6 Sastrawan dari Jogja ini Ternyata Idolanya Pembaca Hipwee, Buruan Cari Karya Mereka di Toko Buku!

Sastrawan Terpopuler Jogja

5. Gunawan Maryanto, penyair andal yang juga pernah memerankan sosok penyair terkemuka di layar lebar

Gunawan Maryanto via idwriters.com

Asingkah kamu dengan wajahnya? Ingat-ingat lagi.  Gunawan Maryanto kian kondang belakangan di kalangan umum karena ia tampil dalam beberapa film layar lebar, seperti Nyai dan Wiro Sableng. Tapi yang paling berkesan mungkin adalah perannya sebagai Wiji Thukul dalam film brilian Istirahatlah Kata-Kata. Sosoknya dinilai pantas memerankan penyair yang dihilangkan negara di sekitar tragedi 98 itu. Selain punya kemiripan secara fisik, Gunawan Maryanto pada dasarya juga merupakan seorang penyair. Tak galak dan membawa etos aktivisme seperti karya-karya Wiji Thukul, namun puisi-puisi Gunawan Maryanto tak lantas bukan apa-apa.

Advertisement

Apresiasi ini dan itu dipetiknya. Misalnya, pada tahun 2004 puisinya yang berjudul “Kupanggil Kau Batu” mendapat Anugerah Sih Award dari Jurnal Puisi, puisi “Jineman Uler Kambang” juga mendapat Anugerah Budaya dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk Media Cetak dan Elektronik kategori puisi pada tahun2007. Ia pun berhasil meraih sejumlah penghargaan sastra lain seperti Anugerah Sastra Pena Kencana pada 2008 dan 2009, serta Khatulistiwa Literary Award untuk buku kumpulan puisinya yang berjudul Sejumlah Perkutut buat Bapak pada 2010. Wah, tidak habis-habis kalau mau disebutkan semua.

6. Mahfud Ikhwan, cocok untuk kamu yang menggemari film India, musik dangdut, atau romantisme pedesaan

Mahfud Ikhwan via warningmagz.com

Sepak terjangnya mungkin belum terlalu lama dikenal. Karya pentingnya juga masih terhitung jari, tapi persoalan kuantitas itu dilibas dengan kualitasnya. Dua di antaranya diganjar penghargaan bergengsi. Setelah memenangkan Sayembara Novel DKJ 2014 dengan novel Kambing dan Hujan, berikutnya novel Dawuk membuatnya mengantungi Kusala Sastra Khatulistiwa 2017.

Novel yang disebut pertama tadi adalah roman dua insan yang di ujung tanduk gara-gara perbedaan dan seteru aliran keislaman antara orangtua mereka, dengan wacana rivalitas Muhammadiyah-NU yang disimbolkan dengan istilah “masjid utara” dan “masjid selatan”.  Sementara novel yang kedua adalah kombinasi kisah cinta, dangdut, silat, dan film India.

Advertisement

Mahfud memang dikenal punya ketertarikan besar untuk membawakan kehidupan rural pada karya-karyanya. Ia mencoba menguliti kompleksitas kehidupan pedesaan dengan persoalan-persoalan dan dinamikanya, termasuk ketika desa itu mengalami gejala urbanisasi.

Oiya, selain menggarap kisah fiksi yang memukau, Mahfud juga seorang pemerhati dan penggemar militan musik dangdut serta film India. Ia banyak menulis kritik dan analisis soal keduanya. Jarang-jarang kan ada yang begini? Bahkan ia pernah merilis buku berjudul Aku dan Film India Melawan Dunia berisi kumpulan tulisan blog tentang sinema India. “Seperti film porno, film India disukai sekaligus tidak disukai, dikonsumsi tapi dianggap terlalu kotor untuk dibincangkan, ditonton sendiran kemudian dihinakan di depan banyak orang,” tulisnya di bagian Pendahuluan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

J'ai toujours fait une prière à Dieu, qui est fort courte. La voici: Mon Dieu, rendez nos ennemis bien ridicules! Dieu m'a exaucé.

Editor

ecrasez l'infame

CLOSE