Selalu Pura-Pura Baik-Baik Saja Tak Akan Membuatmu Kuat. Justru Akan Menghancurkanmu dalam Senyap

Alasan Tidak Perlu Selalu Pura-Pura Baik-Baik Saja

Hidup seringkali tidak tertebak. Hari ini kita tertawa bahagia, bukan mustahil esok hari kita sedih dan merana. Hari ini segalanya terasa begitu lancar, esok hari bukan tidak mungkin semua melenceng dari yang kita harapkan. Di momen ini, rasanya semua begitu sulit. Mungkin ada beberapa waktu di mana kamu blank, tak tahu apa yang harus dilakukan terlebih dahulu.

Di momen seperti ini pun, kadang kamu enggan menunjukkan perasaanmu. Mungkin karena tak ingin merepotkan orang, atau bisa saja sekadar tak ingin terlihat lemah dan tak berdaya. Lantas kamu berusaha tegar dan menutupi semuanya dengan senyum dan tawa. Padahal, selalu berpura-pura kuat tidak akan membuatmu menjadi sosok yang benar-benar kuat. Ada lubang menganga yang kamu samarkan, dan bisa jadi mengisapmu hingga lenyap bila dibiarkan.

1. Memilih untuk selalu berpura-pura baik-baik saja akan membuatmu kesulitan menerima kenyataan. Sebab terbiasa mengingkari kenyataan

tak perlu mengingkari kenyataan via pixabay.com

Dalam pengakuan “Iya, aku sakit hati. Aku nggak baik-baik saja”, tersimpan sebuah penerimaan. Kamu mengakui bahwa kamu juga manusia biasa yang tidak bisa melakukan segalanya dengan sempurna. Kamu menerima kenyataan bahwa dunia terkadang memang kejam dan tak berpihak. Tak apa, toh kita diberi daya untuk mengubah keadaan, meski pelan-pelan. Namun, dengan berpura-pura baik-baik saja, kamu sebenarnya sedang mengingkari kenyataan.

2. Berpura-pura baik-baik saja akan membuatmu kehilangan kepekaan terhadap diri sendiri. Sementara memilah emosi adalah salah satu cara mengenali diri

kenali emosi via pixabay.com

Untuk bisa memaksimalkan potensi, mengenali diri sendiri adalah kunci. Mulai dari memahami kelemahan dan kelebihan diri sendiri, apa yang kita senangi, dan apa yang kita benci. Dengan memilah-memilah emosi ini, kita akan bisa lebih mengenali diri sendiri. Bukankah dengan mengenal baik akan lebih mudah untuk mengarahkan? Namun terbiasa menyingkirkan kesedihan dan kemarahan, tentunya akan mengurangi kepekaan terhadap diri sendiri. Yah, buat apa mengerti kalau pada akhirnya tetap tidak peduli?

3. Lama kelamaan, kamu akan menggampangkan dirimu sendiri. Padahal untuk bahagia kita harus menghargai diri sendiri

menggampangkan diri sendiri via pixabay.com

Dalam interaksi dengan orang lain, tak jarang kita merasa tersinggung dengan ucapan orang lain. Namun, kita memilih untuk diam dan berpikir “Ah, mungkin aku aja yang lagi baper”. Selanjutnya, bisa saja kamu memilih memendam ketidaksetujuan dengan alasan “Ah, nggak apa-apa aku yang rugi sedikit. Yang penting yang lain nggak rugi dan bahagia”. Tanpa sadar, kamu jadi menggampangkan dan mengabaikan dirimu sendiri. Padahal untuk bisa bahagia, bukankah tahap paling pertama itu menghargai dirimu sendiri?

4. Sulit mengakui kondisimu berarti kamu memiliki trust issue. Padahal kamu tidak perlu sendirian terus di dunia ini

trust issuei via pixabay.com

Ada kalanya emosimu menggumpal di dada. Begitu penuh dan begah, serasa ingin meledak. Mungkin menangis dan curhat ke orang lain tak akan membuat masalahmu selesai, tetapi, setidaknya akan membuat hatimu lebih ringan. Namun, kamu selalu enggan mengungkapkan perasaan, sebab kamu takut orang memandang rendah atau justru menjudge macam-macam di belakang. Bila berlarut-larut, hal ini akan menjurus pada trust issue yang membuatmu sulit berhubungan dengan orang lain.

5. Setiap persoalan harus diakui dulu baru bisa diselesaikan. Mengabaikannya akan membuatmu stuck di tempat

stuck di tempat via pixabay.com

Setiap persoalan menuntut untuk diakui keberadaannya sebelum diselesaikan. Bagaimana kita bisa mulai mencari solusi, bila persoalannya saja tidak kita akui? Berawal dari pengakuan atas masalah dan bahwa hatimu tidak baik-baik saja, kamu bisa mulai berpikir untuk menemukan solusi atas permasalahan tersebut. Menekannya dan berpura-pura segalanya sempurna hanya akan menumpuk masalah. Dan kamu pun stuck di tempat yang sama, tanpa menemukan solusinya.

6. Lagipula, emosi yang dipendam juga berbahaya untuk kesehatan mental. Depresi bisa mengintaimu kapan saja

depresi mengintai via pixabay.com

Manusia dibekali oleh beragam emosi. Bukan hanya senang dan bahagia saja, melainkan juga sedih, kecewa, dan juga marah. Hanya menampilkan salah satunya dan menekan yang lain akan membuatmu tertekan. Lagipula, berpura-pura baik-baik saja saat kamu ingin menangis meraung-raung rasanya, bukankah itu melelahkan? Tekanan yang menumpuk setiap harinya, bisa memicu gangguan kecemasan dan depresi. Pun depresi yang tetap disembunyikan di balik kesan “aku baik-baik saja”, akan sangat berbahaya bagi kesehatan.

7. Dengan mengakui ada yang salah dengan harimu, kamu sudah selangkah menuju evaluasi. Kamu bisa berkembang dari situ

evaluasi diri via pixabay.com

Ketika sesuatu tidak berjalan sesuai rencana, mungkin ada penyebab spesifiknya. Mungkin persiapan yang kurang, atau memang ada persoalan yang salah penanganan. Sama seperti dirimu sendiri. Ketika kamu mengakui bahwa kamu tidak baik-baik saja, kamu sudah setengah jalan menyembuhkan diri sendiri. Kamu akan mulai bertanya, kenapa kamu bisa begini, dan apa yang bisa kamu lakukan untuk memperbaikinya. Dai sini, kita bisa berkembang menjadi manusia yang lebih baik setiap hari.

Tak ada salahnya mengakui bahwa kita tidak baik-baik saja. Tidak ada salahnya juga sesekali menangis dan melepaskan segala emosi yang menyesakkan dada. Menangis saat ada masalah tidak otomatis membuatmu jadi orang yang lemah dan tak berdaya. Menangis dan mengungkapkan kenyataan bahwa kamu tersakiti dan tidak baik-baik saja mungkin memang tidak menyelesaikan persoalan. Namun, setidaknya kamu sudah setengah jalan menuju penyelesaiannya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Pecinta harapan palsu, yang berharap bisa ketemu kamu.

Editor

Penikmat kopi dan aktivis imajinasi