[CERPEN] Menunggu, Berakhir Antara Bahagia atau Nelongso.

Bagi gue, menunggu selama tiga tahun bukanlah sesuatu yang salah.

Gue yang waktu itu masih asyik berkutik dengan laptop dikagetkan dengan kehadiran sahabat gue. “Eh, La lo udah lama ya?” Gue menoleh, “Enggak si Mer, baru sejam aja,” Dia langsung rempong dan duduk di depan gue, “Eh sorry ya, gue telat banget. Tadi maunya gue pulang lebih awal, malah ada meeting mendadak. Gila kan, belum lagi jalanan macet,”

Advertisement

“Santai aja kali, Mer,” Gue masih asyik mengutak-atik laptop kesayangan gue. “Lo lembur lagi?” tanya Merissa ke gue. “Enggak, ini gue lagi nulis aja sih,” Dia seolah berpikir. “Eh, La. Lo kok lesu banget, gue lihat lo kayak galau gitu. Lo masih kepikiran Daniel?” Mendengar nama itu, yang gue rasakan cuma nelongso, kata orang Jawa sih begitu. “Apa ya? Gue malah gak ngerasa apa-apa. Oh ya, kedai kopi ini ada menu baru, lo tertarik gak?”

Dia mendengus, “Tuh kan kebiasaan. Gue tahu lo masih suka kepikiran Daniel kan?” Gue melengkungkan bibir gue ke bawah, “Menurut lo gimana?” Dia mengangguk, “Menurut gue sih begitu. Gue yang sebagai sahabat lo pun merasakan kesedihan yang amat mendalam, masa lo enggak sih? Aneh kan?” Kini giliran gue yang mendengus.

Gue menopang dagu, dan bisa mendengar sangat jelas waktu yang terus bergerak melalui detikan di jam tangan gue. “Sampai kapan La?” tanyanya. “Kapan apanya? Gue nulis? Aihh, ya sampai gue mampus lah,”  Dia menggeleng, “Sampai kapan lo nunggu Daniel?” Gue menatap Merissa, lalu kembali menatap layar laptop gue. “Gue juga nggak tahu, Mer. Menurut lo?”

Advertisement

“Ya kalau gue sih, perasaan lo ya perasaan lo. Lo yang tahu apa yang lo rasain, La. Masa sih lo nanyanya ke gue. Tapi, kalau gue saranin. Mending lo coba buka hati lo buat yang lain deh,” Gue mengangkat sebelah alis gue, “Kenapa gitu?” Kini Merissa melipat tangan di dada, dan menyandarkan punggungnya ke kursi. “Iyaa lah, lo nunggu Daniel udah tiga tahun La. Apa lo nggak capek?”

Gue menggeleng. “Gue nggak pernah capek untuk apa-apa yang gue perjuangin, Mer. Tapi, gue emang sadar sih, lambat laun ini cuma akan menyakiti gue sepihak. Tapi, hati gak akan pernah salah Mer. Gue tahu siapa yang pas buat gue, sama seperti yang lo bilang. Perasaan gue ya perasaan gue, gue yang bawa, gue yang bisa ngerasainnya, gue yang nentuin semua itu,”

Advertisement

“Gue juga tahu kali, La. Tapi kalau lo nunggu, cerdas dikit kenapa? Diantara kita bertiga, kan lo yang paling berisi IQ nya. Sedangkan gue sama Tari sebelas dua belas,” Gue menatap Merissa dan tersenyum, “Mer, ini yang ngebedain antara perasaan dan logika Mer. IQ gue emang tinggi, tapi itu bukan alasan yang tepat buat nutup perasaan gue ke Daniel. Gue sayang Daniel,”

“Gue gak bakal bisa juga maksa lo, La. Tapi, kalau esok lusa lo sedih, lo janji jangan sampai self harm ya? Lo harus jaga diri lo baik-baik, kabarin gue sama Tari. Kita bakal selalu siap ngedengerin unek-unek lo sampai enek kok, sumpah,” Merissa berusaha menghibur gue dengan kata-kata berliannya. “Iyaa, lo nyantai aja kali.”

“Oh iyaa, lo ngundang gue kesini, ada apa? Apa karena lo ada menu baru?” Gue tersenyum, “Iyaa selain itu gue mau nunjukin banyak hal juga sih. Salah satunya naskah yang lagi gue garap ini,” Merissa menggelengkan kepala, kagum. “Wah, lo itu hebat ya? Makin jaya mengudara,” Gue kembali tersenyum.

“Senyum-senyum aja lo? Kesambet penunggu kedai kopi atau kesambet biji kopi butiran?” Gue seketika ngakak, melihat wajahnya yang ngeri dan pernyataannya yang aneh. “Biji ya biji aja kali, butiran ya butiran aja. Jangan disamaain, atuh!” Dia menoleh ke sekeliling, “Au ah, gue ngeri,” Gue masih menghabiskan sisa tawa gue, “Apaan sih? Nggak usah ngeri, gue nggak melihara yang aneh-aneh. By the way, gue kesana dulu. Ngambilin lo menu baru, khusus untuk lo gue kasih gratis deh,”

Gue lihat Mer masih asyik memainkan ponsel di genggamannya. Sementara gue masih asyik melenggang masuk ke dalam kedai kopi yang sudah gue dirikan beberapa tahun yang lalu, menyuruh seorang barista disana untuk meracik segelas kopi spesial. Dan mencari seseorang yang akan gue jelaskan ke Mer, setelah ini.

Table 14 ya..” ucap gue santai. “Kopinya 35% saja ya, banyakin cookiesnya,” sambung gue lagi. Kemudian gue melanjutkan untuk mencari sosok itu. Kedai kopi yang gue dirikan memang tidak begitu mewah, tapi lumayan ramai. Dan ini cukup untuk gue melanjutkan hidup. Ada beberapa hal lucu sebelum kedai ini akhirnya berdiri. Mer, Merissa sahabat gue yang dari tadi dengan rempongnya ngegibah tentang Daniel, adalah tipe orang yang sebenarnya hampir gak bisa nyeruput kopi.

Gue ingat betul, waktu kita masih SMA. Gue sama Tari yang notebene sudah terbiasa nangkring di kedai kopi pun memesan beberapa olahan esspresso. Sementara dia malah planga-plongo nanya ke Tari, minuman mana yang kadar kopinya paling rendah. Nego ke embak-embak pelayan, buat ngurangin kadar kopinya. Syukur-syukur ada juga menu soda gembira disana, dan akhirnya si Mer pun ikut bahagia hari itu.

Gue juga ingat betul, dari kopi juga gue akhirnya mengenal Daniel sebelum Daniel memutuskan untuk pergi dan lebih memilih mimpinya ketimbang gue. Dan membiarkan gue menepi dengan rasa sakit hati. Gue nunggu Daniel bertahun-tahun, sampai akhirnya gue down banget. Hingga sampailah pada hari ini, gue bisa terbangun dengan senyuman tiap harinya.

“Lo yakin, La?” tanya seorang barista yang baru saja meracik segelas coffee latte art. “Kenapa enggak coba?” Dia mengelap tangannya, “Bukan gimana-gimana ya. Tapi, gue tahu gimana jiwanya Mer. Gue gak mau, gara-gara gue, nanti Mer malah ninggalin lo. Gue gak mau lo kehilangan sahabat,” Gue melipat tangan di dada dan menyandarkan punggung ke tembok. “Dia gak bakal ninggalin gue. Gue sama Mer udah sahabatan selama 10 tahun, jadi gue rasa itu gak bakal mungkin. Lagian sahabat dibentuk bukan karena ikatan darah, tapi lebih ke jiwa. Dia baik, lo percaya sama gue,”

“Ya sudah, lo duluan gih,” Gue masih heran sama orang yang gue ajak ngomong tadi. Bisa-bisanya ia tidak percaya diri. Padahal tak ada yang salah dengan Mer. Mer juga takkan sejahat itu ke gue. “Eh, sob. Ngelamun bae,” celetuk gue ke Mer. “Gue lagi chat nih sama si Ky,” “Pacar teroos! Eh Mer, gue mau ngenalin lo sama seseorang,” Merissa menatap gue, “Siapa? Pelayan baru lo? Atau baristanya?” “Ya lo lihat saja sendiri,”

Mer menoleh, ia langsung cengo melihat sosok lelaki di hadapannya. “Gue Daniel, barista baru disini. Dan ini pesanan lo,” Mulut Mer masih menganga, dan dia masih syok. “Mer, gue Daniel,” Daniel memegang tangan kanan Mer. Sementara gue segera berdiri di sebelah Daniel. “Dan gue, Carla pacarnya Daniel. Salam kenal,” Mer menutup mulutnya, dan menatap gue dengan tatapan, “Kok lo gak cerita sih sama gue,”

Jadi, ini Daniel. Daniel yang beda, yang punya prinsip. Sebenarnya beberapa hari sebelum Daniel memilih mengejar mimpinya. Ia sudah berjanji akan kembali. Ia pergi untuk menyelesaikan urusannya yang belum usai waktu itu, lalu ia akan menjemput gue. Daniel tidak bekerja di kedai kopi gue, karena ia juga memiliki usaha kopinya sendiri.

Hanya saja hari itu, gue meminta ia untuk menjadi barista sehari saja, dan memberikan sentuhan baru di kedai kopi gue. Menu baru itu pun saran dari Daniel. Terima kasih Daniel, denganmu, menunggu takkan pernah salah.


"Terima kasih, denganmu, menunggu takkan pernah salah."


Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Dari lahir emang gini, dan masih betah :)

CLOSE