Nama saya Anargya Dewani Cassimira. Saya lahir pada tanggal 23 Maret 2004 di Semarang. Saya merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Sedari kecil, saya sudah diberi arahan untuk menetapkan tujuan untuk masa depan. Orang tua saya bukanlah tipe yang menuntut anaknya untuk peringkat 5 besar atau mendapatkan nilai sempurna. Mereka hanya menuntut saya untuk menjadi pribadi yang tekun, tidak mudah menyerah, dan mempunyai tujuan.
Menjadi dokter merupakan cita -cita saya sejak duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Saat itu, saya menganggap profesi dokter sangatlah keren dan mulia karena mereka menbantu orang yang sakit dan membutuhkan pertolongan. Awalnya, saya hanya menganggap bahwa itu hanya cita-cita sementara. Maklum, saat itu saya hanya siswa sekolah dasar. Nyatanya, sampai sekarang saya masih berambisi untuk menjadi seorang dokter. Orang tua saya yeng mengetahui hal tersebut tentunya sangat antusias dan senang. Ayah saya langsung memberi arahan mengenai apa yang harus saya lakukan untuk mewujudkan cita-cita saya tersebut. Arahan-arahan terssebut membuat saya menyadari bahwa menjadi dokter memerlukan perjuangan yang lebih. Maka dari tiu, saya bertekad untuk mencuri start.
Perjuangan saya dimulai dari sekolah menengah pertama. Saat itu, saya sangat berambisi untuk masuk ke beberapa SMA unggulan di Jakarta. Saya menyadari bahwa persaingan untuk masuk ke kedua sekolah itu sangatlah ketat. Terlebih, saya merupakan penduduk luar Jakarta dan peluang untuk diterima di SMA negeri di Jakarta sangatlah kecil. Maka dari itu, saya berusaha keras untuk mendapatkan skor ujian nasional tinggi dengan belajar setiap hari. Terkadang, waktu istirahat atau jam kosong di mana siswa – siswi biasanya bermain, saya habiskan dengan latihan soal.
Dan, saat yang ditunggu-tunggu pun tiba yaitu pengumuman skor ujian nasional. Saya benar-benar terkejut mengetahui bahwa skor saya melebihi target yang saya tetapkan. Sejujurnya, saat itu saya sudah cukup percaya diri untuk lolos di SMA negeri yang saya inginkan. Namun, ternyata semua tidak berjalan sesuai ekpektasi. Persaingan yang sangat tinggi saat itu membuat saya berakhir di SMA yang bahkan saya baru tahu keberadaannya saat saya mendaftar dan sekolah itu bukan termasuk SMA favorit. Akan tetapi, saat itu saya tidak terlalu larut dalam kesedihan karena yang terpenting saya masuk ke SMA di Jakarta.
Saat SMA, saya cenderung santai terhadap masalah nilai dan peringkat. Hal tersebut berbanding terbalik dengan saat saya di seklah menengah pertama yang cenderung ambisius. Saya merasa bahwa sangat sulit untuk lolos jalur SNMPTN kedokteran karena belum ada alumni dari sekolah saya yang lolos kedokteran jalur SNMPTN. Maka dari itu, saya hanya fokus UTBK. Sedari kelas sepuluh akhir, saya sudah mencari tahu apa saja yang perlu dipersiapkan untuk UTBK. Selain itu, saya juga mulai berlatih soal dengan mengikuti try out online. Saat kelas sebelas, saya fokus mempelajari materi-materi yang sekiranya merupakan materi yang dikeluarkan di soal UTBK. Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama. Saya lebih fokus mempelajari subtes TPS dari UTBK sampai-sampai lupa bahwa materi saintek sangat penting untuk dipelajari. Hal tersebut tentunya membuat saya menyesal karena saat kelas dua belas, saya harus mempelajari lebih banyak materi.Â
Masa-masa kelas dua belas merupakan masa-masa di mana saya benar-benar merasakan perjuangan. Tidak hanya saya yang berjuang, tetapi juga orang tua saya. Di saat itulah saya merasakan bagaimana belajar tanpa henti setiap hari. Saya luangkan waktu saya dalam sehari untuk belajar dan berlatih. Saya juga membuat target pembelajaran di mana terkadang saya gagal mencapai target tersebut. Kegagalan tersebut cukup sering membuat saya putus asa. Namun, berkat dukungan orang tua, saya berhasil bangkit kembali.  Nilai akademik di sekolah pun saya hiraukan. saya hanya fokus belajar untuk UTBK.
Tidak disangka, saya masuk eligible. Sejujurnya, saya tidak menaruh harapan tinggi untuk lolos SNMPTN karena rata-rata saya yang rendah. Seperti dugaan saya, saya tidak tidak lolos SNMPTN. Hal tersebut tidak mebuat saya sedih atau putus asa. Saya tetap berjuang keras untuk lolos di jalur UTBK. Saat yang ditunggu-tunggu pun tiba yaitu hari pengumuman. Saya tidak berani melihat laman website LTMPT sehingga ibu saya yang melihatnya. Sayangnya, saya mendapat kata ‘semangat’ dari LTMPT.Â
Mengetahui bahwa saya tidak lolos UTBK membuat saya sedih. Hal tersebut membuat saya menjadi demotivasi dan malas untuk berjuang. Saya yang awalnya sangat menginginkan FK, perlahan-lahan mulai melepaskan keinginan saya tersebut. Namun, berkat dukungan yang tidak henti dari orang tua, saya kembali bangkit untuk berjuang di jalur mandiri. Saya mendaftar di berbagai universitas dengan harapan diterima di salah satunya. Tdak disangka, saya diterima di dua universitas jurusan kedokteran yaitu Universitas Sebelas Maret dan UPN Veteran Jakarta. Di situlah saya merasa perjuangan saya tidak sia-sia dan tentunya saya sangat bersyukur.
Dari pengalaman ini, saya belajar banyak hal yang tidak bisa saya sebutkan satu-satu. Salah satunya adalah arti dari perjuangan. Saya merasakan bagaimana lelahnya belajar setiap hari. Selain itu, saya juga melihat bagaimana perjuangan orang tua saya yang tiada henti.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”