[CERPEN] Harapan Sang Buah Hati

Aku adalah seorang anak yang sudah dewasa sebelum waktunya

Pertengahan tahun 2001, tepatnya saat usiaku menginjak sebelas tahun. Saat itu mungkin aku adalah seorang anak yang sudah dewasa sebelum waktunya. Biasanya, seusia itu sebagian anak perempuan bermain boneka dan masak-masakan bersama teman sebayanya tanpa ada beban yang singgah di kehidupannya.

Advertisement

Tapi tidak bagiku. Saat kelas lima Sekolah Dasar, pikiranku sudah dibebani oleh masalah Mamah dan Papah. Masalah mereka berdua memang, tapi berimbas pada aku dan seorang adik laki-lakiku yang berusia empat tahun lebih muda dariku.

Pertama kali melihat Mamah dan Papah bertengkar, yaitu ketika kami sedang belajar di kamar. Dari dalam terdengar kegaduhan yang luar biasa. Bagaimana tidak, sebelumnya kami berdua tidak pernah mendengar pertengkaran seperti ini. Untuk menghilangkan rasa penasaran, aku mengajak adik ke depan pintu kamar.

Adik yang sedang membuntuti di belakang, menutupi mukanya dengan kedua telapak tangannya yang mungil. Ia menangis, tanpa suara. Hanya linangan air mata yang terlihat keluar di sela-sela jemarinya. Kupeluk dengan segera adik lelakiku, mencoba menenangkannya.

Advertisement

"Dua tahun belakangan ini, kamu kemana aja?! Kamu enggak merasa punya anak?! Anis dan Putra, sering nanyain Mamah kemana enggak ada kabar. Kamu ibu yang enggak punya tanggung jawab sama anak-anak. Aku kerja banting tulang, untuk kedua anak kita. Tapi kamu pergi kerja ke luar kota tanpa ijin suami. Apa itu pantas?! Apa uang yang setiap bulan aku kasih masih kurang?! Memang aku hanya seorang supir, tapi harusnya kamu bersyukur." Ucap papah.

Mamah pun membela diri dengan penuh keyakinan.

Advertisement

"Aku cuma bermaksud mencari penghasilan lebih Mas, aku juga enggak mau jadi istri yang berdiam diri di rumah. Aku juga mau memanfaatkan ijazah SMA-ku"

Memang sebelumnya, pada tahun 1997 untuk pertama kalinya mamah pernah meninggalkan kami tanpa sepengetahuan papah. Saat pulang sekolah, di rumah sepi. Tidak seperti biasanya ada mamah yang sedang memasak ataupun bermain dengan putra di rumah. Hanya terlihat putra sedang menangis di atas kasur dan secarik kertas di atas meja rias kamar, yang ditindih botol parfum. Aku tidak tahu tulisannya, yang jelas saat itu Papah terlihat marah sekali. Meremas surat itu hingga menjadi bola kertas.

Apa yang dilakukan Mamah? Mamah pergi ke mana? Pertanyaan itu terus menghantui pikiranku.

***

Setahun berselang semenjak kejadian kedua, keluarga kami memang sedikit membaik. Mamah lebih perhatian kepada papah, adik, dan khususnya aku yang akan menghadapi ujian akhir kelulusan SD.

"Mah, jangan ninggalin Anis dan Putra lagi ya. Kita enggak mau kehilangan mamah." Ucapku ketika sedang belajar matematika bersama mamah.

"Iya nak, Mamah janji enggak akan ninggalin kamu. Lebih baik sekarang kamu belajar yang rajin ya. Biar kamu bisa sekolah sampai kuliah, jangan seperti mamah yang hanya bisa sekolah sampai SMA. Kata mamah sambil mengelus-elus rambutku yang terurai panjang.

"Oia mah, ibu wali kelas sering nanyain Mamah. Kenapa setiap ngambil rapot, Papah yang selalu ambil?" Tanyaku.

Mamah tersenyum, "Iya nak. Pokoknya nanti saat mengambil nilai kelulusan, mamah pasti datang ke sekolah."

***

Kini aku sudah duduk di bangku SMA, tepatnya kelas dua. Aku semakin dewasa, begitu juga dengan adikku yang menjadi seorang lelaki pendiam yang tidak mau menceritakan segala masalah yang dirasakannya.

Kembali, pertengkaran hebat menerpa keluargaku. Kali ini papah yang membuat keluarga kami seakan retak. Singkat cerita, mamah mencium bau parfum wanita di kemeja kerja papah ketika hendak mencuci. Tidak hanya itu, mamah melihat pesan singkat yang ada di handphone Papah, terlihat ada seorang wanita yang hampir setiap hari sms Papah, bahkan menelepon.

Mamah sudah berada di puncak emosinya, ia pun menghampiri Papah yang masih terlelap tidur walaupun jam sudah menunjukkan pukul 06.30 pagi. Serangan fajar pun terjadi. Perdebatan hebat terjadi, Papah dengan segala alasannya mencoba meyakinkan bahwa wanita itu hanya teman. Menurut mamah, papah sudah selingkuh dengan teman kerjanya.

Aku dan adik yang sedang sarapan di meja makan, merasa terusik dengan teriakkan dan caci maki yang keluar dari mulut kedua orang tua yang seharusnya kami hormati. Kali ini, bukan hanya caci maki yang dilakukan papah. Dengan segala kekuatan fisiknya, mamah didorong ke kasur dan papah langsung menampar pipi mamah berkali-kali.

"Pa, hentikan! Tolong hentikan!" Aku teriak, sambil menarik papah yang sedang ‘menyerang’ mamah.

"Papah enggak malu sama aku dan putra, bertengkar seperti ini? Pah ingat, Papah dan Mamah semakin tua. Sudah punya anak dua. Apa masih mau seperti ini terus?! Dulu mamah yang membuat keluarga ini goyah, kini papah yang semakin membuat keluarga ini akan runtuh." Tambahku.

Aku tidak tahu, entah sampai kapan aku memikul beban dan tekanan di keluarga ini. Adik menjadi semakin pendiam dan menjadi seorang anak lelaki yang misterius menurutku. Aku tahu, dia trauma dengan segala kekacauan di keluarga ini. Mamah dan Papah hingga saat ini memang masih bersama, tapi ketika di rumah tidak ada sepatah ketapun yang keluar dari mulut keduanya. Mereka seperti anak kecil.

Kami hanya bisa berharap, kejadian 'rutin' di keluarga ini cepat berlalu. Agar kami bisa hidup dengan damai. Seburuk apapun Mamah dan Papah, saat ini dan nanti kalian tetap orang tua hebat yang kami punya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penulis novel 'make a wish' dan 'man jadda wajada'. Podcaster. AyaHarumi.

CLOSE