#DiIndonesiaAja-Pesona 109 Rumah Adat Kampung Naga dan Kearifan Lokalnya

Panduan Mendirikan Rumah Adat, Keyakinan, dan Kelestarian

Tasikmalaya adalah kota dengan banyak cerita dan tempat wisatanya. Ada beberapa air terjun yang masih terjaga kelestariannya juga panta-pantai terbentang di daerah selatan sejauh mata memandang. Namun perjalanan kali ini saya ingin menelisik lebih jauh tentang kebudayaan yang menjadi ciri khas wisata kota Tasikmalaya. Siapa sangka kalau di Tasikmalaya ada sebuah desa yang masih kental dengan tradisi dan adatnya?  Desa kecil di jalan Neglasari Singaparna  yang menghubungkan Tasikmalaya dan Garut dari arah Selatan ini sudah ramai diperbincangkan.

Ketika saya masih kanak-kanak hingga dewasa di mana lebih dulu dikunjungi wisatawan Mancanegara dari pada tuan rumahnya. Untuk menuntaskan rasa penasaran, saya pun menelusuri perkampungan yang katanya hanya memiliki 109 rumah dari 112 bangunan tradisional yang tidak kurang atau pun tidak lebih.   Kebudayaan tidak selalu hal-hal yang terlihat di permukaan, ia bisa saja sesuatu yang tersirat dalam diri manusia. Dan susunan rumah tradisional dan keyakinan mendirikan 109 rumah menjadi paduan nilai kebudayaan yang paripurna di Kampung Naga.

Pertama kali tiba di sini, saya kebingungan karena tidak tahu tata cara masuk ke perkampungan. Sebelumnya saya membaca baca referensi perjalanan seseorang ke Kampung Naga katanya harus minta izin terlebih dulu. Sementara tidak ada seorang pun yang saya temukan utuk minta izin selain pedagang dan pengelola tempat parkir.

Advertisement

1. Pembatas Kampung Naga yang Dianggap Bisa Menjaga Kelestarian

Pinkky Nurcahyaningrum

Pinkky Nurcahyaningrum via http://https

Pertama kalinya tiba di area ini saya dibuat kagum pada Kujang Pusaka. Kekaguman itu membuat saya bangga menjadi orang Sunda yang tinggal di Tasikmalaya. Kujang Pusaka merupakan simbol dari senjata tradisional Jawa Barat yang diwariskan dari para leluhur sebagai simbol pemerintahan Jawa Barat. Konon, mendirikan Kujang di Kampung Naga memiliki dua elemen yang sangat penting, yaitu untuk melambangkan betapa kuatnya budaya Sunda yang ada di Jawa Barat dengan semangat yang membara dan penghargaan kepada masyarakat Kampung Naga yang saat ini menjadi tempat wisata andalan di Tasikmalaya.

Sebelum berjalan lebih jauh saya minta izin pada  seorang lelaki paruh baya yang duduk di depan warungnya. Dalam pikiran saya mungkin beliau adalah salah satu warga Kampung Naga karena terlihat dari pakaian adat dan blangkon Kujang di kepalanya. Saya pun memberi salam dan bicara beberapa kata meminta izin darinya.

Advertisement

Beberapa anak tangga saya lalui sambil memotret kanan kiri pemandangan yang masih asri. Di depan dan di belakang orang-orang melakukan hal serupa tidak ingin ketinggalan mengabadikan kenangan. Begitu tiba di pertengahan jalan, saya melihat tulisan yang berisi larangan. Saya berhenti sejenak untuk memahami isi aturan tersebut sebagai santun untuk mengenal Kampung yang dijaga oleh leluhurnya.

Setelah memahami aturan-aturan itu saya meneruskan perjalanan lagi dengan menapaki anak tangga yang berjumlah 439. Lagi-lagi saya dibuat kagum dengan melihat sengkedan sawah melebur pada nuansa alam yang sejuk. Dari sini juga semakin jelas terlihat atap perumahan di Kampung Naga menghadap ke satu arah yang sama.

Advertisement

Sebentar lagi anak tangga mengantar saya tiba dipenghujung jalan ini. Keunikan atap rumah pun sempat saya hitung dengan memastikan 112 bangunan. Dari dulu hingga sekarang orang bilang bangunan itu tetap sama termasuk jumlah rumah yang dibatasi sampai 109 saja. Mereka tidak mengurangi atau menambahkan jumlah rumah tersebut. Susunan rumahnya juga sangat rapi dan semua rumah bagian depan menghadap ke Timur sedangkan rumah bagian belakang menghadap ke Barat. Saya tidak tahu maksudnya, tapi semoga nanti bertemu dengan salah satu kepala suku yang bersedia menceritakan beberapa sejarah  berharga di sini.

Tampak luar dari perkampungan ini tidak langsung disajikan perumahan akan tetapi sungai dan kamar mandi. Ada banyak kamar mandi yang terbuat dari kayu dan terlihat dipagari kepedulian dari BRI. Saya pikir, BRI adalah salah satu Bank di Indonesia yang sudah banyak berkontribusi untuk kelestarian Kampung ini dengan memberdayakan pembangunan yang rapi. Tidak ada satu pun sampah berserakan atau kayu-kayu yang melepuh terkikis. Penduduk di Kampung Naga tidak hanya merawat alam yang di amanahi leluhurnya tapi juga merawat bagian-bagian tetkecil yang mereka anggap kehidupan di sana.

Kamar mandi umum pun berdekatan dengan Gazebo di atas sungai sebagai pembatas untuk melindungi kelestarian Kampung Naga. Pembatas itu juga merupakan pembeda dari wilayah kampung lainnya di mana sebelah barat terdapat bukit dan timur ialah sungai Ciwulan. Masyarakat percaya kalau bangunan itu bukan bangunan sembanrangan atau sekedar hiasan di mana pengunjung bisa istirahat di sana. Sebagai masyarakat yang memegang adat leluhur, beberapa Gazebo itu dipercaya bisa menangkal kesialan atau malapetaka yang tiba-tiba merusak kelestarian.

Banyak sekali kunjungan dari wisatawan termasuk kedatangan saya yang juga berbaur dengan mereka. Kami langsung bertemu di satu titik depan rumah kepala suku adat setempat. Selain minta izin untu mengenal lebih jauh Kampung ini, kami juga mendengarkan cerita yang diajukan oleh salah seorang Mahasiswi Universitas Padjajaran yang sedang penelitian.  

Sejarah Asal Mula Nama Kampung Naga

Menurut salah satu kepala adat yang saya temui, istilah Kampung Naga berasal dari penamaan “Naga” yang dijelaskan dalam lempengan kuning yaitu “Piagam Naga” piagam tersebut sudah hancur bersama beberapa naskah kuno, pusaka dan benda-benda sejarah lainnya yang disimpan di “Bumi Ageung” yaitu tempat yang disakralkan oleh masyakarat ketika terjadi pemberontakan DI/TII 1956. Ada juga masyarakat yang mengatakan bahwa “Naga” itu menunjukan perkampungan yang menjorok ke sungai besar atau di pesisir. Dalam istilah Sunda berarti “Na Gawir”.  Untuk mencari tahu arti kata Kampung Naga dan siapa pendirinya memang tidak ada titik terang, akan tetapi ada satu versi sejarah yang melatarbelakangi adanya Kampung Naga yaitu, ketika seorang abdi Syeh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati yang bernama Singaparna ditugaskan untuk meyebarkan Islam ke sebelah Barat dan ia sampai ke daerah Neglasari. Singaparna atau Sembah Dalem Singaparna mendapat petunjuk harus bersemedi atau mendiami tempat yang sekaran disebut Kampung Naga.

Hajat Sasih

Hajat Sasih adalah titik puncak dari rasa tunduk dan patuh kepada leluhur mereka yang juga salah satu tradisi Kampung Naga. Menurut salah satu warga masyarakat Kampung Naga, Hajat Sasih adalah upacara membersihkan makam leluhur yang dilakukan pada waktu tertentu sesuai kalender Islam. Syarat untuk melakukan upacara ini adalah membersihkan diri terlebih dahulu di sungai Ciwulan.

Yang membedakan Kampung Naga dengan Kampung-Kampung lainnya adalah pandangan terhadap modernisasi. Di mana kampung ini tidak membolehkan setiap warganya memasang listrik dan mendengarkan musik. Untuk memasak pun mereka menggunakan tunggu dari kayu api bukan gas LPG dan cahaya itu didapatkan mereka dari obor saja. Sementara, musik adalah alam yang bergema menyuarakan suaranya. Seperti kicau burung, gemericik air dan siut angin. Alasannya tidak ada listrik dan musik karena mereka ingin menghargai kedekatan diri dengan alam semesta.

Saya menghakhiri pertemuan singkat dengan kepala adat lalu meneruskan kembali penelursuran Kampung hari ini. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum mengetahui lebih jauh yaitu saya tidak boleh melewati jalan yang bersampingan dengan makam leluhur mereka. Jadi, untuk jalan-jalan di sekitar rumah dan bertemu dengan warga harus banyak bertanya terlebih dahulu.

Perasaan khawatir saya hilang begitu melihat wajah-wajah paruh baya yang sedang mengayam sebagai salah satu aktivitas mereka. Mereka sangat ramah dan terbuka nyaris menularkan senyuman juga anak-anak yang tidak segan menjajak saya bermain. Meskipun ada beberapa dari mereka yang tersipu malu ketika saya menyapanya.

Di Kampung Naga memiliki perabotan tradisional yang sama seperti Kampung lainnya.  Banyak alat-alat kebutuhan rumah tangga yang terbuat dari kayu salah satunya dalam Bahasa Sunda disebut “ayakan”. Barang yang saya sentuh ini sudah tidak asing dan bisa ditemukan di mana pun kita mengunjungi suatu desa. Selain untuk mengayak, barang ini berfungsi sebagai tempat menjemur padi atau makanan  mentah yang membutuhkan sinar matahari untuk mematangkannya. Ada yang lebih unik lagi tepat dipinggir saya sebelah kanan yaitu tempat ayam mengerami telurnya. Jadi, ayam-ayam itu tidak disimpan di kandang tetapi dipisahkan dalam bakulan yang terbuat dari anyaman.

2. Aksesoris Ciamik Nan Nyentrik

Kumparan

Kumparan via http://kumparan.com

Lagi-lagi kedua mata saya melabuhkan pandangan pada barang-barang antik dan artistik. Sebagai penikmat seni dan filosofi, memiliki aksesoris dari kayu tersebut adalah kesenangan yang tidak ternilai harganya. Di tempat ini menyediakan barang-barang seperti tas, sandal, topi dan aksesoris lain yang tidak kalah ciamik. Saya pun memilih barang-barang dengan bebas karena beberapa rumah di sini melakukan transaksi jual beli barang tersebut.

3. Pak Maun, Sesepuh Kampung Naga

Pinkky Nurcahyaningrum

Pinkky Nurcahyaningrum via http://wartaplesir.photo.blog

Rasa penasaran menelusuri Kampung Naga tidak sebatas pada kepuasan saya mendapatkan aksesoris-aksesoris yang terbuat dari kayu. Ada lelaki paruh baya yang nampak memperhatikan gerak saya memotret sekitar. Namanya Pak Maun beliau adalah sesepuh Kampung Naga yang usianya di atas kepala 6. Beliau terlihat masih sehat dan pikirannya menyimpan banyak cerita yang dengan senang hati ia bagikan.

Masyarakat Kampung Naga dikenal kuat memegang prinsip leluhur mereka yang di antaranya:

Ngaraksa Sasaka Pusaka Buana yang bermakna menajga warisan suci di atas bumi.
Lojor teu beunang dipotong, pondok teu beunang disambung yaitu panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung yang artinya hidup dengan menjaga dan melestarikan proses perubahan alamiah secara wajar.
Ngasuh ratu ngajayak menak, ngabaratakeun nusa teulung puluh telu, bagawan sawidak lima, panca salawe nagara. Maksud dari kalimat itu adalah sebagai warga yang bertanggung jawab, kita harus taat pada pemerintah Negara dengan berbagai cara dan upaya.
Mipit kudu amit, ngala kudu menta artinya memetik harus permisi, mengambil harus meminta
“Bapak, manawi terang naon sasakala ngadagkeun bumi kedah 109?” (Kira-kira apa Bapak tahu apa sejarahnya haru mendirikan 109 rumah?)

            Tanya saya untuk menuntaskan rasa penasaran kenapa Kampung Naga hanya boleh mendirikan rumah sebanyak 109 saja.

  “Tos aya ti luluhurna” (Sudah ada dari leluhurnya)

Jawab lelaki paruh baya itu singkat dan saya tidak menambah pertanyaan lagi.

Ada banyak hal yang saya dapatkan dari Pak Maun termasuk hidup di atas prinsip kita sebagai manusia. Apa yang perlu kita perjuangkan selain keberanian adalah budi pekerti yang luhur sebagai junjungan dari kebudayaan yang tak nampak di permukaan. Bahwa sejatinya kebudayaan itu ada dalam diri kita sebagai manusia, kalau kita bisa mempertahankan nilai-nilai dalam diri kita maka kita bisa mempertahakan kebudayaan-kebudayaan lain yang diwariskan dari negeri Kita sendiri.

4. 109 Rumah Menghadap Ke Arah Yang Sama

Rina Lusiana

Rina Lusiana via http://rinalusiana.com

Setiap gaya rumah yang dibangun oleh masyarakat Kampung Naga adalah warisan terbesar bagi mereka. Itu terlihat dari pilihan mereka menuangkan keyakinan, rasa, dan wujud sosial yang terpancar dari keindahan atap-atapnya. Susunan atap rumah ini terbuat dari ijuk dan memiliki lapisan dalam yang disebut Krepes.

Mereka menyebutnya rumah panggung dan bertahan kurang lebih 30 tahun mampu menyelamatkan mereka dari goncangan gempa. Untuk mendirikan rumah-rumah ini pun tidak sembarangan, ada banyak tata cara yang diyakini mampu membuat rumah ini selamat dari gangguan mistik juga.

5. Susiunan Rumah Yang Rapi Dan Banyak Filosofi

Barry Kusuma

Barry Kusuma via http://https

Sebelum mendirikan rumah mereka harus mempersiapkan kayu, bambu, daun eurih (alang-alang) atau daun tepus dan ijuk. Mereka harus menempuh tiga jam perjalanan untuk mengambil daun tepus dan daun eurih di daerah Nangtang. Dengan memegang prinsip keberanian, mereka pun tidak peduli ketika bolak-balik masuk hutan menuju daerah Nangtang itu.

Sisanya mereka mengabil Batu Tatapakan dari Sungai Ciwulan dan batu tatapakan papras kemudian batu jangkung yang harus dibeli dari daerah lain. Bahan-bahan untuk rumah tersebut kemudian diolah sebelum hari pembangunan ditentukan. Mereka melakukan upacara salametan terlebih dulu agar rangkaian acara mendirikan rumah berjalan dengan lancar.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Profesional Mind Escape

CLOSE