Sepanjang tahun 2021 banyak hal yang dilewati dengan penuh pengorbanan baik secara psikis maupun emosional. Berita buruk berdatangan bersama dengan isu problematis yang tak diusut tuntas. Bersamaan dengan itu media sosial jadi kambing hitam perkelahian antar kelompok yang membuat pemerintah kelabakan mengurus bagaimana rancangan UU ITE yang tamat tanpa revisi kesekian kali.
Biasanya obrolan ini akan ada di diskusi-diskusi mahasiswa ilmu komunikasi yang mulai belajar tentang hukum dan media. Jika diperhatikan lagi, gerakan-gerakan baru yang muncul akibat dampak sulitnya permasalahan usai dengan sendirinya ini pelan-pelan mengancam pengguna media sosial yang ceplas-ceplos di ruang maya.
Salah satu gerakan yang banyak dibicarakan akhir-akhir ini adalah digital vigilantism. Hal ini menjadi sangat berkaitan dengan kasus-kasus kekerasan seksual yang ramai serta didukung penuh oleh gerakan spill sehingga memperkuat vigilantisme digital.
Secara sederhana digital vigilantism berarti main hakim sendiri yang didukung dengan perangkat teknologi dan internet. Daniel Trottier menyebutkan dalam salah satu jurnalya yang berjudul Digital Vigilantism as Weaponisation of Visibility, bahwa digital vigilantism dipicu oleh kemarahan yang berkaitan pada kasus-kasus tertentu yang membentuk aksi balas dendam melalui internet dan media sosial.
Di Indonesia sendiri, aksi ini mudah ditemukan di linimasa Twitter dengan kata kunci paling populer yaitu spill the tea. Thread yang menunjukkan pelaku-pelaku terduga kasus kekerasan seksual menjadi sangat objektif dan mengundang amukan warganet. Biasanya bentuk Vigilantisme Digital meliputi publikasi nama dan alamat tempat tinggal (doxing), penyebaran foto, dan bukti-bukti penguat tersangka di ruang digital.
Digital Vigilantism tidak sepenuhnya dibenarkan. Mengingat Vigilantisme terdahulu yang pernah ada di Indonesia seringnya dilakukan oleh kelompok-kelompok dengan kuasa tinggi. Berbeda dengan vigilantisme digital yang lebih dominan dengan aksi keberpihakan untuk mencari keadilan terhadap korban yang terpinggirkan. Tentu hal ini juga berkaitan dengan bagaimana media yang bersifat patisipatif, mendukung aksi anonim menjadi dalang bagi pengeroyokan yang dilakukan secara tersembunyi melalui internet.
Penyebab lain mengapa Digital Vigilantisme sangat erat dengan kasus kekerasan seksual adalah dominasi dukungan yang menciptakan adanya validasi terhadap korban kekerasan sehingga penerimaan yang dirasakan menjadi lebih besar. Lagi-lagi cara ini tak sepenuhnya aman dari masalah.Â
Mungkin saja ruang maya sudah sangat mendukug penuh secara demokratis penggunanya memanfaatkan media sosial dengan massa digital yang ada. Sehingga hal yang paling mungkin terjadi adalah keberpihakan dan penghakiman yang salah sasaran. Selain itu adanya kekuasaan dan UU ITE juga nggak menutup kemungkinan menjadi senjata tuntut balik oleh orang-orang yang terseret ke dalam kasus tertentu di vigilantisme digital. Kalau diingat, jangan pernah main hakim sendiri adalah nasehat paling baik sejak lama. Lagi pula setiap orang nggak harus mencari keadilannya sendiri sementara penegak hukumnya sibuk membela diri.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”