2020 ku rasanya seperti mudah saja dilupakan, terlalu banyak malam panjang penuh pemikiran, siang-siang penuh penantian, hingga keraguan dan kegelisahan yang menguasai seiring waktu berlari. Jika dibandingkan dengan kebahagiaan dan kepuasan yang terjadi, rasanya nihil. Aku lupa siapa diriku, mencari ulang jati diri untuk memosisikan diri di masyarakat dalam dunia dengan keterbatasan aktivitas di ruang publik ini. Kebutuhan untuk bertemu orang banyak bagi orang ekstrovert sepertiku mungkin sudah menjadi suatu kebutuhan primer yang tanpanya aku rasa hidupku tidak sepenuhnya sedang berjalan, tidak bisa digantikan dengan pentemuan online.
Namun, selayaknya koin yang memiliki dua sisi, dimana hanya sisi yang bertuliskan nominalnya saja yang biasa menjadi perhatian, padahal dibaliknya ada cetakan gambar bermakna dan bersejarah yang luput diperhatikan. Tahun 2020, dimana banyak asa digantungkan, rencana tergagalkan, hingga mimpi yang perlahan padam, memiliki sisi baik bagi mereka yang memang mau dan mampu menemukannya. Sisi baik ini juga tergantung bagaimana kita menganggap apa itu “kebaikan” yang kita upayakan. Dari sinilah dimana aku menemukan aku yang dulu yang mungkin lebih kurindukan daripada aku yang sekarang.
Saat aku merasa aku sudah settle di suatu bidang, contohnya manajemen keuangan, aku sudah dapat membuat gambaran financial planning untuk lima tahun kedepan, hingga sebelum aku menikah. Menggali informasi disana-sini untuk menemukan instrumen investasi yang paling ‘menguntungkan’, untuk diriku yang sekarang, bukan yang dulu.
Puluhan webinar dan training kuikuti, untuk memupuk karir dengan berinvestasi pada diri sendiri. Berbagai kepanitiaan kampus aku jadikan ajang pencarian minat serta relasi, sampai bekerja part-time dengan harapan menambah tabungan property. Nyatanya yang aku rasakan hanya tenggelam dalam perdebatan dengan diri mempertanyakan apakah yang kulakukan sia-sia?
Puluhan webinar, course dan training, bekerja part-time, memperbaiki ipk, dan membuat financial plan 5 tahun kedepan mungkin terdengar mudah, namun semua itu mungkin tidak dapat aku lakukan tanpa hadirnya 2020 yang kita kenal. Berbagai kesempatan terbuka untuk dilakukan secara bersamaan dari rumah. Kemudahan dalam mengakses hal-hal sekaligus menjadikan kita – atau aku, memiliki banyak kesibukan sehingga tidak perlu terlarut dalam lamunan overthinking. Yes, mencari kesibukan sebagai pengalihan agar tidak punya waktu untuk terlarut dalam pikiran yang menyudutkan. Classic.
Lalu apa poin penting dari artikel ini dimana aku merasa perlu membagikan ceritaku? Di penghujung tahun 2020, saat puluhan webinar itu tak kunjung diimplementasikan, kepanitiaan yang kuikuti tidak membuahkan relasi sesuai yang diharapkan, mengejar beasiswa-beasiswa yang sampai saat ini tidak terdengar kabar baiknya, kerja part-tim- ku tidak memberi hasil yang menguntungkan, serta financial plan yang kurancang mungkin dianggap tidak logis bagi beberapa orang, aku diberi sentilan halus dari Tuhan, yang nyatanya menjadi titik introspeksiku.
Introspeksi itu penting, dan aku belum melakukannya secara sungguh-sungguh, terutama di tahun ini. Aku diberi kesempatan untuk mengenal diriku lebih jauh melalui penyakit yang termasuk dalam jajaran ketakutan terbesarku sebagai perempuan. Menyangka atau tidak penyakit itu hadir dalam diriku dalam waktu sedekat ini? Tentu tidak. Kalau aku mau menyalahkan, aku mungkin hanya akan bertanya-tanya kenapa aku yang mengalami ini padahal aku termasuk orang yang menjaga kesehatan di usiaku, terutama melalui apa yang aku konsumsi. Mengapa aku yang jelas-jelas tidak memiliki faktor genetik untuk terjangkit penyakit tersebut. Pertanyaan-pertanyaan itu berubah menjadi ajang mencari pihak mana yang perlu disalahkan, tidak akan selesai.
Berputar balik mencari titik terang dari hadirnya si penyakit ini dalam diriku, aku justru mensyukuri betapa beruntungnya aku setelah membaca kisah-kisah yang jauh lebih menyayat hati saat membacanya. Yang aku alami ini tidak seberapa, aku hanya kurang bersyukur. Jawaban dari kekosongan yang aku rasakan dari berbagai kegiatan yang kulakukan adalah karena aku kurang bersyukur. Aku terus melihat keatas dan tidak merasa cukup atas apa yang aku miliki, tanpa melihat proses yang perlu kulalui keatas sana.
Oprah Winfrey pernah mengatakan “True forgiveness is when you can say ‘thank you for that experience.’” Satu hal lagi yang belum aku bisa lakukan adalah memaafkan diri sendiri, mengakui bahwa aku adalah manusia, dan manusia membuat kesalahan. Ketidakpekaan atas kesalahan yang dibuat oleh diri kita menjadikan kita sulit belajar dari kesalahan sebelumnya.
Aku seringkali enggan menerima masukan dari orang lain, menjadikan pikiranku terbatas, tidak bisa mengolaborasikan pendapat orang lain yang tentunya sangat dibutuhkan di zaman berkolaborasi ini, seakan ada dinding pembatas dimana aku merasa “I am enough” yang salah tempat. Menjadi independent itu baik, tapi perlu dilihat konteks apa dan dimana kita mau menerapkan self independence tersebut. Karena manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa pertolongan orang lain, to be noted.
Introspeksi, bersyukur, dan menerima, membawa pemikiranku lebih jauh ke masa awal aku menempuh pendidikan di dunia kuliah. Mereka ulang setiap kejadian yang kuhadapi, membaca harapan dan mimpi yang kutuliskan, dan mendapati bahwa mimpiku saat ini terlalu berorientasi materi. Mimpiku saat ini mungkin memang realistis, namun hanya membawa keuntungan untukku, tanpa memikirkan apa social impact yang aku bawa dari mimpiku. Mungkin jika ada hanya disisipkan agar terlihat sempurna saja, bukan sepenuhnya harapanku.
Beberapa tahun lalu, saat aku ditanya mengenai tujuan hidupku, tanpa berpikir panjang dan tidak untuk membuat orang lain tertarik, benar-benar mimpiku, aku menjawab bukan menjadi pengusaha, punya rumah mewah, atau settle sebelm 25. Yang kukatakan adalah membantu orang lain, diingat kebaikannya, dan berdampak. Saat kureka ulang memori ketika aku membaca harapan itu, aku bisa merasakan bagaimana dahulu aku benar-benar memaknai harapan itu.
Aku ingin memiliki amal kebaikan yang terus mengalir hingga aku tiada, dari sana akan selalu ada orang yang mengingatku dan selalu mendoakanku, sehingga namaku tidak akan menjadi kenangan belaka, atau malah terlupakan. Lucunya bahwa aku dapat berubah secepat itu dalam kurun waktu tidak lebih dari dua tahun.
Hidup kita adalah tentang kita, bukan tentang orang lain. Barack Obama pernah mengatakan ‘change will not come if we wait for some other person or some other time. We are the one we’ve been waiting for. We are the change that we seek'. Berani berintroskpeksi, menerima kritik orang lain, bersyukur, memaafkan, menerima, berbuat baik, dan #BeraniWujudkanMimpi dengan berubah atau mengubah sesuatu menjadi pribadi atau hal yang lebih baik sesuai yang kita harapkan.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”