Aku Memang Terlalu Perasa. Kau Benar. Bahkan Aku Jarang Menggunakan logika.

Setiap saat aku bersamamu, duniaku terasa semakin indah. Tak ada yang kukhawatirkan, keresahanku sirna, perasaan aman menyelimuti. Walau, manjaku meningkat, ketergantunganku padamu tampak nyata, aku merasa tanpamu adalah hari yang berat.

Hari itu, disaat kau tidak ada disampingku, aku merasa disiksa oleh perasaan sendiri.

Semua indraku serasa terkoneksi dengan memoriku, mengambil dan memutar kembali memori-memori itu.

Sungguh sangat menyiksa. Dulu, aku pernah begitu dekat dengan semua itu. Kini, aku hanya berteman dengan bayang-bayangnya.

Wangi itu.

Aku pernah berjalan. Sendiri. Ditengah sore, diantara mereka yang tak memperdulikan siapapun kecuali kepentingan mereka sendiri, di dalam keramaian, diantara kesumpekan udara sore bercampur keringat dan bau matahari. Ah, kau bisa bayangkan. Aku berdiri dan diam. Hingga udara berhembus, memainkan rambutku, dan membawa wangi itu. Membawa sesuatu yang sudah kucoba untuk kupendam dan kusimpan. Tanpa ku pinta, tanpa basa basi, wajahmu, tubuhmu, terbentuk di dalam ingatanku hanya karena wangi itu. Padahal, entah wangi siapa dan darimana. Tapi ia berhasil menarik pertahanan diriku untuk tidak mengingatmu.

Lagu itu.

Aku pernah menyusuri supermarket. Bersama teman-temanku. Mencoba menjalani sesuatu yang ku senangi agar tak mengingat bahwa kau tak disampingku. Namun, lagu itu. Tiba-tiba saja melantun lembut dari pengeras suara di atas kepalaku. Begitu menyejukkan telinga. Tetapi menyayat hati. Menyapa memori dengan indah, meninggalkan jejak tak terhapuskan. Dan kau adalah memori itu.

Tempat itu.

Bagaimana aku bisa melupakanmu, jika aku selalu pergi ke tempat dimana kau selalu berada?

Kau jahat. Kau sengaja meninggalkan kenangan dimana-mana. Di tempat yang memang biasanya kusinggahi. Kau tidak tahu diri. Pergi jauh ke tempat baru. Yang tiada jejak dan sentuhanku disana.

Sementara aku? Aku hanya berteman dengan bayangan. Bermain dengan ingatan. Di setiap tempat yang kau tinggalkan kenangan.

Warna itu.

Aku memang terlalu perasa. Kau yang benar, menggunakan logika.

Seakan bodoh dan baru belajar warna, tong sampah berwarna biru, warna favoritmu pun mampu mencuri perhatianku!

Benda-Benda itu.

Imajinasiku terlalu liar. Tak mampu ku kekang. Kita pernah berkeliling kota menaiki bis biru. Kini, setiap aku menaiki bis biru, aku mengingatmu. Kita pernah pergi membeli sepatu untukmu bersama. Kini, setiap aku melihat orang lain menggunakan sepatu yang tidak ada mirip-miripnya sedikitpun dengan sepatu yang kau punya, otakku memaksakannya.

“Mirip. Itu sepatu yang mirip. Kau harus ingat sewaktu kalian pergi membelinya bersama.” Kata otakku kepadaku. Hebat sekali.

Bahkan, kita pernah membeli nasi goreng sama-sama. Dihari kemudian aku bertemu dengan si penjual nasi goreng itu, aku teringat denganmu. Sungguh menyiksa.

Kau begitu hebat. Melukis segalanya dengan indah. Ataukah aku saja yang menyediakan kanvas yang terlalu sempurna? Hingga semua tak terhapuskan, tak tergantikan, dan tak dapat kulepaskan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Traveler Addict, Dog Lover, Foody, and Choir Enthusiastic.