[CERPEN] Ujung Lamaranku Buah Kegigihanku

Siang itu sang surya sedang menempa hari, aku masih menunggu di bawah teriknya mentari yang menyengat kulit. Kutatap pintu besar dengan terali besi berwarna hitam tersebut, nampak gembok besar tergantung di sana. Sesekali kulirik jarum jam di tanganku yang bergerak menuju angka tiga. Entah ini lamaran yang ke berapa. Terkadang jenuh dalam menunggu selalu datang menyapa.

Advertisement

Namun yang pasti asaku tak pernah padam. Sayangnya semangat itu hanya di mulut, tidak pada hati yang meronta ingin menyerah. Seperti saat ini, aku sedang menunggu seorang pimpinan di suatu lembaga pendidikan untuk di interview mengenai lamaranku. Di saat aku sibuk menunggu terdengar suara wanita dari belakang. 

"Halo, maaf sudah lama menunggu,"

Aku segera menoleh ke arah sumber suara tersebut. Dan ternyata itu staf admin dari lembaga ini, ia terlihat sangat ramah. Tak lama aku disuruh menunggu di ruangan berukuran dua belas meter persegi dan lebar tiga meter. Tepat sekali ini ruang pimpinan.

Advertisement

"Baik lamaran saya terima, nanti saya akan hubungi lagi lebih lanjut," katanya menutup wawancara.

Selalu ucapan itu yang sering kudengar, ucapan yang memunculkan ketar-ketir dalam dada. Sebagai manusia aku hanya bisa berusaha terus menambah skill-ku dikerasnya persaingan dunia kerja.

Advertisement

Jika memang bisa kupilih aku tak pernah ingin menjadi dewasa, aku ingin selalu menjadi anak kecil Mama. Yang hanya mengerti bermain. Ah, khayalan manja apa ini. Aku berusaha menepis khayalan tak masuk akal itu. Jauh dari sanubariku aku merindukan orang tuaku. Terhitung sudah satu tahun aku jauh dari mereka. Terakhir bertemu waktu menghadiri undangan wisudaku.

Aku memang sudah terbiasa menjadi anak rantau sejak masa-masa kuliah. Berjualan buku kesana kemari untuk tambahan uang kuliah. Mengejar beasiswa agar meringankan biaya kuliah. Di waktu libur, menyempatkan untuk pulang ke kampung halaman. Namun, saat ini untuk pulang aku merasa malu dengan mereka. Bahwa anaknya ini belum juga berhasil berjuang mendapatkan pekerjaan yang layak.

Di saat aku merasa tidak beruntung dari yang lain, padahal di luar sana ada yang tidak seberuntung aku. Di situlah aku mulai mengerti arti "syukur". Sangat mudah untuk diucapkan namun sulit dipraktikkan. Tak jarang terkadang aku menyesali jurusan yang kuambil saat kuliah beberapa tahun lalu. Merasa salah dalam mengambil jurusan. Padahal sukses bukan dari jurusan. Apa pun jurusan yang kita ambil itu sudah garis semesta. Bagaimana dengan mereka yang ingin melanjutkan study lebih tinggi namun terhambat biaya.

Di jalan yang kulintasi waktu pulang, aku melihat anak-anak kecil dengan pakaian yang sangat lusuh, tanpa alas kaki, mencangklong karung di bahu. Mengistirahatkan diri dari penatnya hari itu. Sebagian lagi masih mengais tumpukan sampah mencari botol-botol bekas yang bisa diambil. Dengan semangatnya mereka berebut botol-botol itu sambil bercanda dengan teman-temannya. 

Sedangkan di sebelah kiri trotoar jembatan terdapat anak kecil perempuan duduk bersama adik laki-lakinya, kaki mereka diluruskan ke depan, duduk berhadap-hadapan, di antara kaki mereka terdapat nasi yang dibungkus. Suap demi suap mereka nikmati sambil tertawa bersama. Sang Kakak menyuapi adiknya dengan gembira.

Seketika aku menghentikan sepeda motorku. Sikap mereka seolah menamparku dengan keras. Dengan alur kehidupan yang seperti itu mereka masih semangat dalam menjalani hidup. Sedangkan aku sering sekali berputus asa dan mengeluh seolah kesulitan yang kualami hanya dialami olehku. Tak terasa bulir bening menetes dari mataku. Ingin sekali rasanya berbagi. Kurogoh saku celanaku, tak kudapati apa pun di situ. Kubuka dompetku. Aku lupa bahwa dompet dan sakuku terkena kanker (kantong kering), aku pergi memenuhi panggilan interview tanpa uang sedikit pun di dompet ataupun di saku. Niat memberi itu telah sampai namun uangnya belum sampai.

Tunggulah di lain waktu adik-adik.

Lamaran sana dan sini terus berterbangan berharap menemukan jodohnya. Handphone dan email selalu dicek barangkali personalia atau pun pimpinan menghubungi. Panggilan tes sana dan sini terus dijalani. Tak terasa tabungan mulai menipis. Mau meminta kiriman dari orang tua rasanya mau diletakkan di mana wajah ini. Saking malunya. Mau tak mau aku harus menahan diri untuk tidak merepotkan orang tua.

Dua minggu lebih dari wawancara kerja belum jua datang kabar baiknya. Rasa putus asa kembali datang tanpa diundang.

Sesulit inikah jalan takdirku?

Tak lama dari batinku mengeluh. Dering telepon berbunyi. Aku segera mengangkat nomor yang tak kukenali tersebut.

Selamat  Siang, dengan Saudara Arian.

Iya betul.

Selamat ya, Anda diterima di perusahaan kami. Mohon untuk datang ke kantor kami besok, pukul 07.30 WIB. Kata suara di ujung telepon tersebut.

Aku nyaris tak percaya dengan apa yang kudengar hari itu. Seolah Tuhan menjawab doa-doaku yang selama ini kuimpikan. Dari sekian banyak lamaran yang kumasuki. Akhirnya menemukan titik terang. Pagi ini aku melangkah dengan penuh semangat, menyusuri jalanan dengan riang.

Sebentar lagi aku bekerja.

Sepulang dari kantor tersebut, kepalaku masih dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan.

Kenapa harus ada sistem training? Kenapa harus ada sistem kontrak? Dan kenapa selama masa training gajiku nampak lebih kecil daripada karyawan tetap lainnya?

Tapi, jika tidak kuambil. Aku tidak punya batu loncatan lain. Akhirnya kuputuskan untuk mengambil pekerjaan ini.

Saat ini jangankan untuk mengirimi orangtuaku uang, gaji yang kudapat hanya sampai untuk kehidupan sehari-hari seperti membayar uang kos, makan, dan transport. Otomatis aku harus memutar otak agar bisa mendapatkan yang lebih tidak berputar di lingkaran ini saja. Bukan tidak bersyukur, aku sangat bersyukur dengan rezeki ini. Namun, masih minim untuk penghasilan yang hidup di kota seperti ini.

Setidaknya aku mampu membantu perekonomian keluargaku. Menjadi tongkat estafet tulang punggung keluarga. Mengingat aku sebagai anak sulung di keluargaku. Ada adik-adikku yang masih harus melanjutkan pendidikannya.

Akhirnya kuputuskan pada malam hari untuk berjualan nasi goreng bersama temanku di sudut kota. Bukan bermaksud memforsir waktu, ini sebagai bentuk gigihnya aku untuk membantu keluargaku. Caraku berterimakasih kepada orang tuaku karena telah mengorbankan apa pun untukku. Maka aku akan mengorbankan apa pun untuk mereka. Nanti jika gajiku sudah stabil akan kubagi porsinya. Sebagian untuk dikirim ke orang tuaku sebagian ditabung untuk mengembangkan usaha kulinerku bersama temanku.

Saat ini tak perlu malu untuk berjualan, bekerja dengan tangan kotor penuh peluh, walaupun gelar sarjana, asal halal. Tetapi, Malulah jika bekerja dengan tangan bersih tapi hasil kotor alias haram. Toh, pada akhirnya sedikit demi sedikit akan menjadi bukit.

Penantianku dalam mencari pekerjaan sudah membuahkan hasil. Aku harus bersyukur dan lebih giat lagi bekerja. Tidak perlu iri hati dengan orang di luar sana. Toh, pada dasarnya setiap pekerjaan memiliki plus minus dan suka duka  yang berbeda-beda bukan.

Aku bersyukur bulan depan gajiku telah naik stabil dan kontrak kerjaku akan diperpanjang di perusahaan ini, karena kinerja baikku. Seperti janjiku akan kutemui anak-anak yang waktu itu di dekat pinggiran jembatan. Sedikit berbagi kebahagiaan dan akan kukatakan pada mereka.

Bahwa penantian yang diiringi dengan kesabaran dan keikhlasan akan membuahkan hasil yang memuaskan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE