Self Reward vs Impulsive Buying, Mana yang Menggambarkan Dirimu?

Lagi kalap di tanggal kembar? Awas kebablasan impulsive buying berkedok self-reward

Apakah kalian adalah seseorang yang sedang kalap kalau lagi ada di tanggal kembar? Misalnya 11.11 atau 12.12 di berbagai marketplace maupun pusat perbelanjaan. Atau bahkan kamu adalah tipe orang yang santai aja nih nunggu promo yang lebih gede atau nunggu lagi butuh aja deh. Memang banyak cara yang bisa kalian lakukan untuk me-refresh pikiran setelah seharian beraktivitas. Salah satunya dengan shopping atau berbelanja.

Sekarang ini, berbelanja tidak cuma dilakukan pada pusat perbelanjaan aja loh guys. Melalui e-commerce kesayangan kalian pastinya bisa dilakukan. Memang menyenangkan ya guys mantengin katalog-katalog, scrolling produk dan cek-cek promo buat beli barang. Wah pastinya auto kalap deh!

By the way sekarang ini muncul istilah-istilah yang kini sedang digandrungi oleh para millenial. Yap, self-reward! Kalian pasti sudah tidak asing dengan istilah ini. Istilah self-reward dikhususkan bagi seseorang yang mendasari perilaku berbelanja dengan membeli sesuatu baik barang, makanan ataupun minuman dan hal-hal lainnya.

Self reward diperuntukkan sebagai bentuk apresiasi diri atas segala hal yang telah dilakukan untuk memuaskan diri. Memang menghargai diri sendiri dan merayakan pencapaian diri dalam hal apapun adalah hal yang bagus. Namun, jangan sampai hal ini bisa merangsek kamu kedalam lingkaran impulsive buying!

Seringkali, orang-orang membeli barang berlebihan dengan kedok self-reward. Mereka semata-mata terbius akan hasrat untuk membeli sesuatu dalam jumlah yang besar. Boleh sih, membeli barang apapun dengan dalih self-reward. Tetapi jika ini bisa berlanjut maka seseorang bisa saja terjerumus dalam perilaku impulsive buying sob. Mereka juga tidak peduli seberapa besar budget yang dia keluarkan demi menyenangkan hati sesaat. Akhirnya setelah barang sudah dibeli, penyesalan pun datang menghampiri. Barang-barang dia beli, langsung kalap gapake basi-basi. Berkedok banyaknya promo di marketplace, serbuan cashback bahkan penggunaan kode referral membuat kalian kalap habis-habisan!

Lalu, kira-kira apakah kalian melakukan self-reward di jalan yang benar ataupun malah self-reward kalian membawa ke arah impulsive buying? Wah, hati-hati nih. Nyatanya serupa tapi tak sama loh. Tidak mengherankan jika memang terkadang sulit untuk membedakan mana yang murni self-reward atau cuma mengejar gengsi dan kesenangan sesaat. Memang sama-sama bentuknya untuk mengapresiasi diri sendiri tetapi setidaknya ada sedikit perbedaan diantara keduanya.

Kira-kira dari kedua perilaku ini, mana yang sekiranya menggambarkan dirimu? Apakah kamu tergolong orang yang self-reward atau impulsive buying? Atau impulsive buying berkedok self-reward? Yuk mari kita buktikan melalui perbedaan ini. Let’s check this out!

1. Kontrol Diri Terhadap Godaan

Photo by Artem Beliaikin from Pexels

Photo by Artem Beliaikin from Pexels via https://www.pexels.com

Salah satu pemicu terbesar ketika seseorang melakukan pembelian secara impulsif adalah adanya godaan dari strategi pemasaran yang digencarkan kepada konsumen. Mereka biasanya menerapkan beberapa opsi yang biasanya ditawarkan kepada si pembeli atau usernya. Misalnya adanya promo, diskon, kode referral, voucher yang sejatinya bisa mendorong si konsumen untuk melakukan pembelian secara impulsif.

Seseorang yang melakukan pembelian secara impulsive buying akan merasa tergiur dengan adanya promo dan cashback. Tanpa berpikir panjang mereka langsung membelinya. Checkout-checkout terus sampai keranjangnya penuh tumplek blek. Yang lebih mengagetkan lagi adalah mereka melakukan pembelian bahkan tanpa melihat harga barang yang dia beli.

Mereka tidak peduli berapapun jumlahnya asalkan dia senang dan puas. Inilah bentuk impulsive buying yang seringkali dirasakan oleh shopaholic (gila belanja) ketika berbelanja.

Sedangkan perilaku self-reward biasanya mereka melakukannya dengan santai. Mereka mengerti bahwa membeli sebuah barang tidak harus dilakukan pada saat itu juga. Mereka berpikiran bahwa siapa tahu dia akan melakukan pembelian kalau diskonnya lagi besar-besarnya daripada ini. Bisa jadi juga mereka memutuskan untuk membeli barang sejenis tapi di toko yang berbeda.

Artinya mereka masih bisa mempertimbangkan mana nih barang yang sekiranya masih murah buat dibeli. Mereka juga melakukan benchmark atau perbandingan terhadap barang-barang sejenis mulai dari harga, produknya, sudah star seller apa belum, kecepatan respon penjual dan lain-lain.

Perilaku self-reward ini mengindikasikan bahwa masih terdapat adanya kontrol diri karena mereka tidak dengan gampangnya untuk tergiur promo-promo di online shop, mall bahkan di marketplace ketika tanggal kembar. Jadi, pikir-pikir lagi ya sebelum melakukan pembelian apapun.

2. Perencanaan Ketika Melakukan Pembelian

Photo by Andrea Piacquadio from Pexels

Photo by Andrea Piacquadio from Pexels via https://www.pexels.com

Saat melakukan self reward pastinya kalian akan tetap mempertimbangkan beberapa hal. Bahkan dari hal kecil sekalipun. Mulai dari barang yang akan dia beli, berapa harga barangnya. Kalau pesan di e-commerce belum lagi berapa ongkirnya. Berapa total pembeliannya. Kalian punya uang berapa.

Nah disini, perilaku self-reward masih memiliki pertimbangan berupa perencanaan yang mendetail. Mereka juga melakukan pembelian atas dasar kalau aku beli sesuatu pastinya bakal terpakai. Selain berbelanja, perilaku self-reward ini juga biasanya diwujudkan dengan pembelian lainnya seperti makanan, minuman, dan lain-lain. Disini mereka pun masih memperhitungkan berapa besar anggaran atau budget yang dikeluarkan.

Sedangkan impulsive buying, mereka tidak melakukan perencanaan sebelum membeli sesuatu. Perilaku ini timbul secara tiba-tiba dan tidak diduga-duga tanpa adanya rencana. Ketika ada notifikasi promo, langsung tancap gas. Ketika ada barang yang lucu dikit, pengen beli. Ketika ada gratis ongkir langsung checkout tanpa berpikir panjang. Awal-awal merasanya memang boleh-boleh saja. Tetapi kalau ini berlanjut terus bisa-bisa uang yang kita sisihkan menjadi boros karena perilaku impulsive buying.

Impulsive buying berubah menjadi sebuah kebiasaan yang awalnya hanya semata-mata karena lapar mata dan keisengan belaka. Tabungan keluar terus untuk membeli hal-hal yang sebenarnya tidak diperlukan.

3. Kontrol Finansial

Photo by Karolina Grabowska from Pexels

Photo by Karolina Grabowska from Pexels via https://www.pexels.com

Perbedaan menonjol dari perilaku self-reward dan impulsive buying adalah kondisi keuangan kita. Jika perilaku self-reward, mereka melakukan belanja atas dasar butuh dan perlu sehingga uang yang kita keluarkan sebanding dengan kebutuhan yang kita perlukan. Nominal pengeluaran juga tidak menjadi berantakan dan acak-acakan karena sebelumnya mereka sudah menentukan barang apa yang mau dibeli. Adanya promo dan cashback bagi seseorang yang melakukan self-reward adalah bonus bukan sebagai tuntutan. Mereka jadi lebih hemat dan jauh dari adanya pemborosan.

Seseorang yang melakukan self-reward sudah tahu dan ada niatan untuk membeli sesuatu karena benar-benar membutuhkan barang itu. Perilaku self-reward juga tidak melulu harus diwujudkan dalam bentuk barang. Bahkan bisa diaplikasikan dalam alternatif yang lainnya. Seseorang melakukan self-reward sebelumnya telah melakukan pertimbangan apa saja barang-barang yang ingin dibeli.

Mereka list dan membelanjakan sesuai dengan perencanaan yang telah direncanakan. Mereka tidak bisa segampang itu untuk beralih membeli barang diluar yang telah direncanakan.

Sedangkan perilaku impulsive buying justru sebaliknya. Mereka memutarbalikkan perilaku impulsive buying dengan kedok self-reward. Yang mana sejatinya dua definisi ini berbeda. Seseorang yang melakukan impulsive buying mereka tidak memiliki anggaran yang cukup sehingga terkesan memaksakan diri. Akhirnya mereka melakukan jalan lain dengan cara yang instan yaitu menggunakan paylater. Solusi yang paling mudah namun diakhirnya lebih sulit.

Mereka belum menyadari kalau tagihan paylater akan membengkak diakhir bulan. Mereka mengejar kesenangan sesaat karena mereka sadar bahwa perilaku impulsif membuat seseorang susah mengontrol finansial kaum elit alias ekonomi sulit. Jatuhnya maksa. Selain itu, impulsive buying dijadikan sebagai jalan penghilang stress sehingga muncul adanya window shopping. Scrolling-scrolling tau-tau terjebak dalam situasi berbelanja secara impulsif.

4. Batasan dan Kendali

Photo by Gustavo Fring from Pexels

Photo by Gustavo Fring from Pexels via https://www.pexels.com

Perbedaan yang tipis antara perilaku impulsive buying dengan self-reward terletak pada batasan ketika melakukan pembelian. Melakukan self-reward berarti kita punya batasan akan barang-barang yang nantinya kita beli. Pengeluaran yang kita keluarkan untuk membeli barang pastinya terkontrol karena sebelumnya kita melakukan perencanaan terlebih dahulu.

Melakukan self-reward yang diwujudkan dalam pembelian barang berarti kita melakukannya dengan sadar bahwa kita membeli suatu barang atas dasar bahwa kita butuh barang tersebut. Misalnya ketika kita beli charger karena charger kita rusak sebelumnya berarti kita butuh untuk beli kan? Perilaku self-reward juga mencerminkan bahwa diri kita masih memiliki batasan.

Kalau misalnya kita lagi jenuh, bosen, maka alternatif lainnya bisa kita dapatkan sebagai bentuk kepuasan. Entah itu nonton netflix, makan-makanan enak. Tapi mereka masih mempertimbangkan berapa budgetnya.

Sedangkan perilaku impulsive buying mereka tidak ada batasan dalam dirinya. Lihat tren sekarang ini, mereka dikit-dikit jadi FOMO. Ada foto ootd influencer jadinya mereka ikut-ikutan buat gaya-gayaan juga. Beli baju, ini dan itu mereka mengejar gengsi dan kesenangan. Mereka membeli barang tanpa sadar untuk jangka panjangnya tanpa memperhatikan jangka pendeknya.

Dengan tidak adanya batasan dalam diri pelaku impulsive buying menandakan bahwa mereka gampang untuk tergiur akan berbagai kesempatan dalam berbelanja. Seperti adanya promo, cashback untuk mendapatkan harga yang jauh lebih murah daripada harga normal. Bahkan tidak adanya batasan ketika seseorang melakukan impulsive buying juga menjadi pemicu untuk mereka melakukan pembelian barang dalam jumlah yang banyak.

Mereka terbius membeli jumlah yang banyak agar jatuhnya lebih murah. Dengan begini, mereka jadi bisa terus-terusan melakukan pembelian secara berulang. Tanpa memperhatikan batasan anggaran dan kontrol diri sehingga mereka melakukan impulsive buying yang tidak bisa dikendalikan.

5. Perilaku Pasca Pembelian

Photo by cottonbro from Pexels

Photo by cottonbro from Pexels via https://www.pexels.com

Ketika barang sudah dibayar dan sudah berada di tangan pemiliknya, berarti mereka sudah berada pada tahap pasca pembelian. Kira-kira barang yang dia beli akan dipakai atau tidak ya? Di sinilah perbedaan selanjutnya antara self-reward dengan impulsive buying.

Perbedaannya terletak pada perilaku pasca pembeliannya. Ketika mereka melakukan pembelian secara impulsif atau impulsive buying berarti dia hanya sekedar hasrat akan kesenangan sesaat saja. Mereka terpicu atas banyaknya promoan, buy one get one, dan banyak strategi yang digencarkan, tidak tahu apakah memang dia membutuhkan barang tersebut atau tidak.

Mereka terjebak atas tipu daya strategi pemasaran. Sehingga mereka seringkali menyesal karena telah membeli barang tersebut. Hanya karena terhasut banyak promo, mereka menjadi kalap dan emosinya tidak terkontrol untuk segera membeli barang tersebut. Barang jadi menumpuk tidak terpakai dan dibiarkan begitu saja. Akhirnya mubazir dan menyesal karena hanya senang di awal aja.

Sedangkan perilaku self-reward memang dia membutuhkan barang tersebut. Ingat, mereka beli berapapun jumlahnya ataupun item barangnya karena sudah terekam kalau aku memang pengen barang itu. Bukan mengejar keinginan dan kesenangan. Mereka minat karena atas dasar kebutuhan bukan sekedar gengsi aja. Saat mereka membeli, mereka lebih berhati-hati dalam memutuskan apakah harganya pas atau kemahalan? Sehingga ekspektasi mereka tidak seburuk yang dibayangkan sebelumnya. Ketika barangnya datang, mereka tidak akan menyesal. Ketika barangnya datang pastinya akan terpakai. Jadinya tidak terbuang sia-sia.

Tidak selamanya self-reward diwujudkan dalam bentuk barang. Kalian coba alihkan ke kegiatan lainnya sebagai alternatif. Mulai sekarang beli seperlunya aja daripada mubazir dan tidak terpakai. Hindari penggunaan paylater kalau memang benar-benar situasinya tidak genting dan sulit. Membeli sesuai dengan kebutuhan akan membuat kondisi keuanganmu terasa jauh lebih aman

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penyuka Seblak dan Baso Aci