Maaf, Ayah dan Ibu. Saat Ini Aku Belum Bisa Memberi Sesuatu, Tapi Aku Sedang Berusaha Semampuku

Ayah, Ibu, apa kabar kalian di rumah? Masih kuingat dulu saat kekhawatiran tentang biaya sekolah melanda, lalu Ayah mengatakan dengan penuh keyakinan,

Advertisement

“Kamu belajar saja. Soal biaya, itu urusan Ayah. Kalau Tuhan memberi kamu kesempatan menuntut ilmu di sana, pasti ada jalan juga untuk mencari biaya.”

Kini masa itu sudah lama berlalu. Dengan kerja keras Ayah dan Ibu, aku berhasil mengenyam pendidikan dengan tuntas. Aku juga sudah bekerja, meski dengan penghasilan minim yang hanya cukup untuk hidup sehari-hari di kota orang. Dalam bayanganku, aku akan segera bisa menggantikan peranmu untuk bekerja keras. Segudang rencana sudah aku punya sejak sebelum mendapat predikat sarjana. Hanya satu yang kukejar, yaitu membahagiakan Ayah dan Ibu.

Bila mengikuti keinginan hati, aku mau Ayah dan Ibu berhenti bekerja. Kini saatnya anakmu yang menggantikan perjuangan

Sudah saatnya Ayah berhenti bekerja

Sudah saatnya Ayah berhenti bekerja via christianitymalaysia.com

Perjuangan Ayah dan Ibu sudah begitu lama. Sejak aku belum ada, sampai akhirnya aku sudah menyelesaikan pendidikan sarjana. Selama kuliah aku selalu berharap cepat lulus, cepat mendapat pekerjaan, dan segera bisa menggantikan perjuangan yang sudah Ayah dan Ibu lakukan sekian lama. Ingin rasanya melihat kalian duduk tenang di teras rumah, tak perlu lagi memikirkan apa menu makan esok hari ataupun biaya sekolah adik-adik. Tak perlu Ayah dan Ibu bekerja lagi. Karena kini ada anakmu yang sudah sarjana dan siap memenuhi semua kebutuhan.

Advertisement

Tapi hidup selepas kuliah ternyata tak semudah yang kubayangkan. Ekspekstasi tinggi tentang penghasilan hanya ada di angan-angan

penghasilan tinggi hanya angan-angan

Penghasilan tinggi hanya angan-angan via www.huffingtonpost.ca

Baru kusadari pikiran itu begitu naifnya. Dulu kupikir dengan gelar sarjana yang kupunya, aku bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar di kota orang. Lalu aku akan rutin mengirim uang kepada Ayah dan Ibu. Tapi kenyataannya, mencari kerja tidak semudah yang kukira. Gaji tinggi yang kubayangkan selama kuliah ternyata masih jauh dari jangkauan. Ini baru permulaan, begitu kata orang-orang.

Janji-janji yang dulu kuucapkan belum bisa kutepati. Karena kenyataannya penghasilan kecilku hanya cukup untuk diri sendiri

Belum bisa menepati janji

Belum bisa menepati janji via time.com

Kini aku mengerti, bahwa mewujudkan janji-janji yang dulu kuberikan tidak semudah yang kupikirkan. Apakah Ayah dan Ibu ingat, dulu aku berjanji untuk membelikan mesin cuci? Juga janji untuk mengajak Ayah dan Ibu liburan bersama? Ah, sedih rasanya mengingat itu semua. Karena kenyataannya, sekeras apapun aku berusaha menyisihkan uang, gaji kecilku saat ini hanya cukup untuk diri sendiri. Ibu bilang “tak apa, yang penting kamu sudah mandiri.”

Tapi dalam lubuk hati ini, Ibu, aku ingin memberikan sesuatu.

Advertisement

Ini dan itu ingin kuberikan dan kubelikan. Tapi untuk saat ini, aku hanya bisa memberikan janji untuk berusaha lebih keras lagi

Aku akan berusaha lebih keras lagi

Aku akan berusaha lebih keras lagi via emgn.com

Saat telepon dari rumah datang, dan cerita tentang kehidupan di kampung halaman kudengar, rasanya aku ingin segera pulang. Tentang telepon rumah yang kini tak bisa terpakai lagi, tentang ponsel tua Ayah yang sering mati sendiri, sering kali membuatku sedih. Janjiku yang dulu untuk memenuhi semua kebutuhan memang belum bisa kutepati. Saat ini aku hanya bisa berjanji untuk berusaha lebih keras lagi.

Bayangan gurat wajah yang tua dan lelah semakin memacu semangatku. Suatu saat nanti semoga tiba senyum bangga yang menghangatkan hati

terbayang gurat tua

Terbayang gurat tua via www.womenwellness.org

Bekerja memang membuat lelah. Dulu kukira, bila aku bekerja di dunia yang kusukai, setiap hari hanya ada senang yang kurasa. Tapi ternyata tidak juga. Rasa lelah, bosan, dan rindu rumah serta pelukan-pelukanmu nyaris kurasakan setiap harinya. Ketika semangat untuk meraih mimpi terasa pudar, kutatap foto usang kalian yang kupasang di kamar. Senyum tua di kulit keriput Ayah dan Ibu tak pernah gagal memacu semangatku. Suatu saat nanti, akan kuubah senyum lelah itu menjadi senyuman bangga.

Bila nanti saatnya tiba, Ayah dan Ibu tinggal duduk saja, menikmati masa tua dengan tenang dan bahagia

Ayah dan Ibu tinggal duduk saja

Ayah dan Ibu tinggal duduk saja via picmia.com

Saat ini aku memang belum bisa memberikan apa-apa. Bahkan sesekali, aku masih membutuhkan bantuan dari kalian. Tapi Ayah dan Ibu yakin saja. Saat ini anakmu sedang berjuang mati-matian untuk berkembang.  Suatu saat nanti, janji-janji yang dulu kuberikan akan kutepati. Ayah dan Ibu duduk saja, menikmati semuanya sambil bersantai membaca koran di teras atau menonton televisi.

Meski tak akan pernah sepadan dengan pengorbanan kalian, selama masih bisa, aku akan terus berusaha

Aku tahu tak akan pernah sepadan

Aku tahu tak akan pernah sepadan via fortune.com

Semua yang kulakukan, Ayah dan Ibu, bukan untuk membalas ataupun mengembalikan segala yang sudah kalian berikan. Karena aku tahu sampai kapan pun aku itu tidak akan pernah sepadan. Aku hanya ingin membuat kalian sedikit bangga, dan bisa menikmati masa tua dengan senang. Sebagai tanda terima kasih karena Ayah dan Ibu sudah membawaku ke dunia, dan memberi kehidupan yang luar biasa.

Hidup memang tak pernah mudah. Ayah dan Ibu pasti yang paling tahu. Tetapi aku tidak akan menyerah. Mimpi-mimpi untuk membahagiakan orang tua hanya sejengkal lagi untuk kugapai. Ayah, Ibu, sabarlah dahulu. Berilah anakmu ini restu, agar bisa segera mewujudkan mimpi-mimpi yang kalian titipkan kepadaku.

Salam sayang,

Anakmu.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penikmat kopi dan aktivis imajinasi

CLOSE