Nggak Semua Cewek Usia 25-an Kebelet Nikah. Kami Nggak Merana Kok, Sumpah!

“Kapan nikah?”
“Hehe. Hehe. Hehe”

Advertisement

Kami sudah lama setuju, bahwa pertanyaan seperti ini derajatnya sama dengan pertanyaan “apa kabar?” yang nggak perlu ditanggapi serius-serius. Ibaratnya makanan pembuka, kalau di awal sudah berat, nanti pas hidangan utama datang, kami sudah kehilangan selera. Oleh karenanya, kami berusaha bersikap biasa saja biar tidak merusak suasana.

Nggak sih, kami nggak capek ditanya-tanyain kapan nikah. Itu sih udah biasa. Santai aja kami, mah. Kami juga sering bertanya-tanya sendiri dengan penasaran, kapan dan dengan siapa sih komitmen kami akhirnya berlabuh.

Selalu ada rasa penasaran. Tapi jujur, kami nggak merasa harus buru-buru kayak dikejar setan

terkadang jadi berbeda, tapi tak apa

terkadang jadi berbeda, tapi tak apa via alf-img.com

Yang bikin kami nggak santai itu adalah pemahaman kebanyakan orang yang sepertinya berbeda dengan kami. Ini rasanya seperti kita bertanya dan menjawab di dimensi yang berbeda. Jika kamu yang membaca ini mengerti apa rasanya, berarti kamu adalah bagian dari kami. Outliers. Orang-orang biasa yang jadi nggak biasa karena belum kebelet menikah di usia 25-an.

Advertisement

Jika kami memang masih jomblo, orang-orang akan berusaha menabahkan kami dan mengatakan jodoh kami akan tiba suatu saat nanti. Namun jika kami sudah punya pasangan dan belum ingin menikah, selalu diwanti-wanti… Janganlah lebih lama ditunda. Nanti malah nggak jadi.

Padahal saat ini kami memang belum mau terikat, itu saja.

“Gue belom nemu relevansi manfaat nikah dengan kebutuhan gue sekarang.” – (Nitha, 25)

Advertisement

Komitmen bukan matematika, ia tidak hanya mencakup logika. Keinginan kami biarlah muncul dari siapnya hati. Bukan cuma dari perasaan takut sendiri

Woman-walking-along-a-pat-009

Kita dibiasakan punya target dan jalan untuk semua hal. Karena itu, hubungan interpersonal juga ikutan jadi objek ambisi dan obsesi pribadi.  Tanpa sadar, kita jadi lebih fokus mengkhawatirkan apa yang ada di depan sana, sampai lupa bahwa kita sedang hidup di masa sekarang yang juga harus dijalankan sebaik-baiknya.

Coba amati, masing-masing dari kita pasti punya berbagai tipe teman seumuran yang mau menikah seperti lomba balap karung. Adu cepat sampai jatuh bangun pun tak apa.

Bagi mereka, begitulah cara menikmati masa sekarang. Tidak ada yang salah dengan itu. Yang salah adalah ketika dibandingkan dengan mereka, kami jadi dihakimi tidak mengerti cara menuju kebahagiaan yang sebenarnya. Lho, yang menjalani sebenarnya siapa?

Bukannya kami berpikir menikah cepat itu buruk, tidak samasekali. Kami hanya yakin bahwa menentukan satu standar yang sama untuk begitu banyak orang yang berbeda itu tidak adil.

“I guess I just haven’t met the person whom I am ready to be commited to for the rest of my life. I think commitment is a great deal.” – (Dana, 25)

Saat ini kami masih ingin bebas saja. Kami mau lebih dewasa. Tak masalah kan dalam prosesnya kami berlama-lama?

masih happy menjalani hidup yang saat ini via www.pexels.com

Ada situasi kompleks yang hanya bisa kami uraikan dengan memahami diri sendiri. Proses mengenal dunia, terlibat dalam perubahan, terasing dalam ketidaktahuan, kehilangan kontrol diri sendiri kemudian mengendalikannya kembali. Proses tumbuh berkembang, hal-hal yang menjadikan kita manusia.

Mencintai, di sisi lain, adalah hal yang memperkaya proses itu. Kami pernah, sedang, dan akan terus mencintai. Begitupun dengan anugerah dicintai yang membuat hidup ini lebih berarti. Terima kasih kepada mereka yang karena cintanya, membuat kami belajar untuk jadi lebih dewasa.

Hanya saja, kami mengartikan beberapa hal lebih luas. Cinta tidak eksklusif, kebalikannya, ia justru sangat universal. Kepada alam, kepada teman, kepada kerabat, kepada keindahan, kepada Tuhan. Salah jika mengartikan pernikahan hanya perkara cinta. Karena cinta yang sebenar-benarnya tidak mengekang, justru membebaskan. Dan saat ini, kami hanya ingin bebas.

“Sampai saat ini aku masih happy dengan hidupku, masih merasa perlu ruang untuk mengembangkan diri. Sebelum selesai dengan itu nggak adil rasanya kalau bawa orang baru masuk.” – (Tulip, 26)

Seumur hidup kami belajar dan diajarkan untuk menghargai pilihan. Jika kami memilih orang dengan cepat, kami takut tidak sempat bertemu orang yang tepat

pilihanadalah konsekuensi yang kita diskusikan bersama

pilihan adalah konsekuensi yang kita diskusikan bersama via supersm.com

Banyak orang yang datang dan pergi. Beberapa tetap tinggal sebagai memori yang indah, beberapa lagi berakhir di sudut yang tidak ingin kami sentuh lagi.

Hidup ini mengajarkan kami bahwa setiap pilihan yang kami ambil memiliki konsekuensi. Dari situlah kami belajar memikirkan semua hal, termasuk apa-apa saja yang kami dapat dan kami tinggalkan. Terkadang sulit, tapi sakit lebih baik daripada tinggal di situ-situ saja. Kami tahu kami berhak mendapat yang lebih baik dari itu.

Pasangan yang menemani adalah yang terbaik pada masanya. Namun jauh di lubuk hati ini, kami mengerti, masa-masa terbaik pun bisa berakhir dan menguap seketika. Oleh karenanya, kami tidak meminta banyak, hanya sandaran hati yang tepat untuk membuat pilihan bersama-sama, dengan setara.

“Ini bukan alasan tapi pilihan. Tidak dengan sengaja mencari pasangan untuk menikah karena memang tidak menargetkan di umur berapa harus menikah.” – (Devina, 27 tahun)

Hidup bukan cuma soal menikah. Kami merana? Ah, kata siapa?

momen-momen hangat dengan orang-orang terdekat

selalu ada momen-momen hangat dengan orang-orang terdekat via www.lifehack.org

Sumpah, kami nggak merana. Setiap waktu yang bergulir adalah momen yang berharga. Karena kami belum terlalu pusing dengan urusan sewa gedung nikah, souvenir, undangan, fitting baju dan segalanya, kami punya waktu lebih banyak untuk yang lainnya. Mulai dari malas-malasan, mempelajari skill baru, sampai menikmati tumbuh bersama orang-orang terdekat.

Kami masih belum mau berpisah dengan mimpi-mimpi yang sangat banyak. Kami sibuk memperbaiki diri dan mencari peran agar berguna bagi dunia dan seisinya.

Mungkin itulah mengapa, walau kami masih hidup sendiri, hati kami selalu terasa penuh dan tidak kekurangan.

“Life is not just about getting married, right?” – (Citra, 29 tahun)

Semua terdengar seperti pembenaran. Mau tahu alasan sebenarnya?

Alasan sebenarnya adalah kami belum mau saja. Tidak ada gunanya memaksakan sesuatu gagasan pada seseorang yang memang belum atau tidak ingin melakukannya, bukan?

Tenang saja. Kami pun manusia biasa yang tidak ingin hidup sendiri selamanya. Suatu saat kami akan tahu ketika waktunya sudah tiba dan kami siap menikah dengan orang yang tepat di waktu yang tepat. Kami yakin akan hal itu. Namun saat ini, biarkanlah tetap seperti ini. Semoga kalian bisa mengerti.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

21th century lady – grooves in medieval fantasy

CLOSE