Jangan Pernah Tertunduk ketika Dipandang Sebelah Mata, Kita Semua Punya Talenta! #HipweeJurnal

Guru: Rahayu, kenapa nilai matematika kamu hanya dapat 5 seperti ini? Kamu ini anak guru, minimal kamu itu dapat nilai di atas 7.

Saya: Iya Pak…

Advertisement

Sejak kapan kadar otak seorang anak terhubung dengan profesi orang tua? Saya selalu mendapat kalimat tanya seperti itu ketika nilai akademis saya di bawah rata-rata. Tidak hanya dari guru, tapi juga dari teman-teman sebaya saya yang selalu mencap saya sebagai “anak guru harus pintar dan menjadi panutan”. Saya memang tumbuh besar di tengah keluarga PNS. Kedua orang tua saya berprofesi sebagai guru Sekolah Dasar, dan saya bangga akan hal itu. Tapi kenapa sebagian orang di keliling saya selalu memberikan stereotip dan seakan menuntut saya menjadi sosok yang ada dalam ekspektasi mereka? Nah, di #HipweeJurnal kali ini saya akan bercerita sedikit tentang bagaimana saya mengemban tugas menjadi anak guru yang tidak mau menggurui siapapun.

Saya ialah anak ketiga dari tiga bersaudara yang di mana kedua kakak perempuan saya sudah menikah. Sejak dulu kami bertiga bersekolah di satu tempat yang sama, setidaknya kami sama-sama lulus dari satu Sekolah Dasar di wilayah utara Jakarta. Sejak kelas satu hingga enam SD, saya memang tidak pernah sekalipun diajari oleh orang tua saya. Alasannya cuma satu. Almarhum ayah saya tidak mau dibilang pilih kasih dalam memberikan nilai kepada anaknya karena beliau menjadi wali kelas saya. Saya menerima dengan senang hati dan itu membuat saya jadi bisa leluasa bermain di kelas. Sejak kecil saya memang dikenal tidak pernah serius dalam belajar dan maunya hanya main saja. Hingga pada suatu ketika saya mendapat nilai jelek, teman-teman saya pun mulai mempertanyakan “elo beneran anak guru?”. Sejak saat itulah saya bertekad untuk membuktikan kalau kadar otak saya memang tidak bisa disamakan dengan kedua orang tua saya, tapi saya tetap bisa menjadi seseorang yang akan mereka banggakan nantinya.

Petakilan, selalu remedial pelajaran matematika, tapi tak pernah absen mendapat nilai A untuk pelajaran olahraga

Saya tidak tahu apakah hal ini dirasakan juga oleh orang lain atau tidak. Sejak duduk di Sekolah Dasar hingga SMA, saya merasa selalu dituntut untuk mendapat nilai bagus dalam pelajaran akademis. Lalu bagaimana dengan mereka yang memang lebih pandai di bidang non akademis? Saya akui, pelajaran matematika ialah salah satu hal yang saya benci sejak kecil. Entah kenapa kinerja otak saya langsung menurun ketika melihat jajaran rumus aljabar atau logaritma. Bahkan ketika saya kuliah pun, saya hanya menyalin soal ke dalam lembar jawaban untuk ujian mata kuliah Pengantar Statistik Sosial yang membuat saya harus mengulangnya di semester akhir. Saya memang lemah terhadap hitung-menghitung, oleh karena itu lah saya memiliki prinsip tidak ingin menjadi seorang akuntan nantinya.

Advertisement

Sejak kecil, saya memang dikenal tidak bisa diam di kelas. Saya selalu memilih bangku yang ada di pojokan bagian belakang. Alasannya sih cuma satu, yakni saya ingin berada jauh dari pandangan guru dari depan sana. Ketika musim ujian tiba, saya akan panik seperti kebakaran jenggot karena saya tidak bisa menghafal berbagai rumus dalam pelajaran hitung-menghitung. Oleh karena itu lah saya tidak pernah absen dari daftar peserta remedial matematika. Ketika banyak teman dan beberapa guru memandang saya sebelah mata karena saya tidak pandai dalam satu pelajaran itu, saya membuktikan kalau saya bisa jadi terdepan di pelajaran lain.

Yup, saya sangat menyukai olahraga, terutama bola basket. Dari kelas satu SD hingga tiga SMA, saya selalu mendapat nilai bagus di mata pelajaran ini. Nama saya juga selalu disorak-sorai ketika memasuki lapangan untuk bertanding basket. Saya boleh bangga dengan hal ini ‘kan? Saya memang tidak pernah disukai oleh guru matematika, tapi saya selalu dijadikan panutan oleh guru olahraga. Jadi, tidak perlu berkecil hati kalau kamu tidak pandai menghitung karena masih banyak pelajaran lain yang bisa mengembangkan potensi dalam diri kamu.

Dapat nilai jelek dicap buruk, tapi ketika mendapat nilai bagus malah dikira KKN. Maunya opo toh?

Advertisement

Teman: Kok elo tumben sih dapat nilai matematika 8? Ah, paling lo minta bokap elo ya buat naikin nilai lo? Anak guru sih, enak…

Saya: pasang muka datar sambil memicingkan mata menatapnya malas

Dapat nilai jelek salah, sekalinya berhasil dapat nilai bagus juga salah, serba salah aja semuanya. Kadang saya suka bingung sama pemikiran-pemikiran yang seperti itu. Lagi-lagi  kemampuan otak saya dihubungkan dengan profesi orangtua saya.

Saya memang merupakan anak yang tambeng, susah dibilangin dan kadang terlalu cuek. Sifat saya yang itu ternyata membantu saya ketika saya mendapat pertanyaan menyebalkan seperti di atas. Saya memang anak guru, tidak bisa diam, bandel di kelas, tapi saya masih tahu batasan dan punya keinginan untuk membuktikan kalau saya mampu tidak melulu terjebak di angka 5. Setidaknya saya masih berusaha untuk membuat orangtua saya tersenyum ketika melihat hasil nilai ujian saya. Itu sudah jauh lebih dari cukup.

Menemukan potensi diri di kala semua orang sibuk berlomba-lomba ingin masuk jurusan IPA

Memasuki masa putih abu-abu, saya semakin tahu hal apa yang benar-benar saya inginkan. Masih dengan persoalan yang sama, otak saya jadi lebih bekerja keras karena bertemu dengan pelajaran kimia dan fisika. Saya pernah memiliki pemikiran “ngapain sih buah kelapa jatuh aja pake dihitung segala sama rumus? Kalau udah jatuh ya udah jatuh aja.” Mungkin hal itu yang menjadikan saya tidak disukai anak-anak IPA karena saya berprinsip biarkan alam dengan segala teka-tekinya, nggak usah repot-repot segala hitung kelapa jatuh ke tanah.

Ketika kenaikan kelas tiba, wali kelas saya memasukan saya ke jurusan IPA karena nilai rapor saya memenuhi syarat. Saya pun langsung memohon pada beliau untuk mengganti jurusan saya ke IPS. Membayangkan setiap hari membawa buku paket tebal dan menghafal rumus saja sudah membuat saya capek, apalagi saya harus melakukannya. Tapi bukan itu alasan utamanya, saya ingin masuk IPS karena saya mulai tahu apa yang saya mau. Saya menyukai hafalan tapi bukan hitung-hitungan, saya suka sejarah oleh sebab itulah saya susah move on, dan saya ingin menjadi seorang penulis nantinya. Akhirnya saya berhasil masuk IPS dan melepas jurusan IPA di mana semua orang ingin masuk ke sana. Saya pun mulai suka membuat puisi secara diam-diam, membaca novel, dan saya semakin bertekad ingin menjadi penulis atau jurnalis di kemudian hari.

Lulus kuliah tepat waktu dan dapat pekerjaan sesuai keinginan. Saya pun bisa mematahkan pandangan orang lain yang mencap saya sebagai anak guru yang tidak pandai apa-apa

empat tahun lalu ketika saya lulus dapat gelar sarjana via web.facebook.com

Kedua orangtua saya sangat membantu dalam memilih apa yang saya mau. Saya yang sangat gemar menulis dan ingin menjadi seorang jurnalis akhirnya memilih kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Swasta dengan mengambil jurusan jurnalistik. Awalnya saya sempat diragukan bisa lulus tepat waktu. Tapi sekali lagi, saya bisa membuktikan kalau saya mampu mendapat gelar sarjana dalam kurun waktu 4 tahun dengan IP yang bisa dibilang tidak terlalu jelek walau di bawah nilai cumlaude.

Saya memang sempat tidak percaya diri dan akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan salah satu organisasi, yakni media kampus independen. Di sana saya mendapat banyak pelajaran dan kepercayaan diri bahwa memang semua orang bisa sukses dengan jalannya masing-masing. Saya menekuni bidang yang saya sukai dan saya mengesampingkan penilaian buruk orang lain. Setidaknya apa yang saya sangat inginkan dari bangku SMA untuk menjadi seorang penulis bisa saya wujudkan. Hal tersebut juga sebagai pembuktian kepada mereka kalau saya ialah seorang anak guru yang memang dulunya tidak pandai ilmu matematika, tapi bisa konsisten mewujudkan cita-cita yang saya inginkan.

Hidup bukanlah sebuah permainan di mana semangat kamu bisa terpatahkan hanya karena pandangan orang lain. Social judgemental yang telah membudaya di negara tercinta kita ini memang tidak bisa dihindari. Terlepas dari apa profesi orangtua kamu, dari mana kamu berasal, tetaplah fokus dengan apa yang kamu inginkan. Ketika banyak orang memandang kamu dengan sebelah mata, tunjukan pada mereka kalau kamu bisa membuat orang lain bangga. Terutama kedua orang tuamu yang telah percaya padamu sepenuh raga.

Semoga sepenggal cerita masa lalu saya di ini bisa diambil sisi baiknya. Salam semangat buat kamu yang sedang berjuang untuk masa depan!

#HipweeJurnal adalah ruang dari para penulis Hipwee kesayanganmu untuk berbagi opini, pengalaman, serta kisah pribadinya yang seru dan mungkin kamu perlu tahu 

Baca tulisan #HipweeJurnal dari penulis lainnya di sini!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Biarkan hasil yang berbicara bukan cuma omongan semata.

CLOSE