[CERPEN] Bingkisan Penantian

Karena menunggu bukanlah sebuah kesalahan Jika Tuhan menghendaki, siapa yang bisa memungkiri?

“Sha, kapan to nyebar undangan?” Tanya Budhe Khoti.

Advertisement

Ah..sudah kuduga dan ternyata aku belum bisa. Rasa ngilu dan sakit kembali menyeruak masuk ke dalam rongga dada tanpa ampun. Aku terdiam sesaat.

“Budhe Ti, Trisha kasih tau ya. Yang paling banyak dan sering nanya kan Budhe to, besok kalo Trisha nikah harus nyumbang yang lebih banyak. Awas aja kalo sama kaya tetangga!” Jawabku sambil tertawa lalu berjalan keluar ruangan. Beberapa keluarga ikut tertawa, sisa nya hanya diam dan menatapku sambil tersenyum yang, entahlah.  Hatiku kembali ngilu dan sakit. Ya Tuhan tolong jangan sekarang! Ah, Seharusnya aku tidak perlu memaksakan diri datang ke acara arisan keluarga seperti ini.

Masalahnya, bukan karena aku malu dan panik kemudian merasa kesakitan ditanya soal pernikahan, mengingat usiaku sudah 24 tahun, namun jika Tuhan memang belum mempertemukan jodoh ku yang sesungguhnya, aku bisa apa? Selain itu, kisahku dengan Kris masih begitu membekas di hati dan fikiran ku meskipun sudah 2 tahun berlalu. Itulah yang membuat diriku seperti ini, kesakitan berkepanjangan.

Advertisement

Berawal ketika aku menjadi karyawan baru dan bertemu dengan Kris sebagai senior ku di kantor tersebut. Waktu membuat aku dan Kris menjadi semakin dekat. Aku memutuskan untuk menerima Kris sebagai kekasih saat dia menyatakan perasaan nya pada ku. Kris menyemaikan cinta, keseriusan, dan keyakinan nya terhadapku dan itu membuatku semakin yakin bahwa dia adalah seseorang itu. 

Bahkan Mama dan Papa pun menerima Kris. Aku menjadi semakin yakin, harapan demi harapan mulai terangkai di benak dan fikiran ku. Membayangkan nya membuatku merasa menjadi orang yang paling beruntung dan bahagia di alam semesta, bahkan kata-kata pun tak akan cukup untuk menjabarkan nya.

Advertisement

Namun, aku harus mengubur dalam-dalam harapan itu dan menerima kenyataan yang Tuhan gariskan. Saat aku menunggu Kris untuk menjemputku, Tuhan menjemputnya.

Perasaan apa ini? Mengapa begitu penuh dan sesak? Melihat nya berbaring dengan tubuh penuh luka dan darah seperti itu. Luka di hati menganga lebar tidak terkendali. Kenyataan memaksaku untuk menerima bahwa Kris sudah tidak ada dan ternyata hari itu adalah hari di mana dia akan melamarku. Dia sudah mempersiapkan segalanya, bahkan cicin cantik yang pernah kami lihat bersama pun ada di genggaman nya. Kris pergi tanpa permisi dan menyisakan banyak kenangan manis namun membuatku menangis.

Kepergian Kris meninggalkan trauma padaku. Setiap kali pemicunya datang, tubuhku tak kuasa untuk menahan serangan kenangan-kenangan indah bersama Kris. Seolah kenangan-kenangan itu justru menyerangku bersama-sama. Bagaimana bisa kenangan manis berubah menjadi racun bagi hidupku? Aku sudah bertahan selama 2 tahun ini, namun tetap saja rasanya begitu menyakitkan.

“Dek, mau sampai kapan to kaya gini terus? Setiap kali ditanya soal menikah, kamu jadi kaya gini. Kalo bicara soal kehilangan, siapapun nggak bakalan siap. Tapi itu udah jadi takdir Tuhan. Sekali lagi Mas bilang, berusaha lah lebih keras dari biasanya. Mas paham kalau Kris memang tidak bisa tergantikan dan tidak ada duanya bagi kamu, tapi bukan berarti kamu harus begini dan menutup hati untuk pria lain kan? Karena kamu berhak untuk bahagia’

Untuk kesekian kalinya Kak Yudis menasehati ku dan Kak Yudis benar, aku harus berusaha lebih keras dari biasanya karena aku berhak bahagia.

“Mas Agha, mawar peach nya ada to?” Dia hanya mengacungkan jempol. Aku memutuskan untuk duduk di depan toko saja. Ternyata Mbak Vera, istri Mas Agha sedang tidak di sini, padahal aku kangen sama Baby Yahna.

“Permisi Mbak, disini bisa bikin rangkaian bunga yang plastik nggak ya?” Aku terkejut dan langsung berdiri. “Eh, iya mas bisa kok bisa” jawab ku sambil terbata-bata. Ah ini orang bikin kaget saja. Dia tertawa kecil dan meminta maaf padaku karena sudah mengagetkan nya. Aku mempersilahkan nya duduk.

“Ibuku, mau ulang tahun Mbak. Aku pengen kasih bunga. Sebenarnya, Ibu lebih suka bunga asli, tapi aku mau kasih yang plastik saja. Hehe. Soalnya, biar awet dan ibu bisa selalu menyimpan nya dan selalu ingat aku. Ya bunga si boleh palsu ya Mbak, tapi kan sayangnya aku ke ibu enggak palsu dan bakal awet, se-awet kembang plastik itu. Tapi aku mau dirangkai secantik mungkin. Yang kaya di gambar ini lho Mbak”

Spontan aku tertawa. Aku lihat wajah nya sedikit bingung. Dia ini siapa sih? Aku lihat Mas Agha keluar dan aku segera menghampiri nya. Setelah menyelesaikan pembayaran, sambil menggaruk-garuk kepalanya, orang tersebut menghampiri. Dia meminta maaf padaku karena dia pikir aku pemilik tokonya. Mas Agha dan akupun tertawa.

Aku pamit pergi. “Mas Agha, katanya bunga palsu nggak papa, yang penting sayangnya nyata. Haha. Maksih ya Mas, Bye-bye” Mas Agha pun kembali tertawa, orang itu menutup wajahnya.

“Sha, ntar jadi ya nemenin aku ke cafe yang baru itu. Sumpah ya aku penasaran banget kaya apa, kalo di medsos tuh keren banget suer. Trus ntar sekalian aku kenalin sama temen aku ya, ntar dia juga dateng sama pacar aku. Mereka temen” Rania si tukang heboh, sejak seminggu yang lalu memintaku untuk menemaninya ke cafe baru dekat kantor.

Sebenarnya aku malas untuk menemaninya di kafe. Malas karena untuk kesekian kalinya dia akan mengenalkan ku kepada pria dengan harapan aku bisa bertemu dengan jodohku dan proses move on ku bisa lebih cepat.  Tapi buktinya, sampai sekarang belum ada yang cocok. 

Bukankah jatuh cinta itu tidak semudah menghabiskan kentang goreng hangat dengan saus pedas manis? Aku memahami Rania, dia bermaksud baik padaku walaupun dia sama sekali tidak mau mendengar alasan ku bahwa aku ini memang menanti dan ingin bertemu dengan jodohku yang sesungguhnya, namun biarkan mengalir begitu saja, karena aku idak tergesa-gesa.

Ternyata kafenya cukup bagus. Pilihan menu yang di tawarkan juga beragam. Indra datang. Dia mengatakan bahwa temannya tidak bisa datang dan jadilah aku sebagai obat nyamuk, bukan, lebih tepatnya fotografer mereka seperti biasa.

Aku memutuskan untuk pulang terlebih. Aku mengambil pesenanan ku di kasir, karena cheese cake nya enak jadi aku memutuskan untuk membelikan orang rumah. Aku bertemu dengan orang yang waktu itu menanyakan soal bunga di toko bunga Mas Agha. Aku dan dia sama-sama tertawa ketika mengingat kejadian itu. Dia merasa sangat malu karena tanpa permisi sudah bicara panjang lebar.

Tidak terasa, Aku dan Radhika sudah berteman selama kurang lebih 1 tahun. Radhika orang yang sangat menyenangkan dan humoris. Dia menghidupkan suasana dengan leluconnya. Dia pribadi yang hangat, maka dari itu anak-anak di panti asuhan nya begitu dekat dengan Radhika.

Tapi, kedekatakan ini membuatku takut, menjadi sangat ketakutan ketika Dhika menyatakan perasaan nya padaku. Di satu sisi  aku senang, karena aku merasa cocok dengan Dhika, namun disisi lain aku begitu ketakutan dengan rasa ini. Jika ku biarkan tumbuh, aku takut tiba-tiba dia menghilang. Ternyata aku belum bisa menerima semua ini. Kenangan bersama Kris, rasa sakit ini, ternyata belum mampu aku taklukan.

Aku akan membiarkan Dhika menjauh dariku jika aku menolaknya. Aku sudah terbiasa. Yang sudah-sudah pun begitu. Aku pikir mereka lebih layak mendapatkan yang jauh lebih baik daripada aku yang seperti ini.

“Hehe Nggak papa, Sha. Kecewa lagi, sedikit kok tapi cheese cake nya yang banyak. Taraaaaa!!!” Aku pikir Dhika akan pergi, ternyata seperti biasa yang sudah-sudah. Dia tetap tinggal dan selalu bisa mencairkan susana. Aku ini kenapa ya Tuhan? Radhika baik, mengapa aku masih saja sulit?

“Sumpah ya Sha. Keterlaluan banget sih. Ini udah tahun ke-3 kamu nolak tapi kamu masih deket sama dia. Kalo kamu nggak suka dia, jangan kasih harapan. Radhika itu tulus sama kamu, tapi kamu malah nyakitin dia. Dan satu hal lagi, Krisnanda itu udah nggak ada, kalo kamu selama ini merasa tersakiti terus karena kepergian dia, bukan berarti kamu bisa nyakitin pria lain!”

Kata-kata Rania masih terngiang-ngiang di kepala ku. Aku ini benar-benar sampah. Aku tidak menerima Dhika tapi aku tidak ingin dia pergi. Apa yang harus aku lakukan? Aku kira semua akan mudah jika aku bertemu dengan orang yang cocok dengan ku, tapi aku justru menyakiti nya karena aku takut tersakiti. Iya, Rania benar aku begitu egois.

Dhika mengirimkan pesan padaku bahwa untuk 1 minggu kedepan dia pulang ke Jakarta karena cutinya sudah di ACC.

Rania masih marah dengan ku. Setiap kali aku ingin bicara dengan nya, dia selalu menghindar. Aku rindu kehebohan, perhatian, dan omelan nya. Ditambah lagi Dhika pun sama sekali belum membalas pesan ku sejak terakhir dia telfon. Apa dia baik-baik saja? Ah, apa pantas aku seperti ini?

Aku menceritakan semuanya kepada Kak Yudis. Berharap mendapatkan masukan, namun benar saja, pertama dia marah kepadaku mengapa aku baru memberitahunya dan kedua dia marah kenapa aku bodoh. Suasana hati ku sedang tidak baik dan menjadi semakin tidak baik. Aku memutuskan untuk pergi.

“Kamu sakit, Sha?” Tanya Mbak Vera sambil memberikan teh hangat dan duduk di sebelahku. Aku hanya tersenyum malas kepadanya. Mas Agha datang dan ikut duduk bersama.

“Radhika itu, hebat lho” Aku terhenyak. Aku bahkan tidak pernah cerita begitu banyak tentang Radhika kepada Mas Agha dan Mbak Vera. Kemdian Mas Agha menceritakan semuanya. Mendengar semua itu aku merasa menjadi manusia paling jahat. Aku tidak menyangka jika pertemuan pertamaku dengannya di sini sudah membuat nya jatuh cinta padaku. Aku tidak menyangka bahwa selama ini Radhika begitu tulus dan sungguh-sungguh mencintaiku. 

Dia masih bertahan karena keyakinannya selalu tertuju kepadaku padahal dia selama ini sudah mengetahui tentang traumaku.  Hati ini seolah melepaskan satu beban yang teramat sangat berat. Sekarang aku hanya bisa menangis dan menyesali semua yang telah kulakukan padanya. Namun aku juga menyadari bahwa sesunggunya aku begitu mencintai Radhika dibalik ke naifan ku ini.

“Belum terlambat, Sha. Kenangan memang tidak bisa dilupakan, tapi berikan ia satu tempat dihatimu untuk kamu simpan. Selebihnya, jalani hidupmu dengan bahagia tanpa rasa tertekan” Aku memeluk Mas Agha dan Mbak Vera. Aku mengucapkan terimakasih sudah menjaga Radhika selama ini. Aku memutuskan untuk pergi ke Jakarta ke esokan harinya.

Sebelum berangkat, aku mampir ke tempat Mas Agha sebentar, karena semalam Mbak Vera mengirim pesan pada ku bahwa dia mau menitipkan oleh-oleh untuk Dhika.

Biasanya jam 7 pagi sudah buka. Aku menekan bel beberapa kali namun belum mendapat jawaban.

“Mbak nya kepagian. Mending sarapan dulu sama saya. Kalau mau. Hehe”

Aku terdiam. Suara itu, aku kenal suara itu. Tidak mungkin. Aku sama sekali tidak asing dengan sosok ini. Dia tersenyum lebar dan begitu hangat. Tatapan nya begitu tulus. Bodo nya aku. Tidak terasa air mataku mulai menetes. Aku kumpulkan energi untuk menjawabnya.

“Aku mau kok”

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini