Fenomena Cancel Culture, Tren Media Sosial yang Menyelamatkan atau Justru Merugikan?

Main Hakim Nggak Cuma di Jalan, Di Media Sosial pun Juga Ada!

Yang banyak terjadi di media sosial sekarang ini, jika seseorang terjebak dalam sebuah perdebatan online dan mengeluarkan opini yang tidak lazim atau tak sesuai dengan pendapat kebanyakan orang, serangan tak lagi dikembalikan berupa jawaban terkait permasalahan ataupun gagasan pembuat opini.

Seringkali yang terjadi adalah warganet justru berbalik menyerang personal sang pembuat opini tanpa mempedulikan gagasan yang diajukan, atau yang sering disebut dengan ad hominem. Memang perlu waspada dan butuh kehati-hatian ketika kita ingin mengatakan sebuah pendapat di media sosial. Pendek kata, sampaikan dan utarakan maksudnya dengan santun dan bertutur yang sopan. 

Selebritas merupakan subyek yang sangat rentan terhadap isu seperti ini. Semua ini berawal dari pengguna media sosial atau yang kerap dipanggil sebagai netizen, mengekspos salah satu kejadian yang menjatuhkan nama baik dari selebritas tersebut, lalu hancurlah karir dari selebritas terkait dan hanya bergantung apakah tim public relation mereka dapat mengatasi permasalahan tersebut. 

Apa yang netizen sebarkan di dunia maya dapat dikatakan mengancam karir mereka sebagai selebritas. Ada yang bertahan, namun juga ada yang jatuh. Karir mereka hancur karena apa yang mereka bangun, dihancurkan oleh sebuah tagar atau cuitan yang mendiskreditkan nama baik mereka. Bukan malah disambut kegembiraan karena sudah menghirup segarnya udara malah digiring di jurang penolakan dan kesalahpahaman.

Publik seakan murka dan meluapkan kekesalannya dengan cara masing-masing. Mulai dari menggelar petisi penolakan yang telah ditandatangani lebih dari ratusan ribu orang, membuat tagar untuk menolak tindakan yang sepatutnya tidak dilakukan hingga kemarahan warganet yang sudah tidak terbendung dengan merangsek ke arah pemboikotan. Fenomena yang semakin mencuat seperti ini memang bukan yang pertama terjadi, dan secara luas dikenal sebagai cancel culture. 

Istilah ini memang cukup populer di antara penutur bahasa Inggris sejak beberapa tahun ke belakang dan dikhawatirkan bersifat politis. Bukan hanya selebriti dunia, hal ini juga menimpa banyak public figure di Indonesia. Lantas, apakah cancel culture ini tergolong dalam aktivitas yang menyelamatkan? atau justru merugikan bahkan mengarah ke arah negatif atau online shaming? 

Advertisement

1. Apa Itu Cancel Culture

Photo by Jadyn Lee on The Student Life

Photo by Jadyn Lee on The Student Life via https://tsl.news

Mengutip kamus Merriam-Webster, cancel culture dapat diartikan sebagai aksi pembatalan yang berkaitan dengan pencabutan dukungan terhadap tokoh masyarakat sebagai tanggapan atas perilaku atau pendapat yang tidak menyenangkan. Ini dapat mencakup boikot atau penolakan untuk mempromosikan pekerjaan mereka. 

Melakukan aksi cancel culture kepada seseorang (biasanya selebritas atau tokoh terkenal lainnya) berarti berhenti memberikan dukungan kepada orang tersebut. Tindakan pembatalan dapat mencakup pemboikotan film aktor atau tidak lagi membaca atau mempromosikan karya penulis.

Advertisement

Alasan pembatalan bisa bermacam-macam, tetapi biasanya karena orang yang bersangkutan telah menyatakan pendapat yang tidak pantas, atau telah bertindak dengan cara yang tidak dapat diterima oleh kebanyakan masyarakat, sehingga jika masih berusaha untuk menikmati karya mereka, ada rasa tidak senang yang akan muncul

2. Persepsi Tentang Fenomena Cancel Culture

Photo by miro.medium.com

Photo by miro.medium.com via https://miro.medium.com

Budaya canceling ini juga dinilai sebagai sebuah budaya yang dinilai bersifat negatif oleh banyak publik figur karena dinilai merupakan sebuah upaya online shaming yang sangat destruktif dan kadang tidak melihat dari perspektif yang sangat besar.

Advertisement

Sesuai pada hakikatnya, manusia diciptakan memiliki akal serta moral dan belajar mengenai apa yang benar dan salah berdasarkan kejadian yang mereka alami. Kita tidak dapat menjustifikasi apa yang seseorang anggap benar dan tidak benar.

Cancel culture merupakan salah satu budaya yang dinilai memiliki intensi untuk ‘menggembalakan’ publik untuk hanya melihat suatu permasalahan dalam perspektif yang negatif. Cancel culture melibatkan upaya bersama untuk menarik dukungan untuk sosok atau bisnis yang telah mengatakan atau melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan sampai mereka meminta maaf atau menghilangkan pandangan yang secara mayoritas dianggap keliru. 

Richard Ford, seorang profesor hukum di Stanford University California setuju bahwa beberapa aktivisme media sosial itu konstruktif dan sah, tetapi ia juga mengeluhkan bahwa cancel culture bisa membatasi perdebatan. Selain itu, hal ini juga bisa mempengaruhi perilaku diskriminatif dalam kehidupan sehari-hari.

Perilaku ini juga dapat mendorong provokasi dan ekspresi kemarahan dan hampir sepenuhnya tidak mampu menyampaikan nuansa atau konteksnya. Richard juga menyebutkan bahwa terkadang tujuannya hanyalah kepuasan emosional saat menjatuhkan seseorang, yang mana ini bisa menjadi hal yang buruk.

3. Tren Media Sosial Bagaikan Pisau Bermata Dua

Foto oleh Alex Green dari Pexels

Foto oleh Alex Green dari Pexels via https://www.pexels.com

Fenomena cancel culture sebenarnya sudah lama terjadi. Kalian mungkin familiar dengan kasus pelecehan seksual yang dituduhkan terhadap produser film tersohor Harvey Weinstein pada Oktober 2017 silam. Gerakan ini muncul dan menjadi viral pada media sosial Twitter dan lalu tersebar di berbagai media sosial lainnya.

Bahkan gerakan ini menarik perhatian dari kalangan selebritis seperti Gwyneth Paltrow, Jennifer Lawrence dan bahkan Uma Thurman, salah satu bintang dalam film yang diproduseri oleh Weinstein sendiri yakni film Pulp Fiction mendukung gerakan tagar #MeToo.

Canceling ini berdampak besar bagi karir bahkan kehidupan pribadi dari Harvey Weinstein, dia kehilangan berbagai kedudukan di organisasi seperti BAFTA (British Academy of Film and Television Arts) dan AMPAS (Academy of Motion Picture Arts and Sciences) atau yang dikenal sebagai ‘the Academy’ dan berbagai organisasi lainnya. Lalu kehidupan pribadinya juga berantakan, istri dari Weinstein memutuskan untuk meninggalkan dirinya setelah kasus kekerasan seksual tersebut mulai tersebar luas. 

Kini bermain di media sosial memang perlu kehati-hatian, pasalnya ia bisa menjadi sumber masalah kesehatan mental. Salah satu hal yang perlu diingat adalah, jika kamu tidak memiliki hal yang baik untuk dikatakan, sebaiknya jangan katakan apapun. Selain itu, jika kamu merasa media sosial telah mempengaruhi aspek kejiwaan, mungkin sudah saatnya kamu melakukan puasa media sosial untuk sementara waktu. Jika kita tidak menyaring informasi dengan baik, budaya cancel culture ini menjadikan kita untuk menjadi ‘hakim’ yang mengadili perbuatan seseorang di media sosial berdasarkan subjektivitas yang kita percaya adalah pandangan objektif.

Mungkin memang budaya ini memiliki dampak positif, membuka jalan kepada publik untuk mengetahui sebuah isu serta meningkatkan awareness dari publik. Namun seperti ucapan dari Angelica Ross, seorang pebisnis dan pembela hak transgender mengenai kekuatan dari media.

Media merupakan pedang bermata dua yang memiliki kekuatan untuk merubah hati dan pikiran seseorang melalui cerita yang benar sesuai dengan kekuatan untuk menggambarkan seseorang, atau sebuah masyarakat, dalam cahaya yang menyesatkan. Oleh karena itu, diperlukan literasi digital untuk memfilter mana yang harus disikapi dengan bijak dan mana yang tidak seharusnya kita serap.

4. Fenomena Cancel Culture Membuat Kita Belajar Etika Bermedia Sosial yang Bijak

Foto oleh Peter C dari Pexels

Foto oleh Peter C dari Pexels via https://www.pexels.com

Dari fenomena cancel culture kita bisa belajar bahwa tidak ada salahnya jika kita menyuarakan pendapat kita, apa yang kita percaya dan yakini benar. Tapi kita tidak bisa menggambarkan bahwa apa yang kita yakini sebagai sebuah objektivitas atau kebenaran yang hakiki.

Cancel culture merupakan budaya yang terkadang malah memberikan pandangan negatif dan malah memunculkan argumentum ad hominem yang menyerang pribadi dari objek yang terkena canceling. Jika kita memang harus menjadi ‘hakim’, setidaknya kita harus menjadi ‘hakim’ yang bisa menilai berdasarkan keadilan, bukan menjadi ‘hakim’ yang hanya ingin memuaskan ego dengan menjatuhkan nama baik seseorang supaya merasa diri sendiri lebih baik daripada korban dari cancel culture. 

Tetapi, kita selalu bisa belajar. Sebelum kita belajar, kita harus mengakui kesalahan kita, menerima ganjaran atas kesalahan kita, dan menghabiskan seluruh sisa hidup kita belajar kembali untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut. Sangat mudah bagi kita untuk melakukan cancel culture.

Tapi, yang susah adalah sama-sama berproses dan saling mengingatkan satu sama lain, saling menjaga satu sama lain agar kita tidak lagi melakukan kesalahan-kesalahan yang sudah pernah dilakukan bersama. Jadi, proses refleksi yang kolektif itu adalah alternatif yang lebih baik daripada cancel culture yang hanya berfokus kepada satu momen tertentu saja untuk mendemonisasi orang, alih-alih memberikan ruang diskursus yang lebih luas untuk memahami isu yang kompleks tersebut dan memberikan kesempatan untuk orang yang melakukan kesalahan, menebus kesalahannya dengan berperilaku lebih baik dari sebelumnya.

Itu yang lebih susah, dan itu yang sebetulnya harus kita lakukan bersama-sama secara reflektif. Dan yang terakhir, hilangkanlah mental mengikuti mayoritas atau mob mentality. Jadilah pribadi yang kritis dalam menilai suatu isu. Cari, amati, dan bentuklah argumentasi pribadi, bukan hanya mengikuti apa yang orang katakan

5. Cancel Culture, Ya atau Tidak?

Foto oleh cottonbro dari Pexels

Foto oleh cottonbro dari Pexels via https://www.pexels.com

Di penghujung hari, cancel culture juga menjadi hal yang bersifat pribadi dan kembali ke diri kita masing-masing. Kamu lah yang menentukan apakah seseorang pantas di-cancel atau tidak, setidaknya untuk standar moral dirimu sendiri dan nilai-nilai personal yang kamu anut.

Tapi rasanya semua orang akan sepakat kalau bijak dalam menggunakan media sosial adalah kunci utama sebelum kita meng-cancel atau di-cancel orang lain. Edukasi, tegur, ingatkan terlebih dahulu sebelum menyerukan cancel ke seseorang.

Terlepas dari itu semua, meraih popularitas bukanlah hal yang salah untuk dilakukan. Hanya saja kita, harus melihat kembali, jika seseorang mendapatkan popularitas dengan cara menggunakan hujatan, atau meraup sensasi tanpa prestasi, demikian hal tersebut tidaklah sepatutnya ditrendingkan oleh publik. Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk bisa meraih popularitas dengan cara yang lebih positif seperti dengan karya maupun prestasi.

Maka dari itu, kita pun sebagai netizen harus senantiasa bijak dalam bermedia sosial. Perbuatan atau unggahan buruk yang dilakukan oleh seseorang, hendaknya tidak selalu ditanggapi dengan komentar yang negatif pula.

Mulailah untuk berkomentar positif, sebab dunia maya ini tidak mengenal kalangan, setiap orang dapat dengan bebas memasukinya. Berilah contoh yang baik dan teladan, karena jejak digital akan selalu ada dan takkan terhapus oleh masa.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penyuka Seblak dan Baso Aci

CLOSE