang rintik hujan.

Di tengah rintik hujan dan jiwa yang lelah ini, aku menemukan kedai kopi kecil di ujung jalan dekat kampus. Tidak ada yang istimewa dari tampilan luarnya. Hampir sama seperti kebanyakan kedai kopi yang hanya menjual tempat dan berbagai filosofi tentang kopi. Awalnya aku ragu untuk ke kedai kopi itu. Namun entah kenapa kakiku justru tak sependapat. Ia membawaku masuk ke dalamnya. Sejak saat itu, kuputuskan kedai kopi yang tak istimewa ini menjadi tempat pelarianku saat topeng kebahagiaan tak sanggup lagi kukenakan.

***

SIANG ini hampir sama seperti siang-siang yang sebelumnya. Sepulang kuliah, aku memisahkan diri dengan teman-teman dan melepas topengku di kedai kopi itu. Hampir setiap ke sini, aku memilih duduk di sudut kedai, dekat kaca utama, menghadap ke bagian barista yang membuat kopi dengan mesin tuanya. Alasannya sederhana, aku selalu jatuh cinta dengan bunyi fuzz yang keluar dari mesin kopi saat digunakan itu.

Siang ini aku tak lagi memesan teh seduh lagi. Pikiranku sedang kacau sekali, mungkin sudah saatnya kafein membantuku. Akhirnya kupesan secangkir Affogato yang harganya lumayan kurang ajar bagi kantong mahasiswa sepertiku. Tak apalah, pikirku. Asalkan sedikit kafein bisa masuk ke diriku.

Sembari mengaduk es krim dengan Americano panas, aku memandang keluar jendela. Langit tampak muram sekali. Awan-awan mendung bersiap memuntahkan air hujan mungkin beberapa saat lagi. Dua menit berselang, langit seakan mampu membaca pikiranku. Rintik gerimis mulai turun. Orang-orang yang berlalu lalang di depan kedai kopi ini mulai kepayahan ingin berteduh. Mataku tertuju pada seorang laki-laki yang terlihat menengadah sambil memaki hujan. Mungkin dia sedang tidak mood untuk basah di tengah perjalanannya. Mataku tak bisa kulepaskan dari laki-laki yang tampak beberapa tahun lebih tua dariku itu. Betapa kagetnya saat aku sadar bahwa kini dia berjalan menuju kedai kopi. Aku melihat sekelilingku, ternyata sudah banyak orang yang masuk dengan baju atau rambut mereka yang basah akibat hujan di luar.

Kliningg ….

Suara lonceng di pintu kedai itu berbunyi untuk kesekian kali. Saat biasanya aku bersikap masa bodoh dengan bunyi loncengnya, kini semua berbeda. Mata ini justru menatap lekat-lekat laki-laki yang memaki hujan tadi. Kemeja flanel kotak-kotak biru yang sudah basah sebagian serta rambut yang sama basahnya itu, berhasil menolak ajakan otakku untuk berhenti menatap.

Please, jangan ke sini. Please!” ucapku pelan. Berharap dia tak menuju kursi kosong di meja yang kutempati ini.

“Meja lain sudah penuh. Boleh numpang sebentar kan di sini?” ucapnya sopan.

Tanpa sepatah kata aku aku mengiyakan permintaannya. Dengan agak sedikit gugup, ini kali pertamanya aku duduk dekat dengan laki-laki asing.

“Dingin-dingin minum es krim?” Lagi, laki-laki yang kini duduk tepat di hadapanku itu buka suara.

“Ini?” Aku menunjuk cangkir Affogato-ku yang es krimnya sudah mencair sebagian. “Tadi saat memesannya belum hujan. Jadi, aku nggak termasuk dingin-dingin minum es krim sih.”

“Oh ….” Laki-laki itu hanya mengangguk sekali, lalu beranjak pergi ke kasir. Mau pesan sesuatu untuk diminum mungkin. Atau mau bertanya password wi-fi di kedai kopi ini.

Tunggu?

Kenapa aku jadi ingin tahu tentang orang asing itu? Aku segera memaksa otakku untuk menghapus rasa ingin tahu itu. Aku kembali dengan cangkir Affogato-ku, lalu membuka-buka buku kuliah.

Laki-laki itu kembali lagi dan duduk di hadapanku. Tangannya terlihat membawa segelas kopi hitam pekat. Tanpa bertanya saja aku sudah paham, betapa pahit kopi yang kini dia minum pelan-pelan itu.

“Pelanggan tetap, ya?”

Satu detik.

Dua detik.

“Eh, maksudmu, aku?” kataku saat sadar bahwa pertanyaannya yang tadi diberikan untukku.

Dia mengangguk. Menatapku lekat.

“Kalau pelanggan tetap, mungkin belum sih. Baru-baru saja nemuin kedai kopi ini.” Aku berkali-kali berpikir, haruskah aku bertanya balik padanya agar kami tak hanya saling diam sembari menunggu hujan. Mungkin waktuku untuk berpikir membuat detik tak tahan, hingga kini berganti menit telah berjalan.

“Kamu tadi ngapain maki-maki hujan?”

Bodoh. Kenapa pertanyaan itu yang keluar?

“Tahu dari mana tadi aku maki-maki hujan? Wah, diam-diam kamu suka merhatiin orang ternyata,” katanya sambil meletakkan gelasnya di meja, lalu menyandarkan bahunya di kursi. Matanya masih sama. Menatapku lekat. Buatku hangat.

Karena sudah ketahuan diam-diam memperhatikannya tadi, aku tak mau berbohong. Terpaksa aku membuka pintu gerbang komunikasi dengan orang asing ini. Toh, dengan dia yang asing ini aku tak perlu memakai topeng lagi.

“Nggak sengaja sih. Soalnya di antara beberapa orang yang lewat di jalan tadi, kamu satu-satunya yang kelihatan marah sekali.”

Mungkin aku harus berterima kasih dengan mendung dan hujan siang ini. Sebab tanpanya, mungkin aku tak bisa membunuh waktu dengan begitu hangat dan nyaman seperti ini. Dari obrolan tentang terjebak hujan, pembicaraan kami terus berkembang. Kini kami tak lagi terlihat obrolan asyik soal hujan, tapi juga tentang kopi, film yang sedang tayang di bioskop, hingga saat ini kami tengah berdebat soal telur mata sapi.

“Aku suka heran deh dengan orang-orang yang suka dengan telur mata sapi yang masih mentah kuningnya. Apa enaknya sih?”

Sebagai tim telur mata sapi setengah matang, aku jelas tak terima. Kuning telur yang masih sedikit cair itu bagiku termasuk surga dunia.

“Eits, jangan ngomong gitu, dong! Aku suka banget sama telur mata sapi yang kayak gitu. Justru aku yang seharusnya heran sama orang-orang yang suka kuning telur matang. Kan teksturnya jadi padat dan nggak enak?”

“Lho, justru kuning telur yang padat itu,” kalimatnya terpotong saat ponselnya berbunyi nyaring. Dia lekas menerima panggilan itu. Mimik wajahnya mendadak berubah. Dengan ponsel yang diapit bahu dan telinga, dia meneguk sisa kopi hitam di gelasnya, lalu beranjak menuju meja kasir begitu saja. Obrolan seru kami tentang telur mata sapi terpaksa harus disudahi dengan cara sedikit tak sopan.

Aku juga sempat merutuk diri, mengapa tadi tak sempat menanyakan nama bahkan akun media sosialnya. Siapa tahu obrolan seru tadi bisa berlanjut lagi.

Suasana hati yang tadi sudah membaik, kini mendadak mendung kembali. Meskipun di luar hujan tak lagi turun. Aku melihat sekitar, orang-orang yang tadi memenuhi kedai kopi kini tak terlihat lagi. Mungkin karena keasyikan ngobrol dengan laki-laki flanel kotak-kotak biru itu, aku mengabaikan kedaan sekitar. Aku pun memutuskan untuk pulang ke kosan, setelah menenggak habis Affogato yang sudah benar-benar cair di cangkirku.

“Mbak, tadi mas-mas yang duduk sama mbak, nitipin ini,” kata kasir kedai kopi saat aku hendak membayar pesananku. Sebuah struk dengan pesanan kopi hitam Gayo yang sudah terlipat dua. Aku lalu membuka lipatan struk itu. Ada tulisan ceker ayam dengan tinta biru di dalamnya.

Telur mata sapi matang vs setengah matang harus diselesaikan.
Kutunggu besok di meja dan jam yang sama.

Salam,
D.

***

SELAIN hujan, aku seharusnya berterima kasih dengan telur mata sapi setengah matang. Lewat kegigihanku mempertahankan hal itu, kini aku memiliki makna kebahagiaan yang baru, meskipun aku tak lagi mengenakan topeng itu.

Saat itu, setelah aku membuka struk yang dititipkan pada kasir kedai kopi, aku kembali untuk menyelesaikan obrolan tentang telur mata sapi di hari berikutnya. Dan benar saja, baru beberapa menit aku menunggunya di meja yang sama, dia datang dengan kembali mengenakan kemeja flanel namun berbeda dari sebelumnya. Saat itu, kemeja flanelnya tak lagi bermotif kotak-kota biru, melainkan kotak-kotak hitam dan abu-abu. Semenjak obrolan tentang telur mata sapi itu usai, aku baru tahu bahwa namanya Diwangkara. Nama yang cukup aneh untuk seorang laki-laki menurutku.

Laki-laki yang sering kupanggil dengan Dika ini lalu mengajakku untuk menjelajah kota ini. Meskipun sudah beberapa bulan aku tinggal di sini, tapi aku sama sekali belum pernah keluar dari zona kampus-kos-kedai kopi. Dika juga yang mengajakku untuk bertukar nomor telepon saat kegiatan jelajah kota berakhir di malam hari. Alasanya saat itu, agar dia punya teman untuk berdebat tentang hal-hal sepele lagi.

Jika dihitung-hitung, aku dan Dika sudah saling mengenal selama lima bulan sepuluh hari. Selama itu pula tiap malam minggu dia mengajakku keluar. Entah kembali menjelajah kota atau hanya menemaninya mengerjakan tugas di kedai kopi. Aku sama sekali tak mengerti, kenapa laki-laki yang dulu memaki hujan ini, kini menjadi urutan nomor satu di daftar panggilanku. Padahal sebelum mengenalnya, ibukulah yang menempati posisi itu.

Terlalu naif jika hubungan di antara kami ini dikaitkan dengan cinta. Namun terlalu sayang jika hanya disebut dengan pertemanan biasa. Satu hal yang pasti, selalu ada desir aneh di dadaku saat pandangan kami saling bertemu. Atau bahkan saat dia mengacak puncak kepalaku karena tak mau kalah berdebat dengannya.

Malam ini, setelah kami menghabiskan waktu berjam-jam di kedai kopi, aku kembali merunut perjalanan hubungan tanpa nama ini. Berawal dari rintik hujan, obrolan biasa, hingga perdebatan seru tentang telur mata sapi, sampai ajakannya untuk bertemu kembali. Lalu perjalanan kami menjelajah kota yang tak kuhitung jumlahnya, banyak konser band indie yang kami datangi, dari makanan pinggir jalan hingga ke restoran fancy, semuanya telah kami lalui.

Saat pikiranku kembali, tanpa sadar aku telah mengguratkan senyumanku sendiri. Dari hal itu, aku sadar. Tuhan telah berbaik hati mengirimkan laki-laki pemaki hujan itu untukku agar tak memakai topeng kebahagiaan lagi.

***

Kisah Kalatimur merupakan seri cerita bersambung dari Hipwee yang terbit setiap hari Jumat. Ikuti terus kisahnya dan temukan kejutan menarik di akhir cerita!

Baca episode sebelumnya di sini:

#1 – Musim Hujan Turun dari Timur
#2 – Sebuah Perkenalan, Sebuah Kebimbangan

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Not that millennial in digital era.