6 Alasan Saya Memilih Resign Sebelum Memiliki Pekerjaan Baru. Keputusan Ini Bukan Tanpa Pertimbangan Dulu

Memilih Resign

Di kantor, gosip siapa yang akan resign seringkali menyebar dengan cepat dan menyedot antusiasme orang dengan cepat. Semua orang akan bertanya kenapa si A mau resign? Terus setelah ini mau ke mana? Pertanyaan-pertanyaan yang sama juga saya dapatkan. Tapi semua orang mengerutkan dahi ketika saya menjawab “Belum tahu, masih apply-apply di beberapa tempat”. Lantas, pertanyaan mereka pun berubah.

“Kalau belum dapat kerjaan baru, kenapa resign? Kenapa nggak stay aja dulu sambil nunggu?”

Keputusan saya ini sering dinilai gegabah, sembrono, dan terkadang juga dibilang sombong. Zaman sekarang cari kerja susah, dan belum tentu saya bisa cepat dapat pekerjaan pengganti. Sebenarnya, risiko itu juga bukannya tidak pernah saya pikirkan. Meski dibilang sembrono, keputusan ini sudah melalui jutaan pertimbangan dan berbagai alasan.

1. Melepaskan terlebih dahulu beban saat ini membuat saya lebih fokus untuk menentukan rencana di masa depan nanti

terkadang beban perlu dilepaskan dulu via www.pexels.com

Ada masanya saya bingung dengan hidup saya sendiri. Rasa stuck-nya mulai membuat frustrasi. Apa yang dikerjakan bertahun-tahun mendadak tidak menarik lagi. Rasanya ingin melakukan sesuatu, tapi bingung apa atau yang mana dulu.

Di sisi lain, beban pekerjaan yang semakin memberatkan juga menambah tingkat kelelahan. Saya semakin bingung dengan apa yang bisa dilakukan. Karenanya, terkadang saya perlu melepaskan beban-beban itu dulu untuk bisa memikirkan apa sih yang sebenarnya saya mau?

2. Waktu juga lebih fleksibel untuk mempersiapkan diri. Tak perlu lagi kucing-kucingan beralasan cuti untuk interview di tempat lain

Tak perlu khawatir izin cuti ditolak via unsplash.com

Ketika hasrat ingin resign muncul, secara otomatis saya akan mulai mencari-cari lowongan lainnya. Apalagi sekarang semakin gampang dengan adanya jobstreet, linkedin, dan platform-platform pencarian kerja lainnya. Tidak harus menunggu jobfair dulu.

Namun, seringkali surat panggilan datang di waktu yang sulit. Saya harus kucing-kucingan dengan kantor yang sekarang. Mengarang berbagai alasan, mulai acara keluarga sampai sakit hanya untuk bisa interview. Yang terburuk, terkadang harus melewatkan panggilan interview karena pekerjaan benar-benar tidak bisa ditinggal.

3. Menunggu ada yang baru akan membuat saya malas-malasan mencari peluang. Toh, yang sekarang masih bisa ditahan-tahan

nggak lagi bermalas-malasan via unsplash.com

Harus diakui, saya ini seorang pemalas. Saya punya segudang rencana positif yang jika saja diwujudkan, mungkin saya jadi orang yang cukup keren sekarang. Sayangnya, rencana itu seringnya hanya berakhir jadi rencana karena ditimpa dengan alasan “Nanti aja deh” atau “Besok aja deh”.

Begitu juga soal pekerjaan. Ketika saya ingin mencoba peluang baru, saya perlu memaksa diri sendiri untuk itu. Kalau tidak dipaksa, endingnya sama. Tidak jadi-jadi, karena saya masih punya backup. Resign dulu dari pekerjaan lama membuat saya “terpaksa” harus gesit mencari peluang dan mengejarnya. Saya juga tidak mau nganggur terlalu lama ‘kan?

5. Motivasi dalam bekerja sangat mempengaruhi performa. Saya juga tak ingin bertahan dengan kinerja yang di bawah standar

performa stuck via www.pexels.com

Apa yang terjadi di pikiran sangat berpengaruh dengan kinerja keseharian. Ketika saya tidak lagi merasa nyaman dengan pekerjaan tersebut, motivasi saya pun ikut menurun. Akibatnya, performa pun angin-anginan, dan hasilnya tak bisa maksimal. Hal ini tentunya bukan hal yang bagus untuk karier saya ke depan. Karenanya, ketika saya merasa sudah stuck dan tak bisa lagi berkembang ataupun sudah mentok tanpa ada peningkatan performa, saya sadar diri. Sudah saatnya saya melepaskan. Mungkin posisi ini memang bukan posisi yang tepat untuk saya isi.

5. Ketika tekanan pekerjaan tak bisa lagi saya tanggungkan, ada diri sendiri yang patut raya pikirkan. Keputusan ini adalah wujud rasa sayang

memikirkan ketenangan diri via unsplash.com

Saya mengerti bila setiap pekerjaan selalu memiliki risiko. Rasa jenuh, bosan, dan lelah itu pasti ada, apa pun pekerjaannya. Namun, terkadang tekanan pekerjaan itu terlampau besar. Entah karena tak cocok pekerjaannya, beban kerja yang memang terlalu berat, gagal beradaptasi dengan lingkungan yang tak bisa ditoleransi. Semua itu menjadi penyebab lelah yang berkepanjangan, yang tidak melulu soal fisik.

Di satu saya juga gelut dengan diri sendiri. Saya berusaha keras untuk bertahan dengan menceritakan hal-hal yang baik untuk diri sendiri. Namun, terkadang kelelahan mental itu tak bisa dibohongi. Bila terus bertahan, kesehatan mental saya bisa dipertaruhkan. Karenanya, memaksa resign meski belum mendapatkan pengganti adalah wujud rasa sayang saya terhadap diri sendiri ketika tekanannya tak bisa lagi saya toleransi.

6. Ketidaknyamanan yang terjadi memaksa saya untuk mencari solusi lain. Bertahan hidup bisa dengan berbagai cara

terpaksa cari solusi via unsplash.com

Lalu apa yang akan saya lakukan setelah resign nanti? Pertanyaan itu juga sudah saya pikirkan ribuan kali. Saya tahu bahwa resign sekarang akan menjadikan saya sebagai pengangguran yang tak bergaji tetap. Saya mengerti hal itu, dan saya juga sudah memikirkan segudang rencana. Mulai dari mempersiapkan diri untuk menjadi freelancer. Atau bisa juga mulai membuka olshop atau jastip.

Kemungkinan terburuk itu sudah saya pikirkan, dan itu juga yang memaksa otak saya berputar mencari solusi. Selain itu, kemungkinan terburuk itu juga mengajarkan saya berbagai hal. Salah satunya adalah menghemat keuangan sehingga saya tetap bisa hidup dengan sisa tabungan. Dulu saya selalu membuat excuse “besok aja deh” saat ingin berhemat. Sekarang saya HARUS berhemat, kalau tidak mau sekarat.

Untuk resign atau bertahan di suatu pekerjaan memang butuh pertimbangan matang-matang. Tak bisa gegabah ataupun memutuskan berdasarkan emosi semata, karena biasanya itu akan disesalkan. Resign sebelum memiliki pekerjaan cadangan juga bukan hal yang sederhana. Ada sederet konsekuensi yang menunggu di belakangnya. Namun, bagi saya, hidup itu perkara pilihan. Terkadang kita harus merelakan sesuatu untuk mendapatkan yang lain. Jadi, keputusan sulit yang saya ambil ini bukan tanpa pertimbangan dan segegabah yang orang-orang pikirkan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penikmat kopi dan aktivis imajinasi

Editor

Penikmat kopi dan aktivis imajinasi