Menjadi Pendengar yang Baik Tidak Sesimpel yang Kamu Bayangkan, Le!

Mendengarkan itu susah-susah simple men!

Semakin ke sini, apakah dirimu sadar mulai diandalkan banyak orang untuk jadi tempat curhatan mereka. Saking seringnya, sampai kadang menumpuklah rasa lelah setelah mendengarkan begitu banyak cerita. Terlebih, dalam cerita tersebut, kamu bukan protagonisnya. Namun, entah kenapa kamu tetap tergerak untuk ingin mendengarkan. Mungkin kamu bisa mulai berpikir lagi, apakah kamu sedang mengembangkan kemampuan untuk mendengar?

Perlu kamu ketahui sebelumnya kalau mendengarkan itu rada susah susah rumit. Sepertinya sih simpel ya cuma pasang kuping, lalu mendengarkan sampai gak sengaja merem.

Nope!

Karena jika kamu mulai memutuskan untuk jadi support system orang lain, tanyakan pada diri: “Mampukah aku menjadi pendengar yang baik?”

Advertisement

1. The Hearing

Hear hear! - Photo by Elena Buzmakova(borisova)

Hear hear! – Photo by Elena Buzmakova(borisova) via http://pexels.com

Sudah siapkah kamu untuk benar-benar mendengarkan? Sudah pahamkah kamu sejatinya mendengarkan itu seperti apa?

Hal yang pertama pastikan kupingmu benar-benar berfungsi, literally and figuratively. Kalo kamu budeg ya agak percuma.

Advertisement

Becanda…

Budeg nggak masalah, yang terpenting adalah kesediaanmu untuk mendengarkan. Artinya kamu benar-benar sudah siap pasang kuping. Karena nantinya kamu akan sering mendengar kata-kata yang mungkin nggak cocok di kupingmu. Seperti: umpatan, julidan, gosipan, kesedihan, kesenangan, kemarahan, kemuakan, dan lain-lain.

Secarah harafiah serap kata-kata dan pesan yang ia sampaikan, dan proseskan itu di dalam pikiranmu. Karena setelah kamu mendapat inputnya, ada beberapa hal yang perlu kamu pertimbangkan dalam menyikapi cerita mereka.

Advertisement

2. The Listening

The Listening - Photo by rawpixel.com

The Listening – Photo by rawpixel.com via http://pexels.com

Sikap yang baik adalah kita harus tahu dulu posisi kita di sini sebagai apa. Itu bisa dengan mudah terlihat dari pembawaan lawan bicaramu. Apakah kesannya dia ingin minta saran meski nggak ngomong, sekedar cerita, atau benar-benar hanya ingin didengarkan tanpa harus mendapat respon-respon aktif darimu.

Di satu kasus, ada yang butuh saran, lainnya ingin sekedar bercerita lalu ingin mengetahui responmu. Yang paling harus bisa kamu handle adalah ketika dia hanya butuh teman didengar. Dimana dia tidak butuh jawaban, tidak butuh saran, atau tidak butuh feedback lainnya.

Tapi… bukan berarti kamu juga akhirnya diam saja. Orang itu butuh kamu mendengarkan dan memahami persoalan mereka. So, sedikit respon afirmatif bisa menunjukkan kalau kamu sedang mencoba untuk memahami ceritanya.

Jika kasusnya seperti itu, beberapa hal setelah ini penting untuk kamu ingat.

3. No Judgement

The Label - Photo by antonio filigno

The Label – Photo by antonio filigno via http://pexels.com

Gak ada yang suka dihakimi, siapa pun, bahkan termasuk binatang. Tugasmu di sini adalah mendengarkan, terlepas dari apakah lawan bicara ingin diberi saran atau tidak. Menghakimi di sini dalam konteks menilai seseorang hanya dari sudut pandang subjektif.

Artinya salah fokus dimana kamu harusnya ada di posisi mencari tahu kebenaran ceritanya, bukan orangnya. Pendam saja di otakmu sebagai referensi bagaimana selanjutnya kamu akan menyikapi orang tersebut.

Namun bukan berarti kamu tidak bisa menyampaikan nilai yang kamu dapat tentang orang ini. Bisa dengan penyesuaian gaya bahasa, sehingga tidak terkesan menghakimi.

Jika suasananya tepat, guyonan bisa lebih efektif. Karena tujuan menilai adalah agar lawan bicara bisa menjadikan penilaianmu sebagai referensi atas dirinya sendiri, dia tidak akan merasa dituntut untuk menjadi orang yang seperti kamu mau.

“Lo tuh bocahnya demen banget gibah ya? Bisa gak sih gak ngomongin orang di belakang?” bisa disusun ulang menjadi: “Ngomongin orang kadang emang seru ya, kira-kira ada yang ngomongin gue gak ya? Ealaaah… ge er ngets!”

4. No Pity

The Help - Photo by lalesh aldarwish

The Help – Photo by lalesh aldarwish via http://pexels.com

Orang yang bercerita tentang segala problematika hidupnya kadang berharap simpati, kadang berharap dikasihani. Tapi pendengar yang baik harus bisa tegar juga. Aura positif diperlukan agar lawan bicara merasa layak hidup sebagai manusia, tidak merasa rendahan. Simpati bukan sekedar mengasihani, tapi membantu mereka untuk menjadi lebih baik. Di sini, kamu perlu tegas dengan pendirianmu agar tidak terpengaruh emosi mereka. 

Mereka tetap berhak atas emosi dan ekspresi mereka, tapi kamu pun berhak untuk tidak terpengaruh. Mereka marah, mereka nangis, sedangkan kamu harus tetap bisa tenang. Menyampaikan rasa iba bisa ditunjukkan dengan sikap ingin memahami apa yang sebenarnya mengganggu pikiran mereka. Dan lagi-lagi harus tetap menghindari penghakiman.

5. No Control

The Control

The Control via http://pexels.com

Lo socap men!? Kurang ajar banget namanya kalau orang lagi sesenggukan malah dilarang nangis. Ya mosok, orang lagi cerita dilarang marah, dilarang sedih, dilarang hepi, dilarang ketawa. Artinya si pendengar sudah mengintervensi hak berekspresi si pencerita.

Lalu, intervensi itu termasuk juga ngatur jalan hidup mereka. Padahal, mereka bukan ingin diatur tapi diberi tahu jalan mana yang sebaiknya mereka lewati. Responmu adalah referensi bagi mereka, kamu bisa share pengalamanmu, dengan tetap berpatokan pada pola pikir bahwa kondisi tiap-tiap kejadian yang dialami itu berbeda setiap orang. Mindset-mu adalah apa yang kamu alami, tidak benar selalu begitu.

6. The Hero… Not!

The Not-Superhero - Photo by Porapak Apichodilok

The Not-Superhero – Photo by Porapak Apichodilok via http://pexels.com

Di dalam diri kita memang ada jiwa heroik, yang beda di tiap orang hanya takarannya saja. Apakah kamu yakin bisa membantu orang yang mencari dukungan dari kamu? Sudahkah kamu mampu membantu dirimu sendiri?

Dan itu yang paling penting. Sebelum kamu memutuskan untuk menjadi penopang orang lain, kamu harus paham betul kapabilitas kamu. Apalagi jika kamu berhadapan dengan orang yang dominan emosinya. Lebih-lebihnya lagi mereka yang penuh suicidal thoughts. Salah-salah, malah kamu yang terpengaruh, dan cerita mereka jadi beban tersendiri buat kamu. Lalu terjadi konflik yang bisa bikin komunikasi jadi semakin berantakan.

You are entitled to yourself, and to yourself only.

Ketika kamu pun dirundung masalah, kamu punya hak untuk tidak melayani cerita temanmu. Tapi komunikasikan itu dengan baik, bukan dengan emosi dan keputusan sepihak. Jika tidak ada kompromi, kamu bisa pilih untuk berdiam diri bahkan hingga tidak mempedulikan dia. Tapi ada resikonya…

7. The Guilt

The Blamed - Photo by rawpixel.com

The Blamed – Photo by rawpixel.com via http://pexels.com

Jika ternyata kamu sudah mendengarkan segalanya dari temanmu, dan kamu sudah memberikan reaksi yang kampu pikir sangat baik tanpa penghakiman, tanpa kasihan, tanpa kontrol, tapi lawan bicaramu ndableg dan mengungkapkan kalo dia gak dapet jawabannya dari kamu, it's okay… 

Again, you're not a superhero.

Hindari ekspektasi bahwa kamu bisa nolongin semua orang. It can't happen… sorry. 

Karena beberapa orang emang sudah saklek gak mau ditolongin. Kamu tidak perlu menyalahkan diri sendiri ketika ternyata orang tersebut seperti itu. Kamu sudah melakukan yang kamu bisa, pilihan tetap ada di lawan bicaramu. Pilihanmu adalah tetap care atau bodo amat. Gak ada yang benar, gak ada yang salah.

Dan apa pun pilihanmu nantinya, DON'T BLAME YOURSELF!

Godspeed!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Petualang dan bandel kala remaja. Dengan bekal diploma, bekerja di sebuah media online digital pelopor hingga akhirnya lulus dengan meninggalkan warisan yang baik. Semakin mengenal diri sendiri, dan terus mengasah kemampuan untuk mendengarkan. Kini sedang dalam proses studi Psikologi.

CLOSE