Kisah Mereka, 5 Dokter dan Tenaga Kesehatan Indonesia yang Bekerja di Daerah Konflik dan Bencana

*Artikel ini adalah partnership Hipwee dengan Medecins Sans Frontiers/Dokter Lintas Batas (MSF ), sebuah organisasi kemanusiaan medis internasional independen yang memberikan bantuan kesehatan bagi masyarakat yang terkena dampak wabah penyakit, konflik bersenjata,  orang-orang yang tidak mendapatkan layanan kesehatan serta korban bencana alam.

Berita-berita tentang peperangan dan wabah penyakit yang melanda seisi dunia belakangan ini sukses membuatmu tidak tenang. Setiap nonton TV atau baca surat kabar, kamu mengetahui bahwa di belahan lain bumi yang sedang kamu tinggali, ada orang-orang yang baru saja kehilangan keluarga dan masa depan. Sementara kamu masih sempat mengeluh dengan segala kekurangan, padahal saat malam tidurmu aman dan nyaman.

Memang tidak mudah meninggalkan kenyamanan untuk berjuang demi hidup orang lain,  apalagi ketika risiko bahayanya tinggi sekali. Tapi 5 field worker di bidang kesehatan ini berani mendobrak batas dengan mendedikasikan diri untuk membantu masyarakat di daerah konflik dan bencana di berbagai negara. Kisah mereka akan membuatmu kembali percaya, masih banyak orang baik di dunia.

1. Husni Mubarak, dokter dari Makassar yang memberikan pelayanan medis bagi masyarakat di daerah krisis dari Pakistan sampai pedalaman Afrika

Husni Mubarak

Husni Mubarak via msf-seasia.org

Saat ikut turun langsung dalam penanganan korban tsunami Aceh di tahun 2009, Husni berkenalan dengan Dokter Lintas Batas, kemudian memutuskan untuk bergabung sebagai staf lapangan. Berbekal ilmu kedokteran dari Universitas Hasanuddin – Makassar, Husni Mubarak telah melanglang buana ke berbagai negara yang dilanda krisis. Bersama MSF, ia telah jelajahi mulai dari Malawi, Sierra Leone, Pakistan, dan juga beberapa daerah di tanah air seperti Aceh, Makassar, dan Buton sebagai dokter PTT ataupun relawan dengan organisasi lain. Kini, dia bertugas di Sudan Selatan, sebuah negara muda yang tengah mengalami konflik dan menyebabkan penderitaan bagi penduduknya.

Dulunya, Husni tidak pernah membayangkan akan tinggal di tempat yang terisolasi dari peradaban dan bekerja di kemah para pengungsi. Husni bercerita, selama di Sudan Selatan hal yang paling menantang baginya adalah membagi waktu. Pasien berdatangan siang dan malam, ketika situasi damai maupun konflik, di musim hujan maupun kemarau. Karenanya sebagai dokter, ia harus siap sedia. Perihal kesehatan pasien lebih utama daripada keinginan pribadi untuk menikmati waktunya sendiri.

Di tempat seperti itu, bagi Husni, sebuah senyuman hangat dan ucapan terima kasih adalah bayaran tertinggi yang ia dapat dari pasien. Pengalamannya selama bertugas membuatnya belajar untuk lebih menghargai hidup, serta mensyukuri setiap kebahagiaan kecil yang sering luput dari perhatiannya.

“Gemerlap kota bukanlah tempat bagi dokter muda. Ia tak menawarkan masa depan. Masa depan kami tertimbun di redup kota-kota kecil, desa-desa pelosok dan pulau-pulau terluar negeri ini.” – Husni Mubarak

2. Rangi Wirantika Sudrajat, melampaui rasa takut menjejakkan kaki di Pakistan dan Yaman demi sebuah cita-cita mulia

Rangi Wirantika Sudrajat

Rangi Wirantika Sudrajat

Siapa yang tidak takut pindah ke tempat baru yang penuh dengan ketidakpastian? Apalagi tempat tersebut dikenal bukan dengan keindahan alamnya, tapi karena sering diberitakan dengan konflik berkepanjangan. Kebanyakan orang mungkin akan berpikir ulang. Kebanyakan orangtua pun wajar jika langsung melarang.

Namun panggilan hati Rangi Wirantika Sudrajat justru menuntunnya untuk menjelajahi tempat-tempat jauh lagi. Sebagai dokter lulusan Universitas Trisakti, Rani mengawali tugas dengan MSF di Pakistan dan terjun dalam penanganan Neonatal Care Unit dan Pediatric Unit atau unit untuk bayi baru lahir dan anak-anak. Setelah penugasan di Pakistan, Rangi melanjutkan tugasnya di Yaman. Di sana, ia mengelola emergency room untuk pasien darurat, serta memberikan pelatihan dan pendidikan kesehatan bagi masyarakat sekitar. Rangi adalah sosok dokter muda yang pantang menyerah, ia mampu merefleksikan semangat berjuang untuk kemanusiaan.

Rangi bertugas di tempat yang tidak terjangkau oleh orang kebanyakan. Namun pesan sang ibu kepada Rangi berikut ini menjadi penyemangat dalam setiap langkahnya: 

“You have made choices that are very different from mine, and it’s scary. Any mother who watches her child do something she hasn’t done herself, it’s scary. But that doesn’t mean I haven’t been proud of you. And the more I see you in this world, in this work, the prouder I am.”

3. Setelah melewati wabah kolera dan perang di Sudan Selatan, Ivan Sinaga mengerti bahwa kenyamanan bukan hal yang bisa semua orang dapatkan

Ivan Sinaga

Ivan Sinaga

Tersesat di jalan yang benar. Ungkapan itu pas untuk menggambarkan kenapa Ivan, lulusan Hubungan Internasional Universitas Parahyangan, memutuskan untuk mendalami ilmu manajemen air dan sanitasi di konteks kedaruratan. Pendaki gunung yang gemar fotografi ini mulai merambah dunia pekerja kemanusiaan sejak gempa Yogya bersama Federasi Palang Merah Internasional (IFRC). Ivan sudah malang melintang bekerja sebagai water sanitation specialist di berbagai organisasi di dalam maupun luar negeri.

Ivan bergabung dengan tim Dokter Lintas Batas karena ia merasa latar belakang akademisnya mendukung apa yang akan ia kerjakan di lapangan. Selain itu, ia memang gemar traveling dan menjelajahi sudut bumi yang belum ia kunjungi. Selama masa penugasannya, Ivan telah membantu penanganan gelombang pengungsi di Serbia dan Sudan Selatan. Memang tak semudah kedengarannya, di sana Ivan harus bergelut dengan berbagai kondisi yang menegangkan. Mulai dari harus menghadapi wabah kolera, sampai terjebak di tengah perang Juba pernah ia alami.

Pengalaman barunya menyadarkan Ivan bahwa banyak orang-orang di luar sana yang bahkan tidak bisa tidur dengan nyaman karena sewaktu-waktu nyawa bisa terancam. Oleh karenanya, kamu yang sehari-hari bisa hidup dengan akses kesehatan yang memadai, serta tak pernah mengalami kehilangan orang terdekat karena perang, layaknya bersyukur dengan apa yang kamu dapatkan.

“Hidup di Indonesia itu relatif nyaman dan kita sangat beruntung,” – kata Ivan dari Sudan Selatan sana.

4. Lukman Hakim Bauty, menuruti panggilan hati bekerja untuk kemanusiaan di Sudan Selatan, Pakistan, dan juga Yaman

Lukman Hakim Bauty

Lukman Hakim Bauty

Lukman tidak bisa duduk diam melihat banyak orang–bukan cuma di Indonesia tetapi juga di negara lain–yang sulit mengakses fasilitas kesehatan. Entah itu karena tidak ada uang, jarak tempuh yang terlalu jauh atau karena ada perang dan bencana. Harus ada yang bergerak menolong, begitulah pikirannya yang kemudian membawa Lukman bergabung bersama MSF.

Sebagai lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar, Lukman saat ini ditempatkan sebagai dokter di Abs, Yaman, daerah di mana konflik masih berkecamuk.  Sebelumnya, ia juga pernah ditempatkan di berbagai tempat dan mendapatkan berbagai pengalaman berbeda. Mulai dari menangani pasien kala azar atau sleeping sickness – sebuah penyakit yang dulu hanya dijumpai di diktat kuliah – di Sudan Selatan, sampai bekerja di daerah miskin di Pakistan sudah ia lakukan. Perasaan cemas kadang menyelinap saat bekerja di daerah konflik. Namun, Lukman telah menetapkan hati untuk memilih jalan sebagai dokter yang bekerja untuk kemanusiaan – di zona konflik paling sulit sekalipun.

Saat ini di Abs, Yaman, Lukman menjadi salah satu dari 7 staf internasional yang berasal dari berbagai negara dan berbicara 5 bahasa berbeda. Membayangkan bahwa banyak juga orang yang rela datang dari tempat berbeda, tidak mengenal satu sama lain sebelumnya, namun bisa bekerja bersama untuk membantu penduduk di Yaman merupakan sesuatu yang mengagumkan bagi Lukman.

Sering kali kita merasa kurang beruntung dan merasa hidup ini sangat berat tetapi pengalaman ini membuka mata saya lebar-lebar. Pengalaman ini memperlihatkan betapa banyak orang yg hidup dengan penuh kekurangan tetapi mereka menjalani hidup dengan penuh kebanggaan.” – Ungkap Lukman dari Abs, Yaman.

5. Dari Aceh sampai Mozambique, Vini Fardhdhiani mendedikasikan keahliannya sebagai seorang Epidemiolog untuk masyarakat dunia

Vini Fardhdhiani

Vini Fardhdhiani

Impian Vini Fardhdhiani untuk keliling dunia sambil berkontribusi meringankan beban orang lain adalah yang memotivasi perjalanan hidupnya. Setelah lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Vini mendengar tentang MSF dan ingin segera bergabung karena tertarik akan perjalanan ke daerah-daerah yang tak lazim. Kesempatan datang di tengah duka tsunami Aceh pada awal tahun 2005.

Vini segera berangkat dengan tim medis MSF ke Aceh untuk bertugas di mobile clinic (klinik berjalan) MSF untuk menjangkau pasien-pasien di daerah yang terpencil. Di sana, Vini berjumpa dengan dokter dari pusat epidemiologi ‘Epicentre’ dan jatuh hati pada pekerjaan epidemiolog. Vini kemudian melanjutkan studi kesehatan masyarakat Institute of Tropical Medicines, Antwerp, Belgia dan meraih gelar Master of Science in Public Health, Orientation Disease Control – Reproductive Health.

Saat ini, Vini bertugas dengan MSF di Mozambique untuk membantu pemerintah setempat menangani HIV/AIDS dan Tuberkulosis (TBC). Berbagai perjuangan hidup yang tak pernah dibayangkannya jadi kenyataan. Ia harus beradaptasi dengan lingkungan dengan sanitasi tidak bersih, cuaca buruk, dan tempat tinggal yang seadanya. Selama penugasan, Vini menjadi lebih bersyukur dengan hidupnya selama ini. Saat membahas pasien dengan kondisi medis yang rumit atau kehidupan yang sulit, Vini dan teman sepenempatan di Maputo, Mozambique selalu berkata, “nothing to complaint about our lives!”

“Bekerja dengan MSF sangat membantu saya melihat dunia dan belajar toleransi dengan rekan-rekan kerja dari latar belakang budaya yang berbeda-beda. Saya juga belajar berkomunikasi dan mengoreksi diri. Kadang, kita juga seolah-olah menjadi duta Indonesia. Karena saya belum pandai masak, saya khawatir juga membawa image jelek tentang Indonesia. Saya suka bilang, ‘Makanan Indonesia enak-enak, saya aja yang nggak bisa masak!’ Dan, meski saya berjilbab, saya selalu menekankan saya ini masih harus belajar agama banyaaak sekali. Apabila ada perilaku saya yang aneh-aneh, ini bukan agama ataupun negara saya. “ – kata Vini.

 

Lima dokter dan tenaga kesehatan dari Indonesia ini adalah sebagian kecil dari orang-orang yang berjuang demi kemanusiaan di luar sana. Prinsip mengesampingkan kenyamanan diri demi kepentingan yang lebih besar lagi, terus diresapi dan diyakini sepenuh hati. Untuk mereka yang sedang berjuang dalam berjuta tantangan, semoga terus diberikan keteguhan prinsip. Untukmu yang juga ingin berbuat sesuatu untuk kebaikan, percayalah di mana ada niat selalu ada jalan!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

21th century lady – grooves in medieval fantasy