Berawal dari akhir tahun 2019, dunia digemparkan dengan adanya COVID-19. Penyebaran penyakit ini pun dapat dikatakan sangat cepat. Terhitung pada tanggal 8 Desember 2020, sudah sebanyak 66.422.058 terkonfirmasi terkena COVID-19 dan 1.532.418 kematian di dunia yang disebabkan oleh penyakit ini. Begitu pula di negara yang terkenal akan kekayaan minyaknya, sejak penemuan kasus COVID-19 pertama kali di negara Arab pada 29 Januari 2020, penemuan kasus di negara tesebut kian meningkat. Segala upaya telah dilakukan oleh pemerintah Arab untuk menanggulangi pandemi. Beberapa upaya dilakukan dari menutup Masjidil Haram untuk menghentikan keberangkatan umrah (23/03/20) hingga penggunaan teknologi untuk memperkuat sistem surveilans & pelayanan kesehatan.
Kedua upaya tersebut mampu menekan angka kasus dan meningkatkan angka kesembuhan pasien. Tercatat sebanyak 149.578 angka kesembuhan dan 554 angka kematian dari 160.055 kasus yang ada. Seiring dengan penurunan kasus dan penguatan surveilans, negara Arab perlahan mencoba untuk membuka kembali Masjidil Haram pada 4 Oktober 2020 untuk para masyarakat Arab. Pembukaan tersebut tidak memberikan penambahan kasus secara signifikan. Oleh karena itu,pemerintah Arab berani membuka kembali kedatangan jamaah umrah internasional pada tanggal 1 November 2020.
Kebijakan baru yang ditetapkan oleh pemerintah Arab untuk para jamaah yang akan datang tentunya berlandaskan protokol kesehatan. Berikut kebijakan baru yang dibuat oleh pemerintah Arab; Pertama, terkait pengurangan kuota jamaah pada tiap negara. Kedua, jamaah wajib melakukan swab test sebelum keberangkatan dan setelah kepulangan. Keempat, sesampainya di tanah suci diwajibkan untuk melakukan karantina selama 3 hari hingga yang kelima, jamaah wajib melakukan pendaftaran melalui aplikasi I’tamara apabila ingin menunaikan ibadah di dalam Masjidil Haram.
Melihat beberapa kebijakan baru yang telah dibuat oleh pemerintah Arab untuk para jamaah, muncul berbagai spekulasi alasan terbentuknya kelima aturan tersebut. Pada kebijakan pertama terkait pengurangan kuota, spekulasi yang muncul yaitu memungkinkan untuk memberikan ruang atau spaceterhadap tiap jamaah satu dengan lainnya. Diperkuat juga dengan adanya aturan WHO untuk menjaga jarak terhadap sesama minimal 1 meter jauhnya untuk mengurangi risiko penularan.
Kewajiban untuk melakukan swab test pun tampaknya disebabkan oleh banyaknya hasil dari berbagai macam tes yang bersifat false negative. Sifat tersebut menjelaskan bahwa peserta negatif dari virus namun sebenarnya telah terinfeksi. Pada umumnya terjadi kesalahan diagnose (false negative) dari beberapa tes yang menggunakan sampel antibodi seperti halnya pada rapid test. Oleh karena itu, penggunaan swab test lebih dikedepankan karena tingkat keakuratannya.
Mencoba membongkar kembali kebijakan ketiga, sepertinya pemerintah Arab berpacu pada WHO yang menyatakan bahwa lansia dan anak memiliki resiko yang tinggi terkena COVID-19. Penyebab kedua fase tersebut memiliki resiko tinggi dikarenakan sistem imun pada lansia sudah mulai melemah. Sebaliknya pada anak, belum terbentuk imun yang cukup baik. Sebagaimana diketahui, sistem imun akan matang atau sudah baik terbentuk pada fase dewasa muda.
Selanjutnya terkait kebijakan keempat yang mewajibkan masa karantina terhadap para jamaah. Kelihatannya pemerintah Arab ingin memastikan kembali bahwa seorang jamaah yang datang benar-benar sehat keadannya. Mengingat di saat perjalanan banyak memungkinkan untuk bertemu dengan banyak orang dan berada di satu tempat tertutup seperti pesawat dengan waktu yang cukup lama.
Hingga pada kebijakan terakhir, kiranya pemerintah Arab menerapkan penggunaan aplikasi I’tamara untuk menerapkan pendekatan surveilans menggunakan teknologi yang merupakan salah satu anjuran dari WHO. Anjuran ini diberikan agar mempercepat pelaporan data, pelacakan kontak serta manajemen dan analisis data. Sehingga, penanggulangan pada pasien pun dapat cepat ditanggulangi agar tidak terjadi kerugian yang lebih besar.
Secara garis besar, pertimbangan pemerintah Arab akan pembuatan kebijakan umrah saat pandemi sudah sangat baik serta dapat dikatakan cukup aman dan mudah dilakukan oleh para jamaah dari seluruh belahan dunia. Meskipun telah baik, pembuatan aturan protokol kesehatan kepada para jamaah, bukan menjadi alasan pemerintah Arab dapat bersantai. Hal – hal di luar kendali masih dapat terjadi seperti; data yang tidak sesuai, masuknya jamaah OTG yang masih bersifat laten ditubuh, ketidakpatuhan jamaah akan aturan, gangguan sistem pada teknologi, dan lainnya. Oleh karena itu, pemerintah Arab harus dapat terus mengontrol segala aspek secara ketat.
Pemerintah Arab dalam mengontrol aspek administrasi harus teliti dan cermat akan validitas data yang diberikan oleh jamaah, baik identitas diri maupun hasil swab test. Penggunaan alat pendukung dalam mengecek validitas data perlu berfungsi secara baik dan benar serta pada pekerja juga perlu dituntut untuk melakukan hal yang sudah sesuai dengan standar. Pada aspek operasional, pemerintah Arab harus turut terjun langsung ke lapangan agar penerapan kebijakan tetap terus dilakukan oleh para jamaah. Tidak hanya melakukan pengawasan kepada para jamaah, teknologi yang digunakan seperti halnya aplikasi I’tamara perlu terus diawasi sehingga pencatatan terus terkontrol. Menghindari kejadian error teknologi, pemerintah Arab dapat membuat contingency plan dengan adanya pencatatan secara manual. Sehingga dalam proses pelaporan dapat disinkronisasikan dengan laporan yang diberikan dari hasil aplikasi.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”