[CERPEN] Angan Kerinduan di Balik Senyuman

cerpen romantis

Hari sudah mulai gelap, namun dia belum juga selesai mencuci si hitam kesayangannya. Katanya tanggung. Sebentar lagi selesai, kok.

Hari sudah gelap, dia bilang sudah selesai. Tapi dia lelah, jadi tidak bisa menemanimu hingga terlelap. Tak apa, ya?

Advertisement

***

Mengapa selalu bertanya-tanya, kah? Dia tidak terlambat, kok. Tepat waktu. Katanya, dia sudah mengatur jam tangannya lebih 15 menit dari waktu yang sebenarnya. 

Siang itu terlalu padat. Bahkan lift pun menjadi bising saat dia hendak memasukkan selangkah kakinya yang terburu-buru. Sudah kubilang, dia tidak terlambat. Hanya saja hari itu adalah hari spesialnya. Dia sangat bersemangat seolah sudah telat 30 menit.

Advertisement

Hari itu, dia memakai kaos hitam di saat kau memakai kemeja biru motif garis. Kau mulai menceritakan hari-harimu—ya, seperti biasa. Kau kan cerewet. Kau bercerita bagaimana tulisan-tulisan indah terngiang dalam benakmu, juga menceritakan bagaimana kau sangat ingin membuat laman khusus untuk itu.

Dia terlihat heran, seolah bertanya bagaimana sebuah tulisan terasa sangat berarti bagimu? Lantas kau tertawa, bagaimana tulisan-tulisan indah itu terasa mati baginya? Lalu kau mulai memberanikan diri, bertanya apa arti sebuah kata bagi hidupnya.

Advertisement

Entah, tapi kau rasa dia terlalu jujur. Dia bilang, sebuah kata tidak berarti jika tidak ditindak. Walau begitu, tak dapat dipungkiri bahwa dia adalah pembaca setia dari semua karyamu—meski tak tahu maknanya.

Pengakuannya yang menggemaskan membuatmu mematung memandangi wajahnya yang masih terlihat bingung. Sayang sekali, pikirmu dalam hati. Padahal sebagian besar tulisan indahmu dilayangkan untuknya. Apalah daya, tuan tertuju bahkan tidak mengenali paket dari sang tercinta. Tapi tak apa, tidak semua keindahan bisa dimengerti. Bukankah begitu?

Hari terasa lebih cepat dari biasanya. Dia mengantarmu ke lobi untuk pulang. Tidak, kau tidak bisa pulang bersamanya. Kau ingat saja kata ibumu. Kalau melanggar, kuadukan ya? Hahaha tidak, bukan tipeku untuk berlaku seperti itu. Di satu sisi, mungkin aku setuju dengan ibumu. Berkendara dengan motor akan lebih berisiko kecelakaan. Tapi di sisi lain, aku sangat mendukungnya untuk memboncengimu pulang sampai rumah, jadi sepanjang jalan kau bisa memeluknya erat. Duh, aku malah memikirkan tipikal romantisme anak SMA daripada anak kuliahan. Maaf!

Taksi online-nya sudah datang. Kau melangkah maju mendekati supir yang menyambutmu ramah sambil menyebut namamu. Lantas kau tersenyum, mengangguk, berbalik ke arahnya, dan memberi isyarat bahwa kau akan pulang. Dia tersenyum, sambil melambai. Kau pun melakukan hal serupa.

Perjalanan pulang yang cukup semrawut. Kendaraan-kendaraan itu saling beradu untuk mengisi ruang kosong terdepan kala lampu merah. Tapi kau tidak peduli. Sebab sore mu hari itu sangat lebih beruntung daripada kendaraan yang saling beradu—juga lebih terang daripada lampu hijau lalu lintas yang dinanti oleh semua pengendara.

***

Hari sudah mulai gelap. Kau dan dunia kecilmu berusaha mengingat setiap kepingan cerita di hari itu. Jarum jam yang berdetik bising di kamarmu setidaknya bisa mengalihkan rasa rindu terhadapnya. Jangan lagi rindu, karena sekarang sudah ada yang menggantikanmu di hatinya. Sekarang juga jok belakang motornya sudah diisi dengan seseorang yang tidak lebih memilih untuk pulang dengan taksi online. Mungkin hari ini kau tidak seberuntung hari itu. Cahayamu redup seperti lampu kuning lalu lintas. Tapi tak apa, kok. Yang kuat, ya?

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Student of Marketing Communication at Bina Nusantara University📚

CLOSE