#DiIndonesiaAja-Menjelajah Kepulauan Tujuh di Maluku. Air Jernih, Udara Hangat, Kelok Ikan di Lautan.

Duh, rasanya ingin kembali lagi...

Jika Chairil Anwar masih hidup dan sempat mampir ke Kepulauan Tujuh, mungkin dia akan berteriak, ”Aku ingin hidup sepuluh ribu tahun lagi.” Itu sekadar untuk menggambarkan betapa nyamannya Kepulauan Tujuh untuk mata dan batin yang lelah disergap kesumpekan Ibu Kota.

Kepulauan Tujuh, sebagaimana namanya, terdiri atas tujuh pulau yang tersebar berdekatan. Akan tetapi, salah satunya tenggelam, tersisa enam pulau, yakni Isa’u, Tengah, Besar, Air, Tua, dan Ale’e. Banyak yang bilang, keindahan Kepulauan Tujuh setara dengan Maladewa. 

Advertisement

1. Pulau Isau

Kami bangun tidur disambut gerimis tipis dan hawa sejuk. Pagi itu kami sarapan pisang goreng, roti, dan kopi. Sejatinya kami bangun pagi itu lantaran ingin segera menuju Kepulauan Tujuh yang konon perairannya masih banyak dihuni lumba-lumba. Cerita itu kami peroleh sehari sebelumnya dari beberapa pelancong yang beberapa kali berkunjung ke pulau itu.

Sayangnya, perahu penjemput kami datang kesiangan sehingga baru 2,5 jam kemudian kami bertolak ke Kepulauan Tujuh. ”Kalau beruntung, semoga masih bisa lihat lumba-lumba,” kata pemandu wisata, Marwan Ialuhun, menghibur kami. Selama hampir 1 jam perjalanan kami tak menjumpai lumba-lumba

Advertisement

Perahu menepi di Pulau Isa’u. Pasir putih, air laut nan jernih dan tenang, serta langit membiru di atasnya, mendorong kami untuk segera nyemplung ke laut. Sebagaimana pelancong pada umumnya yang mengidap demam selfie, kami merogoh telepon seluler, memasangnya di ujung tongsis, dan byur! ”Tolong… tolong!” teriak seorang rekan yang sesaat lupa bahwa dia tak bisa berenang, tetapi ikut menyebur ke laut untuk selfie. Beruntung dia segera bisa ditarik ke daratan. Lebih beruntung lagi, telepon selulernya tak ikut tenggelam.

Insiden kecil itu tidak mengurangi kegembiraan kami, termasuk rekan tadi, menikmati keindahan Pulau Isa’u. Kami berenang. Mencoba mengapung di air tanpa pelampung. Lalu duduk berjajar di atas pasir putih dan membiarkan ombak datang dan pergi membasuh kaki-kaki. Kadang, ombak yang lebih besar datang dan menyelimuti setengah badan kami. Segar, sesegar air kepala bagi orang-orang kehausan. Ya, kamilah orang-orang yang kehausan keindahan alam.

Di seberang sana, negeri Pasanea membayang seperti gunung. Segumpal awan putih mempercantik langit biru di atas negeri itu. Kami meninggalkan Pulau Isa’u setelah melakukan selebrasi orang-orang haus piknik: meloncat bersama di tepi pantai.

Advertisement

2. Sihir Pulau Alee

Hanya butuh waktu sekitar 10 menit bertolak dari Isa’u menuju Pulau Ale’e. Jika di pulau pertama kami main-main di pantai, di pulau ini kami lebih ke tengah. Ramai-ramai kami melengkapi diri dengan kacamata kedap air dan selang pernapasan selayaknya hendak snorkelling, lalu mencebur ke laut.

Ikan-ikan kecil seukuran jemari hingga telapak tangan bergerombol berkejaran. Kulit mereka yang warna-warna berkilauan diterpa cahaya matahari yang tengah terang-terangnya. Dasar laut terlihat jelas karena kedalaman hanya sekitar 3 meter. Arus lumayan deras sehingga kami harus tertib berpegang pada seutas tali yang ditambatkan pada perahu. Namun, sesekali saya membiarkan arus menarik saya ke tengah dan ke tengah hingga sampai pada perairan yang tak lagi terlihat dasarnya.

Sungguh asyik bermain air laut nan jernih dan penuh warna ini. Tiba-tiba kami diingatkan untuk naik ke perahu karena sudah 1 jam lebih berada di air. Dirasa-rasa lapar juga.

3. Menengah ke Pulau Tengah

Tibalah kami di pulau berikutnya, Pulau Tengah. Bayangan saya, kami makan di atas pasir dipayungi pohon rindang. Sesekali semilir angin menyapa mengurangi hawa panas pantai. Ternyata, itu memang terjadi. Ditambah lagi hiburan beberapa anak yang bergantian berlompatan dari sebatang pohon ke laut. Sungguh, makan siang kali itu menjadi istimewa meskipun menunya hanya nasi putih, ayam goreng, dan sambal tomat.

Seusai makan siang, kami ikut mencebur ke laut bersama anak-anak tadi. Memang menyenangkan. Airnya jernih dan sejuk sekali membuat kami betah berlama-lama di sana, sembari membayangkan diri berada di Maladewa. Tidak berlebihan kiranya karena kualitas air dan sajian pemandangannya tak kalah dengan Maladewa. Setidaknya demikian jika dibandingkan dengan video majpun foto tentang Maladewa. Beberapa pelancong yang pernah ke Maladewa lalu ke sini, punya kesaksian serupa. 
 

4. Desa Saleman

Setelah menjelajah laut, perjalanan kami selingi dengan mendaki perbukitan. Kami menepi ke Desa Saleman, lalu berjalan menyusuri perkampungan berlanjut mendaki Bukit Hatu Pahu-pahu. Setelah 20 menit mendaki, sampailah kami di puncak bukit. Dari ketinggian bukit ini, kami melihat keindahan laut menghampar. Dari tempat kami berdiri, nyiur melambai seolah memayungi air laut yang menghijau. Di ujung sana, perbukitan menghijau memperindah laut.

Setelah sekian lama terpapar matahari, kami baru sadar, lebih tepatnya merasa terbakar meskipun berulang kali mengolesinya dengan krim tabir surya. Kulit kaki dan lengan terasa agak panas. Beruntung tak lama setelah itu kami tiba di Pantai Belanda. Sekilas tidak ada yang istimewa dengan pantai ini karena hanya ada pasir putih menghampar. Masih lebih cantik pasir di Pantai Tengah maupun Isa’u.

5. Sungai di Pantai Belanda

Ketika di Pantai Belanda, kami menyisir tepiannya dan menemukan aliran air tawar. ternyata Pantai ini terbelah oleh anak sungai yang meliuk dari pedalaman daratan. Sungai itu hanya selebar 6 meter dan berair dangkal, tingginya sedikit di atas lutut saya atau setara dengan sekitar 65 sentimeter. Namun, airnya demikian jernih dan sejuk.

Ini adalah air sungai paling jernih yang pernah saya temui. Saya pernah ke Sungai Batang Gadis di pedalaman Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, tetapi tidak sejernih ini. ”Di sini dulu tempat persembunyian tentara Belanda. Mereka betah karena dekat sumber air tawar dan bersih,” kata Hengky (45), warga, sembari menunjuk daratan di sekitar sungai.

Air sungai itu bersumber dari beberapa mata air di bebatuan, sekitar 200 meter dari bibir pantai. Beberapa mata air juga terdapat di pantai yang membentuk bundaran-bundaran seperti pasir isap. Saat kaki menginjaknya, muncul sensasi sejuk dan geli karena semburan air dan pasir.

Kami berlama-lama berendam sekaligus menghilangkan rasa lengket-lengket di sekujur badan lantaran air laut yang mulai mengering. Selepas berendam, saranya siap berpetualangan lagi.

6. Taman Kupu-kupu

Hari sudah hampir gelap ketika kami bertemu lagi dengan Helmi (45). Sebelumnya kami bertemu dengannya di penyeberangan Saleman menuju penginapan. Dia menawarkan kami melihat penangkaran kupu-kupu di kebunnya yang mencapai 1 hektar. Setelah menimbang-nimbang, aku akhirnya menerima tawarannya.

Sekitar 30 menit kami menembus belantara ladang yang lebih mirip hutan menuju tempat penangkaran itu. Sayangnya, tidak banyak kupu-kupu yang datang. Namun, Helmi terkesan serius mengembangkan tempat ini. Dia punya obsesi membangun taman kupu-kupu karena menurut dia ada puluhan jenis kupu-kupu di Maluku.

Hari mulai petang dan gerimis kembali datang. Kami bergegas naik perahu pulang ke penginapan. Kulit terbakar, badan lelah, tetapi hati bahagia setelah seharian menjelajah Kepulauan Tujuh dan Pantai Belanda.

Kami kembali beristirahat menghimpun tenaga untuk melanjutkan menjelajah alam dan laut keesokan harinya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

CLOSE