Catatan Perjalanan; Sekolah Toleransi dan Keberagaman

Kamu dan aku adalah satu, satu Indonesia, satu dalam kebhinekaan

Saya adalah seorang Guru Pendidikan Agama Katolik di satu-satunya sekolah Katolik di Aceh, Padang Panjang. Menjadi Kota Madya dengan luas wilayah terkecil di Provinsi Sumatera Barat tidak menjadikan Padang Panjang terasing dari sejarah. Pada zaman perang padri kota kecil ini pernah menjadi pos pertahanan dan sekaligus batu loncatan bagi Belanda untuk menundukkan kaum Padri di kawasan Luhak Agam. Selanjutnya sekitar tahun 1947 kota ini pernah menjadi pusat pemerintahan sementara kota Padang lantaran Padang dikuasai Belanda. Masjid tua, gedung gereja Katolik, lintasan kereta api, stasiun kereta api, bangunan tua menjadi saksi sejarah sekaligus penyaji cerita tentang perjalanan kota ini hingga berdiri sampai hari ini.

Meski bergelar Serambi Mekkah dan memiliki populasi penduduk yang mayoritas beragama Islam tidak menjadikan kota ini eksklusif. Di kota ini juga hidup berbagai etnis lain selain etnis Minangkabau. Sebut saja, Etnis Tionghoa, Melayu, Jawa, Batak, dan Flores. Demikian pun agama. Di kota ini ada juga beberapa kelompok agama Non-Islam seperti Katolik, Kristen, dan Budha. Berbagai etnis dan kelompok agama ini hidup berdampingan dengan rukun satu sama lain. Ada (mungkin) beberapa persoalan mendasar mengenai praktek keagamaan dan tempat ibadah yang sering menimbulkan singgungan di tengah masyarakat namun tidak menjadi masalah besar yang mengakibatkan pecahnya persatuan.

Di kota inilah Sekolah Katolik berdiri sejak tahun 1960-an. Sebelum adanya sekolah ini, Misionaris Eropa mendirikan gereja Katolik (satu-satunya gereja). Mengingat pada waktu itu kota ini sempat menjadi kota administratif dan kota persinggahan Belanda serta menjadi jalur distribusi batu bara serta bahan kebutuhan lain antara Padang, Bukittinggi dan Solok (jalur kereta api). Kehadiran gereja menjadi kebutuhan untuk umat Katolik yang ada pada waktu itu. Seiring waktu jumlah umat Katolik bertamban sejak semakin meningkatnya arus pendatang dari orang-orang Tionghoa, Batak, dan Jawa yang beragama Katolik.

Setelah gereja ini berdiri dan jumlah umat Katolik semakin banyak, maka ada kebutuhan untuk membuka satu lembaga pendidikan. Maka hadirlah SD Fransiscus yang merupakan bagian dari Yayasan Prayoga Bukittinggi. Tahun-tahun awal sekolah ini menjadi salah satu sekolah yang mutu pendidikannya sangat diperhitungkan dan selalu membawa nama Kota Padang Panjang. Tahun demi tahun berlalu dan sekolah ini selalu menjadi satu-satunya sekolah yang menjadi simbol kebhinekaan Negara Republik Indonesia. Di lingkungan yang kecil dan minor ini SD Fransiscus menjadi representasi Indonesia mini karena bentuk pendidikanya yang inklusif dan terbuka terhadap keyakinan lain.

Setiap tahun, karena keterbatasan ruang kelas jumlah siswa sekolah ini tak pernah lebih dari 200 siswa. Meski berlabel katolik, 80 persen siswanya beragama Islam demikian pun gurunya. Seperti tahun ini (tahun ajaran 2018-2019) hanya terdapat 48 siswa Katolik, 46 Protestan, dan 2 Budha, selebihnya beragama Islam. Di sini mereka berbaur tanpa sekat keagamaan dan kesukuan tanpa label-label dan simbol agama yang membuat mereka merasa terasing satu sama lain.

Setiap pagi sebelum mulai pelajaran mereka melakukan rutinitas baris berbaris, mendengar instruksi, nasihat dan bernyanyi bersama lalu berdoa. Ada sebuah doa khusus yang bisa diungkapkan bersama setidaknya bunyinya seperti ini: “Tuhan Allah kami, kami persembahkan kepada-Mu semua niat dan usaha kami hari ini. Berkatilah diri kami agar kami dapat belajar dengan baik dan hidup sesuai dengan dasar Negara Pancasila. Amin." Doa yang merepresentasikan semua keyakinan, diucapkan dengan lantang tanpa ada pengkotak-kotakkan tentang kepemilikan Tuhan. Luar biasa.

Selama berlangsungnya proses belajar mengajar mereka menyatu satu sama lain bahkan ketika tiba giliran Pelajaran Agama, karena siswa-siswi beragama Katolik hanya sedikit maka mereka harus keluar dari kelas dan belajar di ruangan yang telah disediakan (ruangan komputer atau perpustakaan). Uniknya di sekolah ini siswa-siswi yang Protestan mengikuti pelajaran Agama Katolik, dan di sinilah saya (sebagai guru agama Katolik) harus kreatif untuk menyampaikan pesan-pesan moral dan kaidah-kaidah ajaran iman agar mereka tidak saja mampu secara akademik tetapi juga secara spiritual. Saya berusaha mempelajari tentang berbagai ajaran denominasi gereja lain selain ajaran Katolik yang sudah saya pahami. Tak ada niat sedikitpun untuk mengkonversi mereka melalui ajaran agama saya, tetapi saya justru berusaha agar mereka mampu kuat dalam keyakinan dan ajaran agama yang mereka telah miliki.

Demikian pun dengan siswa-siswi dan guru yang beragama Islam, kami berusaha untuk saling berbagi kebaikan. Saat istirahat kami bisa saling berbagi makanan, berbagi cerita, berbagi tawa, dan tempat bermain.

Ketika ada kegiatan keagamaan kami bisa berbagai ruangan untuk melaksanakan kewajiban agama masing-masing. Kala puasa Ramadhan tiba, siswa-siswi yang muslim bersama para gurunya melakukan kegiatan Pesantren Ramadhan maka siswa-siswi yang beragama lain melakukan kegiatan keagamaannya dengan pemimpin agamanya seperti Pastoral Sekolah bagi siswa-siswi yang Kristen.

Terkadang karena dengan banyaknya siswa-siswi yang Islam bersekolah di  tempat kami, ditambah lagi dengan tegaknya berdiri bangunan gereja di tengah-tengah gedung sekolah, muncul isu kristenisasi. Tetapi pihak sekolah menanggapi dengan baik dan tak jarang orangtua dan wali siswa yang muslim turut membantu meluruskan berbagai hoax, berita bohong dan sebaran fitnah yang tak berdasar tersebut.

Sebuah tanggung jawab besar bagi kami sebagai guru di sekolah ini untuk senantiasa menjadi pengajar, pendidikan dan penjaga toleransi. Dengan contoh dan teladan kami terus membentengi generasi masa depan ini dengan ajaran-ajaran yang baik. Kami berusaha menghadirkan cinta dalam perbedaan seperti yang menjadi semboyan Negara Indonesia Tercinta “Bhineka Tunggal Ika”. Ada yel-yel seru sebelum masuk kelas yang sering disorakkan guru dan siswa di sekolah ini berbunyi


Guru      : Semangat Pagi!

Siswa     : Pagi 3x YES (Sambil menghentakkan kaki )

Guru      : Dimana Rakyat Indonesia?

Siswa     : Di sini 3x Yes (Menghentakkan kaki dan menunjuk ke tanah)

Guru      : Siapa Pancasila?

Siswa     : Saya Pancasila! (Sambil menebah dada)

Guru      : Siapa Bhineka Tunggal Ika?

Siswa     : Saya Bhineka Tunggal Ika (Sambil memukul dada)

Guru      : Anak Fransiscus

Siswa     : Luar Biasa (Memutar dan melompat lalu dilanjutkan dengan lagu Fransiscus Sekolahku)


Pada akhirnya selepas semua pelajaran selesai, anak-anak dan para guru akan kembali ke rumah masing-masing tidak saja membawa bekal ilmu tetapi juga bekal toleransi dan keberagaman. Sebuah doa didaraskan bersama, mewakili semua yang ada mereka berseru dengan nyaring “Tuhan Allah kami, kami bersyukur kepadamu karena kasih-Mu yang telah mempersatukan kami pada hari ini. Berkatilah guru kami yang telah mendidik kami semoga apa yang kami terima hari ini dapat berguna di kemudian hari. Amin”.

 

Kota Serambi Mekah,

Padang Panjang, April 2019

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Saya adalah seorang Pengajar dan Pendidik. Mengajar dan mendidik adalah medan dan media untuk mengembara ke alam ide dan imaginasi manusia. Melalui pendidikan manusia menemukan kesungguhan untuk merealisasikan ide dan kreatifitasnya. Melalui pendidikan manusia menegekspresikan dirinya untuk memperdalam relasi dan intimasi dengan yang lain. Pada akhiranya pendidikan menjadiwadah untuk membangun karakter manusia untuk menjadi cerdas secara "otak" dan juga luhur secara "watak"