Pelajaran Bagi Tugas Buat Ayah; Biar Nggak Semua Dikerjain Sendiri atau Semua Dilimpahkan ke Istri!

pelajaran ayah millenial

“Ng… Stripnya dua. Hasilnya positif. Gimana?”

Advertisement

Pernyataan membingungkan itu terlontar dari mulut istri dua bulan setelah kami menikah. Woh ya sudah pasti saya kelabakan. Karena kami memang berencana menunda punya anak dulu. Awalnya saya masih berusaha untuk denial. Tapi mau seberapa lama saya mencoba denial, faktanya nggak berubah. Istri hamil dan saya akan menjadi bapak dalam hitungan bulan. Hahaha (Ketawa tapi dalam hati ketakutan)

Hari demi hari selepas pengumuman penting dari istri tersebut saya lalui dengan penuh kepanikan yang sebenarnya saya ciptakan sendiri di pikiran. Gimana kalau saya nggak siap jadi bapak, gimana kalau misal saya nggak bisa mendididik anak, gimana kalau nanti saya tidak punya cukup uang untuk memberikan yang terbaik buat si buah hati (*ehem kode minta naik gaji :p hehe), dan bermacam-macam skenario gimana-gimana yang lain mencul begitu saja di kepala.

Nah, momen-momen kekhawatiran itu mulai sirna ketika saya melihat dengan mata kepala saya sendiri si bayi keluar dari rahim istri. Seketika itu juga saya merasa sangat bahagia. Air mata tak tertahan menetes di pipi saya.  Sekian lama menunggu, akhirnya si bayi lahir juga dengan selamat dan sehat 🙂

Advertisement

“Alhamdulillah”

Tepat sejak momen itu, mulailah kehidupan baru yang sebelumnya tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Di usia yang ke 27 tahun ini, saya harus pintar-pintar membagi tugas antara Ayah, Suami dan seorang manusia biasa. Kalau dalam campaign Hipwee, istilahnya sih Ayah milenial. Buat saya pribadi, Ayah milenial itu ya yang nggak malu dan siap sedia membantu keluarga. Dalam hal apa aja? Kalau dalam versi keluarga saya, kayak gini nih ceritanya~

Bagi-bagi kerjaan rumah tangga

Advertisement

Pekerjaan rumah via www.pexels.com

Sejujurnya, ngurus pekerjaan rumah bukan hal yang saya sukai. Sejak kecil saya terbiasa untuk hidup minimalis. Jadi ya, urusan beres-beres rumah cuma sekadar nyapu dan nyuci piring yang habis dipakai aja. Ya mau beresin apa wong di rumah nggak ada apa-apa. Karena itu standar kebersihan saya cukup rendah. Sialnya, istri punya pemahaman soal kebersihan yang 180 derajat berbeda dari saya. Dalam versi istri, bersih-bersih rumah itu ya nyapu, ngepel, menata barang-barang dengan rapi, ngecat rumah dengan warna putih, tempat sampah bersih tiap pagi, kamar harus wangi, dan lain sebagainya. Alhasil, mau nggak mau saya harus belajar untuk meninggikan standar kebersihan saya dan itu nggak mudah.

Awalnya susah. Serius. Mungkin sampai sekarang juga masih susah buat saya.

Mau gimana lagi. Menjadi Suami dan Ayah kan juga datang dengan seperangkat tugas dan kewajiban yang harus dilakukan. Karena itu meski berat, ya tetap saja harus dilakukan. Awalnya, pembagian tugas kami kayak gini:

  1. Nyapu dan cuci piring -> Istri
  2. Ngepel dan urusan pertukangan -> Suami

Cuma ya gitu. Kan nggak tiap hari juga ada urusan pertukangan yang harus dikerjakan. Jadi ya setelah diskusi ulang pada akhirnya kami sama-sama mengerjakan apa yang ingin kami kerjakan aja. Intinya saling bantu dan saling melengkapi gitu. Contohnya ya, kalau saya nyiapin sarapan, istri nyiapin makan malam. Kalau istri buatin sarapan, makan malam ya urusan saya (Siang nggak perlu karena udah makan di kantor). Kalau istri nyapu, saya yang cuci piring. Ya, kayak gitu-gitu deh~

Dengan prinsip sederhana itu, keluarga kecil kami bisa berfungsi dengan (cukup) baik. Setidaknya ya versi saya heuheu~

Plus urusan kerjaan dan finansial

Urusan kerjaan via www.pexels.com

Kalau kata orang, salah satu penyebab perceraian terbesar adalah urusan finansial. Karena saya dan istri tentunya nggak mau cerai, kami harus pintar-pintar planning dan menata keuangan. Beruntung banget saya punya istri yang sangat mudah bergaul dan punya link banyak heuheu. Alhasil, kerjaan istri banyak banget.

Untuk menangkal stres dan kejenuhan dalam bekerja (dan tentunya karena kami butuh uangnya juga sih), kami akhirnya memutuskan untuk saling support dalam pekerjaan. Pekerjaan saya adalah pekerjaan istri, pekerjaan istri ya pekerjaan saya. Kalau pas istri lagi riweh, pekerjaannya saya bantu. Pun demikian sebaliknya. Sejauh ini, hal tersebut bisa kami lakukan dengan lancar karena kerjaan istri yang sifatnya mobileUrusan bagi tugasnya jadi lebih gampang deh. Terima kasih dunia maya yang sudah mempermudah pekerjaan kami heuheu

Dan tentunya, berbagi kerjaan ngurusi si bayi

Urusan bayi via www.pexels.com

Dalam urusan ngurus bayi, saya beruntung karena punya pengalaman ngopeni ketiga adik saya waktu mereka masih bayi. Kalau mau cerita lengkapnya, silakan mampir ke blog milik istri yang sesekali juga saya isi ini.

Singkat kata, saya sudah berpengalaman gantiin popok, gendong, hingga ngudang bayi. Jadi ya alhamdulillah heuheu. Masalahnya, sekeren apapun skill saya dalam hal ngurus bayi, tetap akan kalah sama istri karena cuma istri yang bisa ngasi ASI. Iya, sudah ada teknologi yang namanya mesin pompa ASI. Namun sejauh ini si bayi belum 100% mau menerima asupan susu kalau nggak lengkap sama wadahnya. 🙁

Selain itu, ada satu masalah fundamental lagi yang kami hadapi dalam hal bagi tugas mengasuh bayi; kami LDR-an. Heuheu

Sejujurnya sih, sejauh ini saya merasa kurang berpartisipasi dalam mengasuh anak. Ya mau gimana lagi. Istri di Semarang tinggal bareng mertua, sementara saya harus kerja di Yogyakarta. Waktu untuk ketemu ya cuma jadwal saya ke Semarang tiap weekend itu aja. Namun istri tetap memastikan bahwa saya punya porsi mengasuh anak yang cukup tiap saya ke Semarang.

Karena status kami yang LDR-an ini jugalah yang mewajibkan kami untuk lebih cerdas membagi tugas-tugas di atas. Kami sukses untuk survive dengan cara di atas. Nggak boleh saling saling iri karena kami sadar masing-masing punya tanggung jawab yang sama besarnya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penikmat jatuh cinta, penyuka anime dan fans Liverpool asal Jombang yang terkadang menulis karena hobi.

CLOSE