Tahun 2011, kala itu aku harus berdampingan dengan musuh terbesarku. Sesuatu yang tidak bisa kuhindari dan di sisi lain juga tidak bisa kulawan walau sudah berusaha mati-matian. Mungkin sebetulnya bukan hanya aku, malah kurasa seorang preman kelas kakap pun akan kehabisan tenaga untuk melawannya, karena memang ini bukan sebuah hal yang bisa diatasi hanya dengan logika melainkan harus melibatkan perasaan.
Lagi-lagi, brengseknya, seberapa kuatpun kulampiaskan ini, tak akan pernah habis ia. Ia akan semakin tumbuh, berkembang, beranak pinak dan kadang mengganggu dalam lelap.
Sampai sini sudah bisa menebak sosok siapa yang kubicarakan ini?
Namanya rindu. Ia bisa menjelma jadi apa saja, seringkali jadi perasaan yang sulit dibicarakan dengan kata-kata tetapi bisa mempengaruhi tingkah laku.
Tahun 2011, sahabat baikku adalah hubungan jarak jauh yang walaupun tak seberapa tapi tetap saja tumbuh setiap kali pertemuan itu berakhir. Sempat kusebut ia sebagai hal yang brengsek, karena bagaimana tidak? Semakin rindu, semakin ingin bertemu, dan setelah bertemu, rindu ini tidak akan hilang, bahkan ia akan bertambah lagi.
Menahun kupelihara rindu, hanya sesekali kusampaikan pada pemiliknya. Ini bukan perihal siapa yang lebih berani bicara, tapi tentang betapa besar kepala ia nanti jika Ia akhirnya tau bahwa perasaan yang kurawat ini jauh lebih besar dari apapun yang ia duga-duga.
“Kamu gimana kabarnya, di sana?”
“Aku baik, hanya sibuk sekali. Sulit untuk bisa berangkat ke tempatmu.”
“Tak apa, aku hanya memastikan kamu baik-baik saja.”
“Kangen aku, nggak?”
Kamu sedang membaca konten eksklusif
Dapatkan free access untuk pengguna baru!
“Hmmm… sedikit.”
“Sedikit lebih banyak dari sebelumnya?”
“Sedikit lebih sering dari biasanya.”
“Kamu bisa nyusul aku, ke sini?”
“Aku masih banyak yang harus diselesaikan.”
“Sampai kapan?”
“Sampai aku siap.”
“Untuk bertemu aku butuh kesiapan?”
“Banyak yang harus kutukar, untuk sebuah pertemuan.”
“Keluargamu, pekerjaanmu, apa?”
“Jelas itu semua menjadi alasanku.”
“Aku sudah terlalu lama menunggu. Kamu tahu sekali itu.”
“Sebentar lagi, ya. Jangan lelah dulu.”
“Aku iri, di sini banyak sekali pasangan. Ada yang baru sampai sini, sudah disusul oleh kekasihnya, bahkan kadang istrinya yang membawa serta anaknya.”
“Berani sekali mereka.”
“Itulah, aku berharap kamu melakukan hal yang sama. Toh cinta yang kamu rasakan dan rindu yang kamu simpan, aku yakin lebih besar daripada mereka.”
“Kalau aku berangkat sekarang, keluargaku pasti sedih. Aku belum berani menukar air mata mereka untuk hanya bertemu denganmu melepas rindu.”
“Kau paham betul di sini lebih baik dari pada rumahmu.”
“Tenang dulu, aku akan mencari waktu.”
“Iya, sampai kapan? Ini sudah hampir tahun ke-dua sejak terakhir kita bertemu.”
“Sudahlah, jangan kamu ungkit lagi. Aku sudah minta maaf.”
“Memang bukan sepenuhnya salah kamu.”
“Karena kamu pasti ingat, hari itu kularang kamu datang.”
“Karena cuaca sedang buruk?”
“Karena kamu mabuk.”
“Andai aku tidak mabuk pun, kurasa memang sudah jalannya. Kau meneleponku berkali-kali, aku makin hilang fokus.”
“Kamu sadar nggak, pembicaraan kita selalu seputar ini?”
“Sudah kubilang aku rindu. Hanya akan reda kalau kita bisa bertemu.”
“Belum ada yang menjemputku, Sayang. Bersabarlah sebentar lagi.”
“Kamu bisa menghampiri tanpa perlu dijemput. Aku ingat betul di sebelah tempat tidurmu, kamu menyimpan belati.”
“Lalu?”
“Pakailah itu untuk menemui aku.”