Dianggap Nggak Mendidik, Walikota Pontianak Larang Guru Beri Pe-er ke Siswa. Wah Terobosan Baru Nih

Dunia pendidikan Indonesia memang tak pernah sepi dari berbagai perdebatan. Dari pro-kontra wacana jam sekolah 8 jam sampai rencana dihapuskannya soal pilihan ganda untuk UN 2018, pelajar Indonesia tampaknya jadi ‘kelinci percobaan’ pemerintah karena peraturan yang berganti-ganti terus tiap tahun. Ditengah polemik tersebut, banyak orang yang mendambakan sistem pendidikan Indonesia bisa mencerdaskan bangsa tanpa harus memberi beban berlebihan kepada siswa. Seperti pendidikan Finlandia yang banyak dielu-elukan dunia.

Advertisement

Berbeda dengan pemerintah yang ingin menambah jam sekolah atau panjang jawaban soal UN, Walikota Pontianak, Sutarmidji justru berani ‘melawan arus’. Sebagaimana dilansir Republika , Walikota dari Ibukota Kalimantan Barat itu baru saja melarang guru-guru yang bertugas di kota itu untuk memberi pekerjaan rumah atau pe-er kepada murid-muridnya. Kita yang pernah menjadi anak sekolahan pasti tahu bagaimana stresnya kalau pe-er menumpuk.

Seringkali bukannya dapat pembelajaran, pe-er justru jadi ajang menyontek massal di pagi hari. Ah, pe-er memang jadi polemik tersendiri bagi anak sekolahan. Tapi bila larangan walikota Pontianak ini benar dilakukan, tentu akan jadi alternatif baru untuk metode pendidikan kita. Yuk simak ulasan Hipwee News & Feature selengkapnya!

Menurut Walikota Pontianak ini, pe-er hanya menyita waktu siswa yang seharusnya dihabiskan bersama keluarga

Bagaimana caranya belajar di kelas bisa efektif via ayookita.blogspot.com

Walikota Pontianak ini melarang guru memberi pe-er karena itu dianggap tidak mendidik dan hanya membebani siswa. Menurut Walikota, guru yang memberikan banyak pe-er kepada siswa bisa dibilang malas atau kurang bijak metode mengajarnya. Bila dalam satu hari ada 2 pe-er yang harus dikerjakan, minimal waktu yang dibutuhkan adalah 1,5 jam. Padahal di rumah, siswa perlu bersosialiasi dan bermain dengan teman sebaya. Siswa juga perlu menghabiskan waktu dengan keluarga.

Advertisement

Pak Walikota tidak mau waktu siswa dihabiskan untuk mengerjakan pe-er saja sehingga kehilangan kesempatan untuk hal-hal lainnya.

Tanpa pe-er berarti waktu luang lebih banyak. Memang ilmu bisa didapat dari mana saja, tak hanya sekolah dan buku pelajaran

Bermain dan bersosialisasi dengan teman juga bisa memberi pelajaran hidup via www.flickr.com

Alasan Pak Walikota tentu ada benarnya. Seperti kita dahulu, anak sekolah biasanya mengerjakan pe-er malam hari. Padahal malam hari bisa menjadi waktu yang tepat untuk berkumpul dengan keluarga, seperti makan atau nonton film bersama. Karena siang hari anak harus sekolah dan orang tua harus bekerja. Lalu sore hari bisa menjadi waktu yang tepat bagi anak-anak untuk bermain dengan teman-temannya. Tentunya, ilmu tidak hanya didapat dari sekolahan dan pembacaan buku pelajaran.

Apalagi diluar mata pelajaran yang sudah ditetapkan, seorang anak perlu menggali minatnya yang lain. Jam di luar sekolah sebenarnya merupakan waktu yang pas untuk bisa mengembangkan kemampuan dan skill anak yang lain. Tapi di sisi lain, kebebasan dari pekerjaan rumah juga dianggap berbahaya oleh banyak orang. Karena itu, banyak anggapan bahwa lebih baik siswa diberi pe-er sebanyak-banyaknya supaya tak keluyuran di luar. Kalau kamu setuju yang mana?

Advertisement

Perdebatan masalah pe-er ini bukanlah topik baru. Perdebatan tentang hal ini sudah berjalan selama puluhan tahun

mencari penerangan untuk mengerjakan peer via blog.teachlr.com

Penting tidaknya pe-er untuk prestasi siswa memang sudah menjadi perdebatan usang sejak tahun 90-an. Ada yang pro dan ada yang kontra. Harris Cooper, salah seorang yang pro mengeluarkan penelitian di tahun 2006 bahwa di batas tertentu, pe-er bisa melatih kedisiplinan dan meningkatkan kecerdasan siswa. Menurut Cooper: “If you take too little, they’ll have no effect. If you take too much, they can kill you. If you take the right amount, you’ll get better.”

Di sisi banyak juga ilmuwan yang menentang pendapat Cooper dan menyatakan bahwa peer dan kecerdasan tidak selalu berhubungan. Beberapa di antaranya mendukung penghapusan pe-er di sekolahan, terutama untuk siswa-siswa sekolah dasar. Ditambah lagi dengan kasus Finlandia, salah satu negara dengan pendidikan tersukses di dunia. Finlandia juga terkenal dengan kebijakannya untuk tidak memberi pe-er kepada siswa-siswanya.

Penghapusan pe-er juga dilakukan oleh banyak sekolah di dunia. Meskipun guru-guru khawatir karena murid perlu latihan

Tak dapat peer tapi harus rajin baca via www.dailytelegraph.com.au

Terutama di tingkat sekolah dasar, beberapa sekolah di Amerika Serikat sudah menghapus peer dari kurikulum pendidikan. Salah satunya adalah Essex Elementary, sebuah sekolah di kawasan Maryland, USA. Guru tidak akan membekali siswanya dengan setumpuk pekerjaan rumah untuk diselesaikan. Sebagai gantinya, para guru akan sangat menekankan kepada pasa siswa untuk membaca di malam hari. Dengan program ini, mereka berharap para siswa bisa mengembangkan diri dan passion di luar sekolahan.

Soal pendidikan kita memang patut iri dengan Finlandia. Tapi apa iya budaya dan sumber daya kita sudah siap sepenuhnya?

Kesejahteraan guru via guru.or.id

Sekolah tanpa peer tentu tak bisa dilepaskan dari pendidikan di Finlandia yang jam belajarnya pendek tapi siswanya pintar-pintar. Di Finlandia, sekolah hanya lima hari seminggu, 4 – 5 jam sehari, tanpa peer dan ujian nasional. Proses pembelajaran yang super selow itu nyatanya bisa menyebarkan ilmu yang berkualitas. Terus kenapa kita tidak menyontek sistem pendidikan Finlandia?

Barangkali banyak faktor yang menyebabkan kita belum siap untuk itu. Salah satunya adalah sumber daya pengajar. Di Finlandia, seorang guru begitu dimuliakan. Penghasilannya tinggi dan diberi kebebasan untuk menentukan metode pengajaran sendiri. Namun yang menjadi guru haruslah benar-benar yang memenuhi kualifikasi dan termasuk orang-orang tercerdas di seluruh negeri.

Seorang guru adalah agen pendidikan yang perannya sangat vital. Untuk memberikan pendidikan yang berkualitas, tentu dibutuhkan guru-guru yang berkualitas. Sayangnya di Indonesia, masih banyak guru yang belum sejahtera. Masih ada guru honorer yang gajinya hanya ratusan ribu, padahal tugasnya sangat besar yaitu mencetak generasi penerus bangsa.

Guru adalah salah satu profesi dengan penghasilan paling tinggi di Finlandia via flockler.com

Soal pendidikan memang selalu genting untuk dibicarakan. Tentu semua orang ingin pendidikan yang berkualitas yang bisa mencetak orang-orang hebat. Tapi setiap kebijakan tentu ada kelebihan dan kekurangannya. Ditambah lagi, paradigma kesuksesan yang kita percaya agaknya perlu juga diubah. Sebab kesuksesan dan kualitas siswa, tidak melulu ditentukan oleh berapa nilai matematika dan nomor berapa peringkatnya.

Mungkin benar bila mengerjakan peer di rumah bisa memaksa siswa untuk belajar. Tapi kalau ujung-ujungnya pilih menyalin dari teman esok harinya, ya percuma. Nah, kalau kamu pro pe-er atau anti pe-er nih, guys?

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penikmat kopi dan aktivis imajinasi

CLOSE