[CERPEN] Aku Tenggelam dalam Lembah Duka, dan Kau adalah Penyelamat Ku

Hidupmu adalah ceritamu, simpanlah itu. Kau tidak gagal tapi korban keegoisan. Kau menang karena kau mampu bertahan di tengah badai yang menghantam.

Langkahku gontai menyusuri malam. Peluhku luruh bersama ketidakpastian tujuan. Hingga akhirnya ku baringkan raga pada rerumputan liar di pinggir jalan. Pekatnya kegelapan seakan menjadi penggenap duka. Duka yang kian membara melemahkan jiwa. Hanya Tuhan tempat mengadukan semua yang berkecamuk dalam dada. Alam fikir berkelana mencari kebahagiaan namun nyaris tak menemukan.

Advertisement

Semua berawal dari kehilangan dia, ayahku. Seorang ayah yang berperan ganda menjadi ibu. Dalam keadaan laparku, sakitku, manjaku, keuanganku dia menjadi penolong pertama dan satu-satunya. Masih segar dalam memori saat tanda perpisahan tiba, dia menggenggam erat tanganku dan tertidur lelap di pangkuanku.

Kini aku seakan menelan pil pahit yang tiada penawarnya. Tuhan telah mengambil alih memindahkan dia ke sisi-Nya. Kenyataan ini begitu memilukan. Dunia begitu kejam telah merampas hartaku yang teramat berharga. Aku telah dijauhkan dengan sandaran hati. Senyum, tawa, harapan seakan musnah bersama kepergiannya.

Lamunanku terganggu mendengar derap langkah berat membisingkan telinga. Seorang pria tua tiba-tiba menghampiri entah darimana arah datangnya. 

Advertisement

"Apa yang kau lakukan dimalam yang selarut ini nak?" tanyanya heran.

"Mencari angin" jawabku singkat.

Advertisement

"Wajahmu terlihat sangat muram, sepertinya kau punya beban yang terpendam"

"Siapa kau? tak usah perduli denganku, kau bukan bagian dari hidupku. Nikmatilah malammu tanpa mengusikku. Pergilah!" nadaku mulai emosi.

"Bolehkah aku duduk di sampingmu?" ungkapnya sambil tersenyum.

Tanpa mengiyakan, ku lihat sekilas pria itu dengan tatapan sinis. 

"Aku hanya kebetulan lewat dan tak sengaja melihatmu. Mungkin kau anggap aku oranglain tapi aku orangtua yang sepantasnya merangkul anak muda. Aku akan selalu perduli karena aku manusia yang haus bersosialisasi tanpa mengenal batasan usia. Jangan takut, aku bukan orang jahat yang akan mencelakakanmu"

"Maaf, mungkin sikapku kurang sopan karena aku sedang ada masalah" ucapku dalam nada sesal.

"Setiap yang bernyawa akan selalu dihadapkan pada masalah. Jangan pernah benci atau lari dari masalah serumit apapun, pasti ada hikmah dibaliknya. Masalah ikut andil dalam membentuk karaktermu. Tuhan hanya ingin melihat sejauh mana kau berjuang melawan kerasnya kehidupan"

Nada suaranya lembut, bagai angin menyejukkan otakku yang buntu. 

"Ah, masalahku tidak begitu penting" ucapku.

"Nak, mungkin kau bisa memilah sepenting apa masalahmu tapi karena kau perempuan yang masih membiarkan tubuhmu terbungkus udara malam sendirian, itulah alasanku ingin tahu masalahmu. Singkirkan ragu serta fikiran negatifmu tentangku. Percayalah, aku ingin membantumu. Berbagilah denganku" katanya sambil menatap lekat mataku.

Aku memalingkan muka, menghindari buliran air mata agar tak jatuh dan dinilai lemah.

"Aku tidak menemukan kenyamanan ketika menceritakan segala sesuatu selain dengan ayahku".

"Bila kenyamanan itu sudah tersalurkan mengapa kau masih mencari ketenangan di luar rumah? apa ibumu tidak khawatir dengan keadaanmu?"

Pertanyaan sederhana dari bibirnya layaknya petir yang menyambar. Tubuhku bergetar, wajahku terasa tertampar. Dengan lembut pria tua itu mencoba menenangkanku, mengelus rambutku. Belaian ini seperti milik ayahku. Persis. Rinduku semakin menggebu-gebu. Tangisku semakin meledak-ledak.

"Terkadang kita perlu menangis untuk meringankan beban hati. Bukan tentang menguras energi atau lemah tapi ekspresi kesedihan setiap orang berbeda. Lakukanlah dalam batas kewajaran lalu bangkitlah kembali, tinjau sekeliling kau pasti mendapati seseorang yang perduli"

Sambil tertunduk dan sesekali terisak, aku membagi kisahku dengannya.

Aku berasal dari keluarga broken home. Ayahku meninggal, ibuku pergi entah kemana. Aku lupa kenangan manis bersama ibuku tapi aku selalu ingat kenangan indah bersama ayahku. Seorang ibu yang seharusnya mengajariku tentang pekerjaan rumah dan manajemen keuangan ternyata mengabaikan tanggung jawabnya. Seorang ayah yang seharusnya fokus menjadi tulang punggung keluarga dan sopir pribadi gadisnya ternyata mengembalikan seluruh hak-hak anak dari ibunya"

Aku remuk redam tiap melihat seorang anak masih punya orangtua lengkap. Aku pesimis untuk memperluas pergaulan bahkan untuk mencari pasangan. Sedangkan kau tahu aku adalah calon ibu yang perlu belajar banyak dari seorang ibu. Tak sanggup ku bayangkan apakah aku bisa membangun rumah tangga dengan utuh, apakah aku bisa menjadi ibu yang baik untuk anakku nantinya.

Aku malu dengan kisah hidupku yang berantakan. Tidak akan pernah mau orang memungutku, mengasihiku, menghidupiku. Harus kemana aku berpijak. Semesta sudah menyeleksi bahwa akulah manusia yang gagal. Lantas untuk apa Tuhan masih memberiku nyawa.

"Nak, aku memahami kerapuhanmu. Lihatlah kembali langit yang indah, bunga yang mekar, buah yang masak. Langit pernah mendung, bunga pernah layu, buah pernah busuk. Semua punya masa tersendiri" jawabnya dengan tenang.Jangan pernah memaksakan fikiran dengan hal-hal di luar batas kemampuan. Alur skenario hidup sudah diatur Tuhan tanpa bisa kau pilih.

"Hidupmu adalah ceritamu, simpanlah itu. Kau tidak gagal tapi korban keegoisan. Kau menang karena kau mampu bertahan di tengah badai yang menghantam. Kau hanya butuh keikhlasan. Ayahmu laksana gugusan bintang-bintang di angkasa yang masih menerangi malam-malammu, yang masih menemani kesepianmu. Jangan menarik diri dari keramaian dunia karena dirimu berharga. Bersembunyilah di balik sajadah, Tuhan melimpahkan kekuatan disitu".

Ku resapi setiap kata-kata yang meneduhkan merasuki kalbu. Ada titik ketertarikan meski dia belum ku kenal. Perlahan ku seka air mata lalu menoleh ke arahnya namun hening. Ku lihat sekeliling hanya aku sendiri. Kemanakah perginya. Mengapa tak ku dengar suara seperti saat dia datang. Siapakah pria tua itu. Setumpuk pertanyaan tiada terjawab hingga mengirimku pulang ke rumah. Rumah sederhana yang ku sewa cukup memberikan kehangatan.

Pagi yang cerah membawaku kembali ke tempat dimana aku bertemu pria tua itu. Aku ingin menjabat tangan lalu berkenalan dengannya. Aku ingin mengucapkan terima kasih atas semangat yang dia tumbuhkan diperjumpaan yang tak sengaja. Sejam berlalu hingga matahari mulai tenggelam dia tak kunjung hadir. Aku letih menunggu. Ku arahkan kaki ini untuk pulang sambil bergumam rasa penasaran.

Hari-hari berikutnya aku tetap menunggu kedatangan pria tua. Dari pagi, siang sampai malam aku tetap antusias berharap dia tiba-tiba menyapaku lagi di pinggir jalan ini. Aku berhutang budi padanya. Dia menyelamatkanku dari duka mendalamku. Dia menyadarkanku bahwa aku terlalu memikirkan hal-hal yang belum tentu terjadi padahal aku punya cara tersendiri untuk bertahan hidup. Kapankah kita akan bertemu kembali. Aku selalu menunggumu disini wahai pria tua misterius. Kataku dalam hati.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE