Aku Kuat Seperti Sekarang Karena Getir Kehidupan yang Telah Kutelan Sejak Lama. Kini Aku Sadar, Kebahagiaan Itu Hak Semua Orang

Sejak masih kecil, hidup sudah terasa pahit. Perundungan biasanya dilakukan oleh orang lain, tetapi ini malah dilakukan oleh orang terdekat. Saat itu, aku menyadari sakitnya dihina, diejek, bahkan diperlakukan yang tidak seharusnya dilakukan oleh orang dewasa.

Advertisement

Puluhan tahun yang lalu, saat itu aku harus menghadapi perlakuan yang tidak pantas dari keluargaku. Itu dilakukan karena aku adalah anak tiri. Apa salahku saat itu? Aku bahkan tidak mengharapkan warisan maupun perhatian dari ayah tiriku. Hingga detik ini, saat ayah tiri dan ibu telah berpisah pun, aku tak pernah sekalipun memanggilnya ayah. Jadi, aku tak merasa sekalipun memilikinya.

Hal yang ku alami kala itu begitu menyakitkan. Namun, aku buktikan bahwa hidupku baik-baik saja sampai sekarang.

Suatu pagi, sebelum berangkat sekolah. Aku diminta membelikan nasi uduk yang dijual oleh nenek dari keluarga tiriku. Antre. Begitu banyak orang yang membeli. Aku menunggu dengan sabar hingga saatnya giliranku, sepupu tiriku muncul. “Cucu nenek duluan,” kata nenek itu kepada sepupu tiriku. Menyebalkan. Aku telah menunggu sejak lama, tapi yang baru muncul didahulukan.

Advertisement

Saat itu, aku hanya bisa diam. Menahan amarahku yang bergejolak. Bukan kali itu saja aku diperlakukan tidak adil karena status anak tiri. Sempat tinggal di rumah keluarga tiri, rasanya seperti neraka. Namun, aku harus bersabar. Aku harus kuat.

“Kamu kan cuma anak tiri,” kata-kata itu sering kali menusuk jantungku. Menangis? Air mataku sudah kering karena terlalu sering menangis. Tersiksa. Ini soal mental yang tersakiti. Diracuni setiap hari.

Advertisement

Bukan itu saja, bukan hanya mereka yang melakukannya. Namun juga dari ayah tiriku sendiri.

Suatu hari, ada seseorang datang. Ia menanyakan kepada ayahku siapa aku. Bukan jawaban anak tiri melainkan ia menjawab sesuatu yang mengagetkan. “Anak angkat,” kata ayahku.

Ya, racun itu setiap hari kuterima. Bahkan saat memasuki masa SMA, aku berulang kali berpikir untuk mati. Jujur, saat aku memikirkan untuk mati di kepala muncul pertanyaan: Apakah aku akan mati? Jika tidak, bagaimana? Itu hanya akan menjadi beban bagi orang lain. Namun, jika aku mati, aku akan tahu bahwa neraka yang akan dibuka untuk tujuan akhirku.

Racun berupa kata-kata itu begitu menyiksa. Saat itu, aku tak habis pikir bagaimana mereka bisa memperlakukan diriku seperti itu? Aku hanya anak-anak yang tidak tahu apa-apa. Ayah tiri dan ibuku menikah memangnya itu kesalahanku? Kenapa mereka begitu?

Aku tak percaya semua orang dengan status tiri itu jahat seperti cerita di FTV. Kenyataannya, banyak yang menjadi anak tiri dan diperlakukan bak anak kandung. Mungkin, aku harus menghadapi masa sulit itu agar aku kuat. Walaupun sebenarnya, aku tak sekuat itu pada masa itu.

Kini, aku telah nyaris kepala tiga, memiliki seorang putra yang aku rawat dengan sepenuh hati, dan alasanku belum ingin menikah, bukan karena aku khawatir jika anakku kelak akan mengalami kehidupan sepertiku. Namun, aku hanya ingin menghabiskan waktu dengannya lebih lama setelah sebelumnya, aku hampir kehilangannya karena kesibukanku di luar rumah.

Terima kasih, untuk semua orang yang telah mendukungku hingga sekarang, ibu dan anakku. Hidupku memang pahit, namun karena kalianlah, aku tahu bahwa kebahagaian itu layak dimilikki oleh semua orang termasuk diriku.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Love yourself!

CLOSE