Apakah Menjaga Adab Berada di Tempat Wisata Sebegitu Sulit?

Pelanggaran adab yang terjadi di sekitar kita

Belakangan ini, netizen di Indonesia, termasuk saya kerap dihebohkan dengan video turis asing yang berperilaku kurang pantas di berbagai tempat wisata di Bali. Dari yang melanggar lalu lintas, menembus iring-iringan prosesi adat, hingga bertamasya ke tempat peribadahan ketika hari raya. Anehnya, ketika ditegur oleh pihak berwenang atau warga sekitar, mereka tidak terima dan cenderung marah dengan suara lantang. Ada banyak respon yang muncul, seperti mengatakan bahwa turis-turis tersebut harus tahu diri saat sedang berkunjung ke tanah orang lain yang bahkan merupakan tanah suci bagi orang Hindu atau berkomentar dengan kalimat yang sama di banyak video unggahan, Normal day in Bali sebagai bentuk sindiran. Sindiran yang menyatakan bahwa pelanggaran adab itu sudah biasa terjadi di Bali dan saat ini telah membuat masyarakat setempat geram.

Advertisement

Boro-boro turis asing, turis lokal pun tak jarang melakukan hal-hal yang tidak beradab ketika berkunjung ke tempat wisata. Ada salah satu pengalaman yang saya alami di sebuah desa wisata di Bali, yaitu Desa Penglipuran. Saat itu, saya sedang berkunjung dan asik berjalan di sepanjang jalan utama. Kebetulan saat itu bertepatan sedang diadakannya pengesahan sebuah batu  oleh penduduk setempat melalui prosesi peletakan batu di tengah-tengah desa. Beberapa warga lain juga berkumpul di balai desa untuk turut mempersiapkan acara dengan suasana penuh kehangatan. Karena desa tersebut merupakan tempat wisata, turis diperbolehkan berkunjung dan jumlahnya cukup banyak saat itu.

Namun, betapa mengejutkannya ketika saya melihat seorang pria dewasa dengan anak kecil yang sepertinya adalah anaknya, sedang berdiri di pinggir jalan utama. Pria itu tampak membantu anaknya untuk kencing di selokan kering yang bahkan satu meter seberangnya terdapat rumah penduduk. Kami tak sengaja bertatapan setelah saya memperhatikan mereka sejak beberapa detik sebelumnya. Pria itu tampak menatap saya dengan canggung. Sedangkan saya hanya mampu melemparkan tatapan jijik sekaligus menerutkan dahi sebagai respons tidak respect. Padahal desa itu sudah menyiapkan toilet umum untuk para turis yang berkunjung. Dan saya rasa, fasilitas toilet umum di sana sudah cukup bagus dan bersih. Kira-kira kedaruratan seperti apa yang membuat anak itu harus kencing di selokan secara terang-terangan alih-alih pergi ke toilet yang jaraknya tidak sampai seratus meter?

Indonesia tidak hanya menjadi satu-satunya negara dengan masalah seperti itu. Di Korea Selatan, negara gingseng, juga terjadi hal serupa. Desa Bukchon Hanok atau biasa disebut Bukchon Hanok Village merupakan desa yang berisi rumah-rumah dengan arsitektur bergaya kuno yang sudah dipertahankan sejak ratusan tahun. Dengan masifnya pesebaran budaya korea yang terus merebak di berbagai penjuru, membuat desa tersebut kerap kali dikunjungi oleh wisatawan asing. Namun, kehadiran para pengunjung ini tak selalu memberikan dampak baik bagi perekonomian warga sekitar. Beberapa waktu sebelumnya, desa itu melarang kunjungan wisatawan karena merasa tidak nyaman. Banyak dari mereka, yang didominasi oleh lansia mengaku terganggu dengan kebisingan yang ditimbulkan oleh para turis, terutama turis dari Tiongkok. Meski terdengar rasis, pengakuan ini disampaikan oleh pemandu wisata saya ketika saya sedang berkunjung ke sana. Itulah alasan mengapa di sepanjang jalanan desa Bukchon Hanok dipasang papan peringatan untuk tidak berbicara terlalu keras. Lucunya, ketika saya berkunjung ke sana, saya bersamaan dengan rombongan turis lain yang tidak saya mengerti bahasanya. Namun yang jelas, mereka berbicara dengan Bahasa mandarin. Lantas, apakah peringatan itu diindahkan? Menurut pengalaman saya saat itu, entah karena kebetulan bersamaan dengan rombongan turis yang kurang taat, mereka masih berbicara dengan suara lantang dan tawa yang keras sebanyak 3-4 kali dan terdengar 15 meter dari tempat saya berada.

Advertisement

Papan-papan peringatan itu bahkan sudah ditulis dengan tiga bahasa yang berbeda, yaitu bahasa korea, inggris, dan mandarin. Bahkan ada petugas yang terus berkeliling seraya memegangi papan peringatan yang serupa. Jika memang mereka berbicara dengan bahasa mandarin, bukahkah mereka bisa mengerti dengan cepat tanpa harus menerjemahkan terlebih dahulu seperti saya? Sejak saat itu, saya mengubah mindset saya bahwa negara maju tak berarti warga negaranya memiliki perilaku yang maju pula.

Menjaga sikap ketika berkunjung di tempat yang bukan milik sendiri merupakan kewajiban diri untuk menghormati tempat beserta penduduk setempat. Adab seperti ini seharusnya sudah menjadi hal dasar bagi semua orang. Namun, mengapa pelanggaran adab kerap dilakukan oleh turis-turis yang kebanyakan dari kalangan atas? Bukankah orang kaya identik dengan orang yang berpendidikan baik? Jika memang stereotype itu benar adanya, mengapa hal-hal tadi bisa terjadi? Malah, banyak orang yang pendidikannya tidak begitu tinggi mengerti caranya beradab dan menghormati. Hal itu menunjukkan bahwa tingkat kuliatas seseorang tidak ditunjukkan berdasarkan tingkat pendidikan. Oleh sebab itu, dalam berperilaku, kita harus menyamaratakan hak semua kalangan demi terciptanya keadilan yang berkemanusiaan. Siapapun yang terbukti salah dengan mengganggu adat atau masyarakat setempat, harus diberikan teguran saat itu juga atau bahkan sanksi yang tegas. Jangan biarkan adab, adat, dan budaya asli luntur dan tidak bernilai dihadapan para turis hanya demi kenyamanan mereka.

Advertisement

Seperti yang dilakukan oleh gubernur Bali, Wayan Koster yang menindak tegas pelanggaran yang dilakukan turis asing di tanah kelahirannya. Beliau memberlakukan peraturan daerah yang melarang turis asing mengendarai sepeda motor sewaan dan beralih ke kendaraan travel yang telah disediakan. Tindakan tersebut dilakukan sebagai respons atas pelanggaran yang banyak dilakukan oleh turis-turis asing, dari membuat plat nomor tidak resmi hingga tidak membawa SIM. Harapannya, Perda ini bisa mengatasi masalah yang telah meresahkan masyarakat sekitar dan mengganggu proses adat istiadat setempat. Saya rasa ini merupakan tindakan yang tepat. Meski dapat menutup rezeki bagi penyewaan motor, ada baiknya mereka dialihkan ke usaha lain yang tetap bisa menjaga keutuhan dan kedamaian di Bali. Mungkin langkah ini bisa mengurangi keinginan turis yang datang, namun apakah kita akan terus merelakan harga diri tanah kita demi orang asing?

Kehormatan tanah Indonesia ini harus terus kita jaga demi diturunkan ke generasi berikutnya. Oleh karena itu, generasi berikutnya bisa mengerti betapa pentingnya adab, budaya, dan kehormatan tempat tinggal mereka dan menjaga agar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tetap abadi. Nilai keluhuran itulah yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia yang tidak dimiliki oleh negara lain. Tak hanya mengerti, mereka juga harus tegas dan berpendirian teguh ketika pelanggaran itu terjadi suatu saat nanti. Apalagi di tengah gencarnya globalisasi yang membuat masyarakat cenderung bersikap modern, acuh tak acuh, dan merasa bebas melakukan apa saja.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini